Udara terasa sejuk. Langit tampak mendung sepertinya hari ini matahari enggan untuk muncul. Sejak tadi pagi hujan mengguyur kota. Jalanan terlihat sepi, hanya sesekali mobil yang lewat. Hari ini hari libur, membuat orang-orang kota malas untuk keluar rumah. Mereka memilih beristirahat dan menikmati liburan bersama keluarga di rumah.
Di perempatan jalan, tampak seorang anak kecil berusia enam tahun berlari-lari menghampiri setiap mobil yang berhenti di lampu merah. Dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi kue dagangannya dengan lembaran plastik.
Dialah Akbar. Setiap liburan, Akbar membantu ibunya untuk menjajakan kue.
“Kue… kue!”seru Akbar berusaha mengalahkan suara air hujan.
Dari balik kaca mobil, seorang ibu menatap dengan kasihan. Dalam hatinya dia merenung, anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual kue. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.
“Mau kue yang mana, Bu?” tanya Akbar dengan riang.
”Nggak usah, ini buat kamu makan, saya masih kenyang,” jawab si ibu.
Si Akbar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima.
“Terima kasih, Bu. Saya menjual kue. Kalau Ibu mau beli kue silahkan, tetapi kalau Ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya,” Akbar berkata dengan wajah polos dan penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya. Raut mukanya tampak kesal. Dengan cepat dinaikkannya kaca mobil seraya menggerutu, “Sudah miskin, sombong!” Kakinya menginjak pedal gas karena lampu lalu lintas sudah hijau.
Akbar termenung penuh tanda tanya. Akbar berlari lagi ke pinggir. Dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh.Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap rintik-rintik hujan di depannya sambil bergumam, “Ya Allah! Hari ini belum satu pun kue ibu yang laku.”
Hari beranjak sore, namun hujan belum juga reda. Akbar masih saja duduk berteduh di emperan ruko. Sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Akbar hanya memandangi kue-kuenya, namun tidak tega memakannya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya. Seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah dan berkata, “Dasar tukang gorengan, minyak kaya gini bisa bikin batuk.” Dengan marah dibuangnya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah dan beranjak kembali masuk ke mobil.
Akbar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil. “Mohon maaf, Pak. Bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja Bapak buang untuk saya makan?” pinta Akbar dengan penuh harap.
Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, Bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau,” kata bapak itu.
“Terima kasih, Pak. Satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya. Boleh khan, Pak?” tanya Akbar sekali lagi.
“Bboooleh,” jawab pria tersebut dengan tertegun.
Akbar berlari riang menuju tong sampah. Dengan wajah sangat bahagia, dia mulai makan gorengan. Sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Akbar yang sedang makan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Akbar. Dengan lembut pria itu bertanya sambil menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh perasaan kasihan, “Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijin untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?”
“Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya. Meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga. Dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya,” jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam lalu berkata, “Kamu sungguh luar biasa. Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu. Aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya?”
Si anak kecil tersenyum dengan manis, “Maaf, Pak. Bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya membuang gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir.”
“Tapi bukankah kamu menyia-nyiakan kesempatan untuk makan nikmat di restoran,” ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa Akbar berfikir salah.
Akbar menatap wajah laki-laki di depannya dengan tatapan yang sangat teduh dan berkata, “Saya sudah sangat bersyukur dengan sekantong gorengan hari ini, Pak. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya.”
Lalu Akbar berdiri dan mencium tangan bapak di depannya untuk berpamitan.
Bapak tersebut masih terpana. Dia mengamati anak kecil di depannya sambil mendoakan, “Semoga masa depanmu cerah, Nak!”
Akbar selalu mengingat pesan ibunya untuk selalu semangat belajar dan bekerja, menjaga harga diri dan tidak mudah menerima pemberian serta belas kasih orang.
Rasulullah saw. bersabda, “Carilah kebutuhan dengan menjaga harga diri, karena semua perkara yang terjadi berjalan sesuai takdir Ilahi.”
Imam Baqir a.s. berkata, “Carilah kehormatan dan harga diri dengan mematikan sifat tamak yang tercela.”
Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, dan mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik.