Di sebuah ruangan yang dipenuhi para ulama, pemimpin politik, dan cendekiawan dari berbagai negara Islam, suara seorang pemimpin bergema membawa pesan yang menembus batas ruang dan waktu. Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam, berdiri di hadapan hadirin dengan wajah teduh namun penuh ketegasan. Hari itu bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dan kelahiran Imam Ja’far Shadiq as—dua sosok agung yang membawa cahaya ilmu, akhlak, dan persaudaraan bagi dunia.
Di tengah situasi dunia Islam yang bergejolak, pesan beliau hadir bukan hanya sebagai seruan sesaat, melainkan sebagai ajakan mendalam untuk menata kembali arah perjalanan umat. Dengan suara berwibawa, Imam Khamenei menegaskan bahwa persatuan Islam bukanlah strategi politik sementara, melainkan keyakinan yang lahir dari iman yang tulus.
“Ini bukan taktik,” tegas beliau. “Ini adalah keimanan yang berakar di dalam hati.”
Pesan ini, meski disampaikan bertahun-tahun lalu, tetap terasa relevan hingga kini. Ketika konflik internal, perbedaan mazhab, dan intervensi asing terus mengoyak dunia Islam, ajakan untuk bersatu selalu menemukan momentumnya.
Cahaya dari Maulid Nabi
Pidato itu dimulai dengan pengagungan kepada Nabi Muhammad Saw, sosok yang digambarkan Al-Qur’an sebagai rahmatan lil-‘alamin. Imam Khamenei mengutip para penyair Arab klasik yang memuji Nabi sebagai sumber cahaya dan kehidupan bagi umat manusia.
“Beliau,” tutur Imam Khamenei, “adalah puncak kemanusiaan, cahaya yang menerangi jalan, dan teladan yang tak tertandingi dalam akhlak, ilmu, serta kedermawanan.”
Peringatan Maulid, bagi Imam Khamenei, bukan hanya momentum seremonial. Ia adalah pengingat bahwa ajaran Nabi membawa misi besar: menyatukan manusia di bawah panji tauhid, menegakkan keadilan, dan melawan segala bentuk kezaliman.
Tahapan Menuju Persatuan Nyata
Dalam pidatonya, Imam Khamenei menyusun kerangka yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan persatuan. Beliau tidak berbicara dalam abstraksi, melainkan memaparkan tahapan-tahapan konkret:
- Tahap Dasar: Menghentikan Permusuhan Internal
Pada tingkat paling rendah, umat Islam setidaknya harus menghentikan segala bentuk konflik internal. Negara-negara Muslim, etnis, dan mazhab tidak boleh saling menyerang atau menghancurkan satu sama lain. Tanpa prasyarat ini, sulit membayangkan langkah persatuan berikutnya. - Tahap Kedua: Bersatu Menghadapi Musuh Bersama
Di atas fondasi perdamaian internal, umat Islam perlu bersatu melawan musuh eksternal yang jelas-jelas merugikan mereka, seperti penjajahan, perampasan tanah, dan intervensi asing. Solidaritas terhadap Palestina adalah contoh paling nyata dari tahap ini. - Tahap Ketiga: Saling Menguatkan di Berbagai Bidang
Imam Khamenei menekankan bahwa dunia Islam memiliki potensi luar biasa: ada negara yang kaya sumber daya, ada yang unggul dalam ilmu pengetahuan, ada yang kuat secara militer. Persatuan berarti negara-negara ini saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan. - Tahap Tertinggi: Membangun Peradaban Islam Modern
Inilah puncak cita-cita persatuan: melahirkan peradaban Islam baru yang sesuai tuntutan zaman, berlandaskan nilai ilahi, namun mampu menawarkan jawaban bagi problem kemanusiaan kontemporer.
“Jika bahkan tahap paling dasar ini kita laksanakan,” tegas Imam Khamenei, “banyak tragedi yang menimpa dunia Islam tidak akan pernah terjadi.”
Palestina: Luka Kolektif Umat
Di antara berbagai isu yang disebutkan, Palestina menempati posisi utama dalam pidato Imam Khamenei. Beliau menyebut penderitaan rakyat Palestina sebagai luka kolektif umat Islam yang tidak boleh diabaikan.
Sejak kemenangan Revolusi Islam Iran pada 1979, dukungan terhadap Palestina bukan sekadar retorika. Langkah simbolis segera diambil: kantor perwakilan rezim Zionis di Teheran ditutup dan diserahkan kepada rakyat Palestina. Ini adalah pesan bahwa tanah Palestina harus kembali kepada pemilik sahnya.
Imam Khamenei meluruskan banyak kesalahpahaman: seruan untuk menghapus “rezim Israel” bukan berarti permusuhan terhadap agama Yahudi. “Kami menentang penjajahan dan rezim ilegal, bukan penganut agama,” tegas beliau.
Keyakinan bahwa Palestina suatu hari akan merdeka bukanlah mimpi kosong. Beliau mengingatkan bahwa banyak bangsa di dunia memperoleh kemerdekaan setelah puluhan tahun penjajahan. “Dan itu tidak sulit bagi Allah,” ujarnya, mengutip Al-Qur’an.
Musuh di Balik Panggung: Hegemoni Global
Pidato Imam Khamenei tidak berhenti pada ajakan moral, tetapi juga membongkar siapa aktor utama di balik perpecahan dunia Islam.
Menurut beliau, Amerika Serikat dan rezim Zionis adalah musuh nyata persatuan. Sejak kehadiran mereka di Timur Tengah, konflik dan ketidakstabilan justru semakin meluas: perang saudara, pendudukan, hingga lahirnya kelompok-kelompok ekstrem.
Namun yang lebih berbahaya, kata beliau, adalah upaya adu domba dan penyusupan ke pusat-pusat pengambilan keputusan di negara-negara Muslim. Mereka menanamkan gagasan bahwa tunduk kepada Barat adalah satu-satunya jalan keluar.
Imam Khamenei mengingatkan dengan ayat Al-Qur’an:
“Mereka memikat kalian dengan kata-kata manis, tetapi hati mereka memendam permusuhan.” (QS. At-Taubah: 8)
Keteguhan: Satu-satunya Jawaban
Menghadapi konspirasi ini, Imam Khamenei menyeru umat Islam untuk berpegang teguh pada perintah Al-Qur’an:
“Maka tetaplah engkau di jalan yang diperintahkan.” (QS. Hud: 112)
Keteguhan, bagi beliau, bukan berarti agresi buta, melainkan ketegaran menghadapi tekanan tanpa mengorbankan prinsip. Jalan ini memang penuh pengorbanan, tetapi justru di situlah nilai spiritualnya.
Beliau menegaskan bahwa setiap langkah menuju kemandirian politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan budaya adalah amal saleh. Mulai dari mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai, memperkuat ekonomi rakyat kecil, hingga melawan propaganda musuh—semuanya bernilai ibadah jika dilakukan demi kemuliaan umat.
Amal Saleh di Era Modern
Imam Khamenei memberikan definisi luas tentang amal saleh di zaman modern. Baginya, membangun laboratorium riset, menulis buku yang mencerahkan, mendirikan universitas, atau memproduksi teknologi yang bermanfaat bagi umat sama mulianya dengan ibadah ritual.
“Setiap langkah yang menguatkan dunia Islam—dalam ilmu, ekonomi, maupun persatuan—adalah amal saleh,” tegasnya.
Beliau bahkan mendorong para intelektual dan ulama untuk tidak takut menulis, berbicara, dan mengambil sikap di hadapan propaganda global. Mengutip Al-Qur’an, beliau berkata: “Mereka tidak takut kepada siapa pun selain Allah.” (QS. Al-Ahzab: 39)
Pidato itu diakhiri dengan keyakinan penuh bahwa meski jalan menuju persatuan panjang dan berliku, hari itu akan datang: hari ketika dunia Islam bangkit sebagai peradaban baru yang bebas dari penjajahan, bersatu di bawah panji tauhid, dan membawa cahaya bagi kemanusiaan.
“Dengan izin Allah,” ujar Imam Khamenei, “hari itu tidak akan lama lagi.”
Pesan beliau tetap hidup hingga kini, menjadi pengingat bahwa persatuan bukanlah slogan kosong, melainkan panggilan sejarah yang harus dijawab dengan ilmu, solidaritas, dan keteguhan iman.
Sumber: Khamenei.ir