Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kebangkitan sebagai Konsekuensi Rasional dari Kebijaksanaan Allah

Salah satu persoalan yang sering menimbulkan keraguan di benak manusia ialah: mungkinkah manusia yang telah mati dibangkitkan kembali? Apakah mungkin jasad yang telah hancur, tulang-belulang yang telah menjadi debu, dapat dihidupkan kembali sebagaimana semula? Pertanyaan ini bukan baru muncul di masa kini; bahkan sejak masa Nabi-nabi terdahulu, kaum materialis dan para penentang risalah Ilahi telah mempersoalkannya.

Namun, Al-Qur’an menjawab keraguan ini dengan penuh kejelasan dan kedalaman: “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan oleh bumi dari mereka, dan pada sisi Kami ada kitab yang memelihara.” (QS. Al-Qamar: 4)

Ayat ini menegaskan bahwa bagi Allah SWT—Zat yang memiliki ilmu tak terbatas dan kekuasaan yang tak berhingga—tidak ada hambatan untuk membangkitkan kembali makhluk yang telah mati. Dalam ilmu dan kekuasaan Ilahi, segala sesuatu selalu hadir dan diketahui. Tidak ada satu partikel pun di alam semesta ini yang keluar dari pengawasan-Nya. Oleh karena itu, kebangkitan bukanlah suatu hal yang mustahil, melainkan suatu keniscayaan dalam sistem keadilan dan kebijaksanaan Allah.


Kekuatan Tak Terbatas dan Ilmu yang Sempurna

Jika kita merenungi hakikat kehidupan, kita akan mendapati bahwa seluruh keberadaan manusia terbuat dari partikel-partikel bumi. Kita hidup dari gandum, buah, dan air yang tumbuh dari tanah; kita pun kembali menjadi tanah ketika mati. Maka, apakah Zat yang telah mengeluarkan kehidupan dari bumi ini tidak mampu menghidupkannya kembali?

Al-Qur’an berulang kali menegaskan: “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20)

Namun, keraguan manusia muncul bukan karena kekurangan bukti, tetapi karena pandangan manusia yang terbatas. Kita menilai kekuasaan Allah dengan ukuran kemampuan kita sendiri yang serba lemah. Akibatnya, kita tidak mampu memahami yang tak terbatas. Karena itulah, Al-Qur’an memaparkan berbagai kisah menakjubkan agar cakrawala pemikiran manusia melampaui batas-batas material.

Maryam melahirkan Isa tanpa suami (QS. 19:19), burung Ababil menghancurkan pasukan bergajah (QS. 105: 3–5), tongkat Musa as memancarkan dua belas mata air (QS. 2:60), Nabi Isa menghidupkan orang mati dengan izin Allah (QS. 5: 110), dan istri Nabi Ibrahim melahirkan Ishaq di usia tua (QS. 11:71–72). Semua peristiwa ini bukan sekadar cerita sejarah, tetapi latihan spiritual agar manusia menyadari bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT.


Kebangkitan dan Kebijaksanaan Ilahi

Setelah memahami kekuasaan-Nya, kita sampai pada bukti kedua dari kebangkitan, yaitu kebijaksanaan Allah SWT. Bila tidak ada kebangkitan, maka seluruh ciptaan ini akan menjadi sia-sia. Alam semesta dengan segala keteraturan, keindahan, dan kesempurnaannya, tidak akan memiliki makna jika akhirnya semua berakhir tanpa tujuan.

Al-Qur’an menjelaskan:
“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Al-An‘am: 101)

Dan juga: “Dia menjadikan segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.” (QS. As-Sajdah: 7)

Apakah mungkin Pencipta Yang Mahabijak menciptakan sistem semesta yang demikian indah hanya untuk dihancurkan tanpa hasil? Seorang tuan rumah yang mempersiapkan pesta megah tentu tidak akan membiarkan tamunya mengacaukan jamuan tanpa makna. Begitu pula, Allah SWT tidak akan membiarkan ciptaan-Nya berakhir tanpa pertanggungjawaban.

Kebangkitan adalah konsekuensi dari keadilan dan kebijaksanaan Ilahi. Jika tidak ada hari pembalasan, maka tiran yang menindas dan orang saleh yang tertindas akan berakhir dalam nasib yang sama, tanpa perbedaan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan Allah yang sempurna.


Kesempurnaan Ciptaan sebagai Bukti

Kebijaksanaan Ilahi tampak pada setiap sudut ciptaan: pada gerak bumi yang teratur, pada kelopak bunga, pada mata yang mampu menangkap cahaya, pada paru-paru yang menghirup oksigen, hingga pada cinta seorang ibu kepada anaknya. Semua itu adalah tanda-tanda kebijaksanaan yang tiada batas.

Imam Ali as pernah berkata tentang Rasulullah saw.:

“Nabi adalah pemimpin yang penuh cinta dan perhatian terhadap umat manusia, memperbaiki dan mengobati mereka setelah ruhani mereka ternodai.”

Allah telah membentangkan meja kehidupan yang penuh nikmat dan peluang bagi manusia untuk mengenal-Nya. Namun, sebagian manusia, terutama para zalim dan penindas, menyalahgunakan nikmat itu untuk menindas sesama. Maka, kelak di Hari Kebangkitan, semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Al-Qur’an mengingatkan:
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 191)


Kritik terhadap Pandangan Materialistis

Pandangan hidup materialistis menolak kebangkitan karena memandang hidup hanya sebatas makan, minum, dan kesenangan sesaat. Ideologi seperti Marxisme pun, meskipun berbicara tentang keadilan sosial, akhirnya membawa manusia pada kesimpulan nihilistik: setelah mati, semua berakhir.

Jika demikian, untuk apa manusia berjuang menegakkan keadilan? Untuk apa bersusah payah menempuh hidup yang penuh penderitaan jika akhirnya hanya menuju kehancuran? Dalam logika materialisme, bunuh diri bahkan bisa tampak rasional.

Namun, fitrah manusia menolak pandangan semacam itu. Setiap manusia membawa kerinduan bawaan untuk hidup abadi. Hasrat ini merupakan saksi batin bahwa kehidupan tidak berhenti di dunia. Allah berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (QS. Al-Qiyamah: 36)

Tidak mungkin kehidupan yang penuh keindahan dan kesempurnaan ini berakhir tanpa tujuan. Jika manusia hanya diciptakan untuk hidup, makan, dan mati menjadi debu, maka seluruh penciptaan ini tidak lebih dari permainan sia-sia.

Al-Qur’an menegur dengan keras: “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun:115)


Tujuan Penciptaan dan Kembalinya Kepada Allah

Tujuan penciptaan manusia bukan untuk bersenang-senang di dunia, tetapi untuk diuji—untuk melihat siapa yang memilih jalan Allah dan siapa yang tersesat dalam jalan setan. Dunia hanyalah ladang ujian; panennya akan dipetik di akhirat.

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)

Setiap amal, sekecil apa pun, akan mendapatkan balasan. Al-Qur’an menegaskan:
“Setiap diri bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir: 38)
Dan Luqman berpesan kepada putranya:
“Hai anakku, sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan seberat biji sawi dan berada di dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya.” (QS. Luqman: 16)


Tiada Hambatan bagi Kekuasaan Allah

Kebangkitan bukan hanya mungkin, tetapi pasti terjadi. Tidak ada hambatan bagi kekuasaan Allah yang Mahatahu dan Mahakuasa. Jika kita memahami keadilan dan kebijaksanaan-Nya, maka kita akan yakin bahwa hidup ini tidak berakhir di liang kubur.

Semua yang kita alami—nikmat, penderitaan, kesenangan, dan perjuangan—adalah bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan ruhani. Setiap atom amal akan dihisab, dan setiap jiwa akan kembali kepada sumber asalnya.

Allah SWT telah menciptakan alam dengan tujuan yang benar dan menegakkan prinsip keadilan sebagai hukum-Nya. Kebangkitan adalah mahkota dari seluruh ciptaan, bukti bahwa kasih dan kebijaksanaan-Nya tidak terbatas pada dunia fana.

Karena itu, seorang mukmin harus meyakini bahwa tiada satu pun rintangan yang dapat menghalangi kehendak Allah SWT. Segala sesuatu yang tampak mustahil di mata manusia hanyalah keterbatasan pandangan kita sendiri.

Dan pada akhirnya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, agar tiap-tiap diri dibalasi terhadap apa yang dikerjakannya.” (QS. Al-Jatsiyah: 22)


Disadur dari buku karya Ayatullah Mukḥsin Qara’ati – Misteri Hari Pembalasan: Dalil Al-Qur’an dan Argumen Akal

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT