Kaum wahabi kelompok yang bangga disebut kaum salafi mengatakan: Sebaik-baik masa adalah masa salaf shâlih (para pendahulu yang saleh). Ialah yang paling dekat dengan masa Rasulullah saw ketika wahyu turun kepada beliau. Karena muslimin di awal Islam lebih mengetahui Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. Karena itu, pemahaman (keagamaan) mereka adalah hujjah.
Mereka mengatakan, Kami bukan pengikut Muhammad bin Wahab. Tetapi kami adalah pengikut garis pemikiran yang disebut Salafiyah.
Pengertian Salafiyah menurut Dr.Yusuf Qaradhawi: Salaf adalah masa abad-abad pertama; masa yang terbaik bagi umat ini, di masa terealisasinya pemahaman tentang Islam, iman dan perilaku (suluk) serta komitmen beragama. Salafiyah juga merujuk pada salaf awal (generasi pertama) dalam memahami agama, meliputi akidah, syariat dan suluk.” (al-Aqaid as-Salafiyah/Al Abu Thami, hal 11)
Baca: “Pro dan Kontra Akal dalam Berakidah“
Muhammad Abu Zuhrah mengatakan: Yang dimaksud Salafiyah ialah orang-orang di abad IV H sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, seorang yang menghidupkan dan memperjuangkan akidah Salaf. Pada abad VII Ibnu Taimiyah dengan gigih berdakwah mengajak orang-orang kepada ajaran ini dengan tambahan sejumlah masalah darinya. Kemudian pada abad XII, pandangannya dibangkitkan oleh Muhammad bin Abdulwahab di Jazirah Arab, lalu dilanjutkan oleh kaum wahabi hingga kini. (al-Madzahib al-Islamiyah/Muhammad Abu Zuhrah, hal 311)
Dr.Sayed Abdul Aziz Saili menerangkan: Salaf secara verbal ditujukan pada kelompok di zaman dahulu; secara terminologis ialah seorang yang mazhab dan jejaknya dalam agama diikuti, seperti empat imam mazhab. Mereka adalah salaf kita, dan para sahabat serta tabiin adalah salaf bagi mereka. Secara historis, Salafi ditujukan kepada mereka yang hidup pada abad V H, dan sebagian berpendapat adalah yang hidup pada abad IV dan mereka adalah kaum Hanabilah.
Baca: “Perang Demi Ma’rifat!“
Secara idiologis, yang dimaksud adalah para sahabat, tabiin dan para pengikut tabiin; orang-orang yang mengetahui prinsip-prinsip Sunnah dan jalan-jalannya. Mereka adalah para pengawal akidah dan penjaga syariat. (Aqaid as-Salaf wa Ashab al-Hadits/Shabuni, hal 236)
Bersandar pada Simâ dan Makna Tekstual
Ahmad bin Hanbal Syaibani pemilik kitab hadis al-Musnad dan pendiri fikih mazhab Hanbali adalah pemuka Salafiyah. Ketika melihat filsafat dan budaya asing dari India, Yunani dan Iran menyerbu dunia Islam dan bercampur dengan akidah Islam, dia yang pertama berfikir menyelamatkan hadis dari serangan ini. Karena itu dia menjadi ekstrim, menolak semua yang berbau rasional dan menguburnya dengan hadis-hadis.
Baca: “Skeptisisme terhadap Keyakinan pada Imam Mahdi“
Sandaran mendasar bagi Ahmad bin Hanbal sebagai pemuka Salafiyah (Wahabiyah) ialah simak (sima; pendengaran). Yakni, lebih memperhatikan makna-makna zahir (tekstual) ayat-ayat Alquran dan riwayat-riwayat hadis di dalam akidah, dan berpaling dari akal.
Baginya, akal tidak bernilai dalam permasalahan akidah, tidak menyingkap kebenaran dan bukan hujjah. Ia ditanya tentang hadis-hadis seperti bahwa: Allah swt setiap malam turun ke langit bumi. Dia terlihat dan memijakkan kaki-Nya pada api.
Ia menjawab, Kami memercayai semua hadis ini dan tidak akan menakwilnya. (fi Aqaid al-Islam/Rasail Syaikh Muhammad bin Abdulwahab, hal 155)
Tasybih tanpa Takwil
Ibnu Taimiyah penerus Salafiyah Ahmad bin Hanbal, mengenai keyakinannya, Syaikh Muhammad Abu Zuhrah mengungkapkan: Ia percaya bahwa mazhab Salaf mengukuhkan makna yang disebutkan dalam Alquran tentang Allah, seperti di atas, di bawah, bersemayam di atas Arasy, wajah, tangan dan sebagainya (bagi Allah swt), dan yang disebutkan dalam riwayat-riwayat, tanpa takwil sama sekali. Sebelum dia Hanabilah abad IV H pun berakidah demikian mengenai sifat-sifat bagi Allah swt yang disebutkan dalam Alquran dan Sunnah, dan mengatakan bahwa inilah mazhab Salaf.
Baca: “Konsep Takdir dalam Akidah Syiah“
Sementara ulama sezaman mereka menentang akidah mereka itu yang membawa tasybih (penyerupaan dengan makhluk) dan tajsim (penjisiman) bagi Allah swt.”(Ibn Taimiyah/Abu Zuhrah 322-324)
Syahrestani menerangkan: Mereka mengukuhkan sifat-sifat khabariyah bagi Allah swt, seperti dua tangan, wajah dan sebagainya tanpa mereka menakwilnya.. Mutazilah menafikan sifat-sifat ini, dan oleh karena itu mereka disebut kelompok Muathilah (yang menolak pensifatan itu). Sedangkan Salafiyah disebut kelompok Sifatiyah (yang mensifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk).”
Beliau menambahkan: Kelompok belakangan adalah tambahan bagi apa yang diyakini Salaf. Pandangan mereka bahwa sifat-sifat khabariyah harus diaplikasikan pada makna tekstual tanpa takwil sama sekali. Karena itu mereka terjebak pada murni tasybih (sepenuhnya penyerupaan Tuhan dengan makhluk), yang hal ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh Salaf. (al-Milal wa an-Nihal/Syahrestani, hal 84)
Referensi: Syenakhte Salafiha/Ali Ashghar Ridhai
Baca: “Mengapa Agama Dijauhi?“
WAKHID EDY | 24 July 2018
|
Alhamdulilah, dapat ilmu baru dengan membaca ini