Hubungan antara manusia dan ilmu adalah hubungan yang menentukan kualitas peradaban. Sejak Al-Qur’an meletakkan konsep iqra’ sebagai fondasi transformasi manusia, menjadi jelas bahwa posisi guru adalah pusat dari proses pembudayaan ilmu. Dalam refleksi Hari Guru Nasional, penting bagi kita untuk membaca kembali kedudukan guru dalam cahaya ayat-ayat Al-Qur’an, hadis Ahlulbait, pemikiran para ulama kontemporer seperti Murtadha Muthahhari, pandangan kepemimpinan Imam Khamenei, serta kearifan pendidikan nasional melalui pemikiran Ki Hajar Dewantara. Melalui pendekatan ilmiah ini, kita menemukan bahwa penghormatan kepada guru bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari konstruksi spiritual dan peradaban Islam.
Landasan Qur’ani tentang Guru dan Pendidikan
Al-Qur’an berkali-kali menegaskan bahwa ilmu adalah anugerah transendental yang diberikan Allah kepada manusia, dan guru adalah medium untuk mengantarkannya. Ayat Al-Qur’an yang mengawali gagasan epistemologi Islam adalah:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan… yang mengajar manusia dengan pena, mengajarkan apa yang tidak diketahui.” (QS. Al-‘Alaq: 1–5)
Ayat ini menempatkan “mengajar” sebagai salah satu sifat ketuhanan. Dengan demikian, guru—dalam batas tertentu—memantulkan sifat Ilahi: membawa manusia dari ketidaktahuan menuju pengetahuan. Konsep ini diperkuat oleh firman-Nya:
“Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, lalu Dia memberi pendengaran, penglihatan, dan hati agar kalian bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa ketidaktahuan adalah titik awal manusia, sementara ilmu dan bimbingan—yang seringkali diberikan oleh guru—adalah bentuk rahmat yang harus disyukuri. Maka, menghormati guru merupakan bagian dari syukur atas nikmat ilmu.
Selain itu, Al-Qur’an memuji mereka yang menyebarkan ilmu:
“Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9)
Pembedaan ini mengandung konsekuensi sosial: masyarakat yang ingin memuliakan ilmu wajib memuliakan para pendidiknya.
Guru dalam Riwayat Ahlulbait: Penjaga Cahaya Ilmu
Dalam tradisi Islam, ilmu dan guru memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Hadis masyhur dari Imam Ali as menyebut:
“Barang siapa mengajarkan kepadaku satu huruf, maka ia telah menjadikanku hamba baginya.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 103)
Ungkapan ini sering dibaca secara metaforis: bukan ketaatan literal yang dituntut, tetapi pengakuan bahwa ilmu adalah sesuatu yang begitu berharga sehingga hubungan guru-murid menjadi ikatan spiritual yang tidak dapat dinilai secara materi.
Imam Ja’far Shadiq as menegaskan:
“Para ulama adalah pewaris para nabi.”
Dalam pandangan Syiah, ulama tidak hanya pewaris ilmu agama secara tekstual, tetapi juga pewaris misi etika, spiritual, dan sosial para nabi. Guru—termasuk guru umum, guru ilmu dunia, dan pendidik masyarakat—termasuk dalam lingkup luas “orang-orang berilmu” yang menjaga warisan kenabian.
Imam Zainal Abidin dalam Sahifah Sajjadiyah bahkan mendedikasikan doa khusus untuk pendidik:
“Ya Allah, limpahkanlah kemuliaan kepada para pengajar kami dan muliakanlah mereka, sebab mereka mengarahkan kami untuk menaati-Mu dan mengenal syariat-Mu.”
Doa ini memperlihatkan bahwa guru adalah bagian dari struktur spiritual umat; mereka tidak sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi mengarahkan masyarakat menuju ketaatan, kesadaran moral, dan orientasi Ilahi.
Perspektif Murtadha Muthahhari, Sayid Ali Khamenei, dan Ki Hajad Dewantara
Syahid Murtadha Muthahhari (1920–1979), salah satu pemikir terbesar Iran modern, memberikan kontribusi besar dalam teori pendidikan Islam. Dalam banyak tulisannya, khususnya Pendidikan dalam Pandangan Islam dan Manusia dan Alam, ia menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar proses kognitif, melainkan proses “penciptaan manusia”.
Menurut Muthahhari: “Tugas guru bukanlah memenuhi akal dengan informasi, tetapi membangkitkan potensi ruhani yang tertidur dalam diri manusia.”
Ia mengkritik pendidikan yang hanya menekankan hafalan atau keterampilan teknis tanpa memperhatikan dimensi moral dan spiritual. Menurutnya, guru harus menjadi teladan akhlak sebelum menjadi penyampai pengetahuan. Ia mengutip riwayat Ahlulbait sebagai basis etis pendidikan: bahwa akhlak guru lebih kuat membentuk murid daripada kata-kata yang diucapkannya.
Muthahhari juga menyoroti hubungan emosional dan spiritual antara guru dan murid. Baginya, murid tidak hanya “menerima ilmu”, tetapi juga “meniru kepribadian” gurunya. Dengan demikian, guru harus memiliki integritas, kejujuran intelektual, dan keikhlasan spiritual. Dalam kerangka ilmiahnya, Muthahhari menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan tidak dinilai dari ujian atau gelar, melainkan dari kematangan manusia yang dihasilkan.
Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, sering menekankan bahwa peradaban masa depan dibangun oleh guru. Dalam berbagai pidatonya, beliau menyatakan:
“Guru adalah pembangun masa depan. Setiap kata yang ia ucapkan membentuk batu bata pada bangunan masyarakat esok hari.”
Imam Khamenei melihat pendidikan sebagai instrumen strategis dalam kebangkitan dunia Islam. Ia menilai bahwa guru bukan sekadar pekerja profesional, tetapi pemimpin moral dan sosial. Beliau mengatakan:
“Jika suatu bangsa ingin menjadi kuat, ia harus memuliakan guru. Memuliakan guru berarti memuliakan ilmu, akhlak, dan masa depan.”
Dalam perspektif beliau, guru harus memiliki dua kualitas utama:
- Ilmu yang benar, agar mampu memandu generasi muda melintasi tantangan global.
- Akhlak yang kuat, agar pendidikan tidak hanya menghasilkan orang cerdas, tetapi juga berkarakter.
Pandangan ini sejalan dengan ajaran Ahlulbait yang selalu mengaitkan ilmu dengan akhlak, dan keduanya dengan tanggung jawab sosial.
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional Indonesia, memberikan perspektif yang menarik dan selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Semboyannya yang sangat terkenal:
- Ing ngarsa sung tuladha — di depan memberi teladan
- Ing madya mangun karsa — di tengah membangun semangat
- Tut wuri handayani — di belakang memberi dorongan
Konsep ini menggambarkan guru sebagai pusat pembentukan karakter. Ki Hajar menekankan bahwa pendidikan adalah proses menuntun, bukan memaksa:
“Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar ia mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat.”
Dalam kerangka ilmiah, gagasan ini menekankan pendekatan humanis dalam pendidikan, sejalan dengan filsafat Syiah yang memandang manusia memiliki fitrah kesucian (fitrah al-insan) yang harus disuburkan.
Dalam tradisi Islam, guru adalah pusat transmisi pengetahuan agama, sastra, filsafat, dan peradaban. Majelis-majelis ilmu yang kita kenal hari ini—baik majelis fikih, akhlak, sejarah, maupun kajian Ahlulbait—tidak akan bertahan tanpa dedikasi para guru dan ulama yang menjaga warisan tersebut.
Guru sebagai Cahaya Peradaban
Dalam perspektif ilmiah dan spiritual, guru adalah pelita yang menerangi jalan umat manusia. Mereka memindahkan warisan pengetahuan dari generasi ke generasi, menjaga moralitas masyarakat, dan membentuk karakter bangsa. Al-Qur’an, riwayat Ahlulbait, pemikiran Muthahhari, refleksi Imam Khamenei, dan kebijaksanaan Ki Hajar Dewantara semuanya membentuk satu kesimpulan besar:
Tidak ada peradaban tanpa guru. Tidak ada kebangkitan tanpa ilmu. Dan tidak ada ilmu tanpa penghormatan kepada para penyampainya.