Zahra Shafei, Peneliti Kebudayaan
Khamenei.ir – Krisis global yang menimpa perempuan hari ini tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari cara pandang yang salah, kabur, dan sering kali merendahkan martabat perempuan. Imam Khamenei menegaskan bahwa salah satu akar krisis tersebut adalah pandangan keliru yang dibangun oleh peradaban Barat mengenai makna perempuan dan relasinya dengan laki-laki. Dalam kerangka sosial dan budaya Barat, relasi itu dibentuk oleh strategi yang secara sistematis menciptakan ketimpangan—di mana perempuan menjadi objek yang dieksploitasi, sementara laki-laki menjadi pihak yang diuntungkan.
Ketika sejarah, kesusastraan, dan filsafat Barat dibaca kembali melalui lensa femininitas modern, sebuah kontradiksi besar segera tampak: peradaban yang mengaku menjunjung kemanusiaan justru menanamkan pandangan instrumental terhadap perempuan sejak berabad-abad lalu. Pandangan itu tersirat dalam karya para pemikir dan sastrawan besar yang hingga kini diagungkan.
Arthur Schopenhauer, dalam esainya On Women, menggambarkan perempuan sebagai makhluk “kekanak-kanakan, remeh, dan berpandangan pendek,” serta “lemah dalam nalar dan abstraksi.” Ia bahkan menegaskan bahwa perempuan “inferior secara keseluruhan dibanding laki-laki.” Pandangan seperti ini bukanlah penyimpangan individual, melainkan bagian dari arus besar pemikiran Barat. Dari sana lahirlah stereotip bahwa perempuan lemah, emosional, dan layak ditempatkan sebagai objek.
Bahkan dalam karya-karya William Shakespeare—yang kerap dijadikan simbol humanisme Eropa—penggambaran perempuan tak lepas dari bias ini. Ia sering ditampilkan sebagai sosok yang mudah dipengaruhi, penuh tipu daya, atau rentan terperosok ke dalam konflik moral.
Imam Khamenei menggambarkan konteks historis yang melahirkan pandangan semacam itu. Di Eropa, seorang perempuan yang menikah tidak hanya menyerahkan tubuhnya kepada suami, tetapi juga hartanya. Kepemilikan perempuan atas tubuh, harta, bahkan keputusan hidup, secara hukum lenyap ketika ia memasuki rumah suaminya. Dalam banyak novel dan puisi Eropa, pembunuhan istri oleh suami karena alasan moral kerap diceritakan tanpa celaan sosial—sebuah gambaran mengenai betapa rendahnya nilai perempuan dalam imajinasi budaya mereka.
Friedrich Nietzsche, Immanuel Kant, dan banyak pemikir Barat lainnya juga meninggalkan jejak pemikiran yang merendahkan perempuan. Terlepas dari banyaknya interpretasi baru terhadap karya-karya tersebut, satu hal tetap jelas: mereka adalah bagian dari ekstremisme historis yang menempatkan perempuan sebagai inferior, dan “kepercayaan yang berlebihan selalu melahirkan respons ekstrem.”
Ironisnya, benih ekstremisme itu terus berbuah hingga era modern. Gerakan pembelaan perempuan yang berkembang di Barat memang membawa sejumlah tuntutan yang tampak progresif, tetapi sebagian darinya sekadar melahirkan bentuk baru dari bias lama: perempuan tetap diposisikan sebagai objek. Kalimat-kalimat yang tampak membela justru sering kali mencederai martabat perempuan, mereduksi identitasnya menjadi tubuh, daya tarik, dan fungsi ekonomis.
Kini, dengan wajah modernitas, kekerasan terhadap perempuan tampil dalam bentuk yang lebih tersamar namun tidak kalah brutal. Industri pornografi, hiburan, mode, dan periklanan terus-menerus mereproduksi pandangan bahwa nilai perempuan terletak pada daya tarik sensualnya. Komodifikasi tubuh perempuan telah menjadi aspek sentral kapitalisme global.
Laporan UNODC tahun 2023 menunjukkan bahwa 75 persen korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak perempuan, dan sebagian besar di antaranya diperjualbelikan untuk tujuan eksploitasi seksual. Sementara itu, lebih dari 70 persen kampanye iklan global memanfaatkan tubuh perempuan sebagai alat pemasaran. Semua ini adalah manifestasi modern dari pandangan lama yang memandang perempuan sebagai objek konsumsi, bukan manusia berharga.
Dominasi, Komodifikasi, dan Kekerasan
Industri mode, kecantikan, periklanan, dan pornografi telah menjadikan perempuan sebagai instrumen penghasil keuntungan. Tubuh perempuan diperas, dikemas, dan dijual atas nama kebebasan. Padahal, kenyataannya, perempuan direduksi menjadi alat objektifikasi seksual.
Dalam budaya kapitalisme, hubungan sakral antara laki-laki dan perempuan—yang seyogianya dibangun atas komitmen, kasih sayang, dan tanggung jawab—berubah menjadi komoditas. Nilai perempuan dinilai dari seberapa besar ia dapat dijual, dilihat, atau menguntungkan. Standar pasar menentukan apa yang harus ia pakai, bagaimana ia tampil, dan bagaimana ia dipandang.
Perempuan akhirnya mengejar standar kecantikan yang tidak manusiawi, berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar yang tak pernah selesai. Martabat kemanusiaannya direduksi menjadi tampilan, bentuk tubuh, dan kegunaan ekonomis.
Yang lebih menyakitkan, kekerasan semacam ini dibungkus dengan istilah “kebebasan perempuan.” Perempuan didorong untuk percaya bahwa tunduk pada standar pasar adalah pilihan sadar mereka. Padahal, ketika media, industri kecantikan, dan jejaring sosial selama bertahun-tahun mengajarkan bahwa nilai seorang perempuan terletak pada produktivitas ekonomi dan lisensi seksual, kebebasan menjadi kata yang kehilangan makna.
Akibatnya, struktur keluarga melemah. Kehidupan individualistik menggerus fondasi rumah tangga yang seharusnya menawarkan kehangatan dan stabilitas. Angka kesendirian meningkat, hubungan emosional runtuh, keluarga monoparental bertambah, dan keadaan sosial dipenuhi kegelisahan.
Perempuan pun sering diberi pesan bahwa menjadi istri atau ibu adalah hambatan bagi ambisi pribadi. Banyak yang akhirnya menekan naluri keibuan mereka demi mengejar standar hidup konsumtif, sementara sebagian lainnya kehilangan keamanan keluarga demi gaya hidup individualistis.
Kematian dan Malapetaka atas Nama “Penyelamatan”
Retorika “hak perempuan” di Barat tidak hanya digunakan dalam wacana budaya, tetapi juga dalam agenda politik global. Di banyak negeri Muslim—Afghanistan, Irak, Libya, Iran—klaim membela perempuan kerap dijadikan alasan untuk invasi, sanksi, atau perubahan rezim.
Namun apa hasilnya?
Perempuan di negara-negara itu justru masuk ke jurang kemiskinan, keterasingan, perang, embargo, dan kehancuran infrastruktur. Kekerasan fisik dan struktural yang mereka alami jauh lebih besar daripada apa yang konon hendak diselamatkan oleh Barat. “Penyelamatan imperial” ini sebenarnya tidak lebih dari strategi kolonialisme dengan wajah baru.
Dengan menggambarkan perempuan Muslim sebagai sosok lemah yang menunggu bantuan Barat, ruang psikologis bagi agresi militer pun dibuka. Perempuan dijadikan alat retoris untuk melanggengkan dominasi.
Martabat Ilahi vs. Objektifikasi Kapitalistik
Berbeda dengan pandangan Barat, Islam memandang perempuan sebagai makhluk bermartabat yang nilai dirinya tidak ditentukan oleh daya tarik fisik atau kompetisi dengan laki-laki.
“Islam tidak menganggap kemuliaan perempuan terletak pada kemampuannya menarik pandangan atau syahwat laki-laki. Itu bukan kehormatan, melainkan penghinaan,” tegas Imam Khamenei.
Dalam perspektif ilahi, perempuan bukan komoditas, bukan instrumen, dan tidak dinilai berdasarkan daya jualnya. Ia adalah manifestasi rahmat, penjaga kehangatan keluarga, dan sumber spiritualitas dalam masyarakat.
Imam Khamenei menegaskan bahwa perempuan tidak membutuhkan kedudukan artifisial yang merampas ketenangan batin. Dalam fitrah perempuan terdapat kelembutan, keindahan, dan kasih sayang yang dapat membawa dirinya dan lingkungannya menuju kemajuan intelektual maupun spiritual.
Nilai-nilai seperti kesucian, kemaluan diri, kemitraan rumah tangga, tanggung jawab, dan keibuan tidak selaras dengan logika pasar. Karenanya, dunia yang kering spiritualitas mengejek nilai-nilai tersebut. Sebab perempuan yang menjaga kehormatannya tidak bisa dijual; perempuan yang menjadi ibu tidak bisa dijadikan konsumen; perempuan beriman tidak mudah dikuasai oleh standar pasar.
Dalam sistem ilahi inilah, perempuan mendapatkan tempat yang manusiawi: tidak diisolasi, tidak pula diseret menjadi alat industri. Ia menjadi sosok yang mendidik generasi, membangun peradaban, dan tetap terhormat tanpa harus dijadikan objek keuntungan ekonomi.
Imam Khamenei mengingatkan bahwa dalam struktur penciptaan, perempuan memiliki kelembutan yang berbeda dari laki-laki. Dalam lingkungan tanpa hukum dan moralitas, pihak yang lebih kuat akan menindas yang lebih lemah. Karenanya, perlindungan terhadap perempuan bukanlah diskriminasi, tetapi pengakuan atas realitas sosial.
Akhirnya, jelas bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak akan berhenti kecuali dengan mengembalikan pandangan manusia kepada fitrah: bahwa perempuan adalah makhluk mulia, penjaga generasi, dan tiang keluarga. Dalam perspektif inilah, martabat perempuan benar-benar dijaga—bukan sebagai komoditas, bukan sebagai alat, tetapi sebagai manusia yang utuh. []