Tak jarang dalam perjalanan berangkat dan pulang kerja, saya sengaja melewati jalan di tengah kiri dan kanannya, adalah “lembah geming”, maksud saya adalah kuburan. Di tengah “pamer dada” alias padat merayap kendaraan, sambil jalan pelan dan kadang harus berhenti, sesekali saya menoleh ke kiri dan kanan, untuk dapat menatap kuburan.
Terhimpun di sana, yang terkubur adalah yang di masa hidupnya sebagai kumpulan orang punya, yang dikatakan kaya, dan kumpulan orang tak punya yang dikatakan miskin, dan ada yang mati muda. Semua terkumpul dalam satu lahan, yang dulu mereka terpisah oleh jarak dan waktu, terpilah oleh benda material dan posisi sosial. Kini kuburan telah menyatukan mereka di batasan yang sama, yaitu komplek jejak kematian manusia.
Semua manusia yang hidup pasti akan menyusul mereka, walau di sebagian lahan di kota terdapat kelas-kelas tanah bagi setiap ukuran manusia mati, dan pihak keluarga harus membayar sewa atau ongkos perawatannya, jika tidak ingin makam itu merata atau kehilangan nisan almarhum, berganti nisan almarhum lainnya.
Bagi orang beriman, ziarah makam menjadi bahan tarbiyah dan ‘ibrah bagi dirinya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: زوروا القبور فإنها تذكركم الاخرة; “Kunjungilah kubur! Sesungguhnya ziarah mengingkatkan kalian pada akhirat.”
Adapun ziarah makam suci para nabi dan imam; syuhada dan orang-orang saleh, selain memberikan ‘ibrah tersebut dan selain dianjurkan, para peziarah ingin bertabarruk dan bertawasul kepada mereka, untuk urusan ukhrawi, bahkan urusan duniawi. Namun hal terpenting dari itu ialah menjalin hubungan spiritual dengan mereka, atas keyakinan sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, bahwa mereka sesungguhnya tidak mati; بل احياء عند ربهم يرزقون. Juga bahwa mereka adalah sebaik-baik kawan atau kawan sejati; وحسن اولئك رفيقا.
Di bawah ini adalah ringkasan dari fatwa ziarah -sebagai lanjutan artikel sebelumnya- yang disampaikan Ayatullah Uzhma Sayed Ali Sistani di dalam bukunya, “Fiqh az-Ziyârah”:
6-Tak sedikit peziarah melaksanakan shalat menghadap (kiblat, di hadapan dia adalah) pusara suci. Mereka bersujud syukur kepada Allah swt atas taufik dari-Nya bagi mereka dapat menziarahi pusara ma’shum. Yang menjadi soal ini, ialah mengenai sujud syukur itu di atas sajadah atau logam atau lainnya yang di pusara! Sebaiknya (ihtiyath) bersujud di atas sesuatu yang dibenarkan untuk sujud.
7-Mengikat kain di dharih (makam suci) lalu dikaitkan dengan diri peziarah dengan maksud bertabaruk (mengambil berkah), tidaklah masalah demikian itu.
8-Boleh mencium makam suci, mimbar husaini, bendera dan dinding husaini, dan bertabaruk kepada makam suci serta apapun yang berkaitan dengan Sayidus syuhada dan semua para imam suci.
9-Ada yang memohon kepada Imam Ali, tidak kepada Allah swt. Apakah hal ini dibenarkan? Tak terkira ada orang yang begitu dengan sangkaan bahwa Imam Ali mandiri dalam semua urusan di alam ini seperti Tuhan! Semua orang yang memohon hajat kepadanya, dikarenakan beliau adalah salah seorang kekasih Allah di antara muqarrabin (yang paling dekat dengan-Nya). Imam sebagai perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Tidaklah apa-apa memohon syafaat kepada para nabi dan imam.
Adalah bohong besar jika dikatakan bahwa kaum Syiah di dalam mencintai kekasih Allah dan hamba-Nya yang saleh melampaui batas syirik, bahwa mereka memohon kepada Ahlulbait Nabi saw, menyembelih hewan karena mereka dan mendekatkan diri kepada mereka, melebihi hal mendekatkan diri kepada Allah!
Syiah meyakini bahwa para imam suci adalah hamba-hamba Allah yang saleh. Kita mencintai mereka karena besar sekali ketulusan dan kefanaan mereka dalam cinta kepada Allah swt, dan Allah menyuruh kita agar cinta dan mengikuti mereka.
10-Sebagian peziarah saling mendorong saat berziarah untuk bisa sampai di sisi pusara suci, sehingga gerak para peziarah sempat terhenti. Hal ini boleh kecuali menimbulkan hal dilarang secara syar’i, seperti menyakiti yang lain dengan tindakan sampai batas memukul (misalnya) dan semua tindakan gangguan lainnya. Atau sampai bertindak mengabaikan kehormatan tempat suci seperti membentak, cekcok, kata-kata keji dan lain sebagainya.
Bila menziarahi (pusara) Imam Ali as pada sebagian momen ziarah besar, kami (dari warga Najaf) tidak bisa sampai ke bilik makam kecuali dengan cara mendorong para peziarah karena saking sesaknya. Maka kami berniat ziarah di lain hari tanpa mengganggu para peziarah yang datang dari daerah-daerah jauh. Yang menjadi soal ialah menerjang mereka untuk bisa sampai bilik makam!?
Dalam berziarah tidak harus sampai ke bilik makam. Cukuplah dengan tidak saling berdesakan di dekat bilik makam suci untuk bisa terhindar dari keramaian dan hal saling mendorong, dan menuntaskan ziarah di tempat yang agak lengang.
Sebagian peziarah saling mendorong untuk dapat mencium dharîh (pagar makam), dibolehkan selama tidak menyebabkan hal dilarang syariat, sebagaimana keterangan di atas.
Referensi:
-Fiqh az-Zair/Ayatullah Sayed Ali Sistani
-Fiqh al-Mazar/Ayatullah Syaikh Ja’far Subhani