Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dari Diponegoro ke Soekarno: Jejak Husaini dalam Sejarah Indonesia

Setiap 10 November, bangsa Indonesia berhenti sejenak dalam hening yang khidmat. Lonceng sejarah berdentang, memanggil ingatan kolektif kita kepada mereka yang telah menyerahkan nyawa demi satu kata yang mahal harganya: merdeka. Di setiap monumen perjuangan, di setiap nama jalan yang diabadikan, tersimpan kisah keberanian manusia-manusia yang memilih kehormatan di atas ketakutan, kemerdekaan di atas perbudakan.

Namun, apakah peringatan Hari Pahlawan hanya sebatas penghormatan seremonial terhadap masa lalu? Dalam pandangan Islam — khususnya dalam pandangan mazhab Ahlulbait — kepahlawanan bukanlah romantika sejarah, melainkan tanggung jawab spiritual dan moral untuk terus menyalakan obor perjuangan kebenaran.


Makna Kepahlawanan dalam Cahaya Tauhid

Dalam pandangan tauhid, setiap perjuangan sejati bermula dari pengakuan bahwa tidak ada kekuasaan selain Allah. Pahlawan sejati adalah mereka yang tidak tunduk kepada tirani duniawi, karena hatinya hanya tunduk kepada Sang Maha Kuasa. Al-Qur’an mengabadikan kedudukan mereka:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rezeki.”
(QS. Ali Imran: 169)

Ayat ini menyingkap rahasia kepahlawanan: bahwa kematian bukan akhir bagi mereka yang berjuang di jalan kebenaran. Justru di sanalah kehidupan sejati dimulai — kehidupan bersama Tuhan, kehidupan yang bermakna abadi.

Para pahlawan bangsa Indonesia yang gugur di medan pertempuran melawan penjajah adalah bagian dari barisan itu — mereka yang hidup dalam rahmat Allah, karena niatnya adalah menegakkan kemuliaan manusia dan menolak kezaliman. Sebab, dalam Islam, perjuangan melawan penindasan adalah bentuk tertinggi dari ibadah.


Kepahlawanan sebagai Manifestasi Cinta Ilahi

Dalam risalah kenabian, keberanian bukanlah tindakan tanpa takut, melainkan kemampuan menundukkan rasa takut demi sesuatu yang lebih tinggi — kebenaran dan cinta kepada Allah.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata:

“Keadilan adalah dasar dari keberanian; dan keberanian sejati adalah menegakkan kebenaran meski engkau sendirian.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 173)

Kata-kata ini menjadi cermin dari seluruh kisah perjuangan manusia. Berani bukan berarti tidak gentar, tetapi tetap tegak meski dunia menentang. Pahlawan adalah orang yang tidak menjual hati nuraninya demi keselamatan pribadi. Ia berani karena ia yakin bahwa kebenaran tidak bisa ditunda.

Dalam semangat ini, para syuhada kemerdekaan Indonesia — dari Cut Nyak Dien hingga Bung Tomo, dari Teuku Umar hingga Jenderal Sudirman — adalah potret keberanian ilahi. Mereka menegakkan prinsip “merdeka atau mati”, sebagaimana Imam Husain as berseru di Karbala, “Hayhat minna dzillah — Kami takkan rela hidup dalam kehinaan.”


Karbala: Puncak Kepahlawanan Islam

Jika sejarah Islam adalah taman para pahlawan, maka Karbala adalah bunga teragungnya. Di padang gersang itu, Imam Husain as bersama 72 pengikutnya menulis makna sejati dari pengorbanan. Mereka berhadapan dengan pasukan yang jauh lebih besar, tetapi keberanian mereka melampaui batas fisik manusia.

Imam Husain tidak mencari kemenangan militer, tetapi kemenangan moral. Beliau ingin menegakkan kembali nilai-nilai kenabian yang dikorbankan oleh rezim yang mengaku Islam namun menindas rakyat.

“Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat kerusakan atau kesombongan, melainkan untuk memperbaiki umat kakekku, Rasulullah.”

Semangat Karbala ternyata tidak berhenti di tanah Arab. Ruh perjuangan itu merembes jauh hingga ke bumi Nusantara. Banyak pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara spiritual terinspirasi oleh kisah Imam Husain.

Pangeran Diponegoro, dalam catatan Babad Diponegoro, menulis: “Aku berperang bukan untuk tahta, tetapi untuk kebenaran yang diinjak-injak. Biarlah aku mati, asalkan negeri ini hidup dalam kehormatan.”

Kata-kata itu menggema dengan napas Husaini. Diponegoro memandang perjuangannya sebagai jihad melawan kezaliman kolonial, bukan demi kekuasaan, tetapi demi menegakkan martabat agama dan bangsa — sebagaimana Imam Husain melawan Yazid demi menyelamatkan nilai Islam.

Demikian pula Bung Karno, Proklamator Republik ini, dalam pidato-pidatonya sering menyinggung semangat pengorbanan di Karbala sebagai simbol perjuangan melawan penindasan. Dalam salah satu pidato di awal kemerdekaan ia berkata:

“Kalau Imam Husain berani melawan tirani Yazid walau dengan risiko syahid, mengapa kita harus takut menghadapi penjajahan? Merdeka adalah harga diri, dan harga diri tidak bisa ditukar dengan nyawa.”

Kedua tokoh ini menunjukkan bahwa semangat Husaini bukan milik satu mazhab, tetapi milik seluruh manusia yang menolak diperbudak. Karbala menjadi bahasa universal perlawanan terhadap kezaliman, dan Indonesia telah membuktikan bahwa darah para pahlawan bangsa mengalir dari mata air yang sama.


Para Pahlawan: Pewaris Risalah Nabi

Rasulullah saw bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(Al-Kafi, jilid 2, hal. 164)

Hadis ini menjadi ukuran paling jernih tentang siapa pahlawan sejati: mereka yang hidupnya menjadi manfaat bagi umat. Mereka tidak berjuang demi gelar, kehormatan, atau kekuasaan, tetapi karena dorongan cinta kepada Allah dan sesama manusia.

Para pahlawan kemerdekaan Indonesia, baik yang dikenal maupun yang tak bernama, adalah mujahid fi sabilillah dalam arti sejatinya. Mereka berjuang agar manusia terbebas dari ketakutan, kebodohan, dan ketidakadilan. Sebab, penjajahan adalah bentuk kezaliman terbesar terhadap kemanusiaan.


Kepahlawanan di Era Penjajahan Baru

Kita hidup di zaman yang berbeda, tetapi semangat itu tetap dibutuhkan. Tidak lagi terdengar dentuman meriam dan desing peluru, namun bentuk penjajahan kini jauh lebih halus dan mematikan: ketimpangan ekonomi, degradasi moral, dan kolonialisasi budaya yang menggerus identitas bangsa.

Imam Sayyid Ali Khamenei hf. pernah menegaskan:

“Musuh hari ini tidak datang dengan tank dan peluru. Ia datang melalui kebodohan, kemalasan, dan penyerahan diri terhadap sistem global yang menindas. Maka, pahlawan masa kini adalah mereka yang menjaga kesadaran umat dan menolak tunduk kepada arus globalisasi yang merusak nilai.”

Hari ini, pahlawan bisa berupa seorang guru yang mengajar dengan kejujuran, seorang petani yang bekerja dengan kesungguhan, seorang ulama yang berani menyeru kebenaran, seorang pemuda yang menolak arus hedonisme, atau seorang jurnalis yang menulis dengan keberanian moral. Semua mereka adalah pahlawan, karena berjuang untuk menegakkan keadilan Ilahi di tengah masyarakat.


Zikrul Syuhada: Mengenang untuk Meneladani

Dalam ajaran Ahlulbait, mengenang para syuhada bukanlah sekadar ritual emosional, tetapi tindakan ideologis untuk meneguhkan kembali komitmen kepada kebenaran.

Imam Ja‘far Ash-Shadiq as bersabda:

“Setiap orang yang menegakkan satu kebenaran di hadapan kebatilan, maka ia telah meneladani Husain di Karbala.”
(Bihar al-Anwar, jilid 44, hal. 293)

Karenanya, memperingati Hari Pahlawan seharusnya menjadi bagian dari ziarah kesadaran — ziyarah kepada nilai-nilai keberanian. Bagi bangsa Indonesia, ziarah ini berarti menolak segala bentuk ketidakadilan sosial, korupsi, penindasan ekonomi, dan pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Setiap tindakan melawan kezaliman adalah kelanjutan dari perjuangan mereka yang telah gugur.


Peringatan Hari Pahlawan adalah panggilan agar kita tidak kehilangan arah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pengorbanan para pahlawannya — bukan hanya dengan tugu dan upacara, tetapi dengan menegakkan nilai yang mereka perjuangkan: keadilan, kemerdekaan, dan martabat manusia.

Dalam pandangan Islam, darah para syuhada tidak pernah kering. Ia mengalir menjadi kesadaran, menjadi nur yang menuntun manusia agar tidak tersesat di jalan kompromi dan ketakutan. Imam Husain as adalah puncak dari kepahlawanan itu.

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT