Kaum Muslimin diajarkan mengawali segala aktivitasnya dengan menyebut nama Allah. Itulah yang membuat mereka sepakat tentang kemuliaan Basmalah. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahmanirrahim, perbuatan mubah menjadi ibadah dan pelakunya pun beroleh pahala.
Basmalah bukan hanya kalimat yang diucapkan tapi sekaligus deklarasi kesadaran bahwa Kasih Tuhan adalah dasar bagi semua aktivitas manusia.
Tapi sadarkah kita ada yang sengaja membuang Bismillah, (password semua perbuatan baik) dari Alfatihah seraya menganggapnya bukan bagian dari wahyu suci dan memasukkan kata dari luar Alfatihah ke dalamnya?
Dalam Basmalah “bi” berarti “dengan”. Ia menegaskan kemestian relasi setiap perbuatan afirmatif dengan sesuatu yang prinsipal.
“(I)smi” berarti nama dan penanda identitas personal bagi setiap yang beragam. Bagi Tuhan, ism adalah manifestasi Zat-Nya.
Allah adalah nama teragung zat Pencipta alam (al-ism al-a’zham) yang merupakan sumber semua nama mulia-Nya.
Dalam Alquran kata “Allah” disebutkan sebanyak 930 kali, sedangkan kata “ilah” (tanpa dhamir) disebutkan sebanyak 80 kali.
Banyak mufasir dan pakar bahasa Arab menganggap kata “Allah” sebagai nama personal yang terserap dari bahasa non-Arab, Aramaik.
Menurut sebagian ahli, kata “Allah” berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga berarti zat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, “Allah” juga diyakini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.
Ayatullah Mustafa Khomeini, putra Imam Khomeini yang terbunuh di Najaf beberapa tahun silam, dalam kitab tafsir karyanya melontarkan sebuah pendapat unik dan penafsiran langka tentang anatomi kata “Allah” sesuai dengan dasar ilmu filologi yang dicetuskan pakar linguistik Amerika Chomsky, meski sangat mungkin Ayatullah Mustafa Khomeini tak membaca karya pemikir Yahudi anti-Zionisme itu.
Menurut beliau, kata “Allah” (الله) yang diawali dengan alif dan lam (ال) menunjukkan tanda ta’rif atau kata ma’rifah atau tertentu (seperti “the” dalam bahasa Inggris) yang dapat diindonesiakan sebagai “Tuhan itu” sebagai lawan kata “ilah” (اله) kata nakirah yang dapat diindonesiakan sebagai “sebuah tuhan”.
Menurutnya, salah satu bukti bahwa “Allah” bukan kata serapan dari “Elohim” dan “Yahwe” adalah ayat 97 dalam surah Thaha
“وَانظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَّنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا”.
“…dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya Kami akan membakarnya, kemudian Kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).”
Mustafa menyimpulkan bahwa penggabungan “ilah” (tuhan) dengan kata ganti “ka” (mu) dalam teks ayat di atas mengonfirmasi arabitas kata “Allah”.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kata “Allah” diucapkan dengan pola pronounce khusus, dengan lam ganda yang ditebalkan dan ha’ yang dihentakkan di akhir kata demi mencitrakan keagungan.
Tanpa mempersoalkan apakah kata “Allah” adalah kata asli Arab dari kata “ilah” ataukah serapan, yang pasti kata “ilah” mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul”. “Ilah” berarti “ma’bud” (yang disembah), seperti halnya “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis).
Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah (Tuhan yang layak disembah itu).”
Bersambung…[*]
Baca: “Meraih Keberkahan Sahur“
ABDUL WAHID | 9 September 2018
|
Bismillahirrahmanirrahimmmm
semoga doa kita semua dikabulka oleh Allah SWT