Di antara yang khas dan paling mencolok dalam akidah Islam mazhab Ahlulbait adalah tentang Imam Mahdi yang dijanjikan, yaitu keyakinan pada sosok yang mewujud pasti, sedang gaib dan jelas identitasnya. Dialah Imam ke-12 dari keturunan suci Nabi Muhammad Saw. Dia telah lahir secara nyata ke dunia ini pada 15 Syakban 255 H/869 M sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarah Islam.
Dialah putra Imam al-Hasan al-‘Askari (232 H/846 M–260 H/874 M) bernama Muhammad. Dia memegang tugas imamah setelah ayahnya wafat pada 260 H. Dia mengalami masa gaib dua kali; gaib singkat (260 H–329 H) dan gaib panjang (329 H hingga kini).
Pada masa gaib singkat itu, dia berkomunikasi dengan para Syiahnya melalui duta-duta khususnya. Kemudian masa gaib panjang ditandai dengan wafatnya duta ke-4 pada 329 H dan berlanjut hingga kini, hingga waktu yang ditentukan Allah Swt untuk tampil menuntaskan tugas agungnya menegakkan pemerintahan dunia yang penuh keadilan di muka bumi.
Sementara itu, Ahlusunnah menyepakati al-Mahdi yang dijanjikan berasal dari Ahlulbait a.s. dari putra Fatimah a.s. namun sejumlah kalangan dari mereka meyakininya telah lahir, dan sebagian lainnya berpendapat bahwa dia akan dilahirkan dan tampil pada akhir zaman untuk mewujudkan janji Ilahi tanpa menyandarkan dalil ayat atau pun dalil akal, melainkan hanya bersandar pada hadis-hadis yang menunjukkan kemunculannya pada akhir zaman. Ini bukanlah dalil sempurna bahwa kelahirannya kelak terjadi di akhir zaman juga. Selain itu, tidak ada dalil yang menegasikan kegaibannya.
Baca: Kelahiran Imam Mahdi dalam Catatan (Bag. 2)
Kelahiran dan kemunculannya tidaklah mesti terjadi pada masa yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepastian tentang kemunculannya di akhir zaman tidak serta merta menegasikan kegaibannya.
Sedangkan mazhab Ahlulbait memandang bahwa masa gaib terjadi sebelum kemunculannya yang hal ini tidaklah kontradiktif. Mazhab Ahlulbait mengajukan pelbagai argumentasi untuk membuktikan terjadinya kegaiban secara rinci dalam buku-buku akidah mereka yang terkemuka.[i]
Janji Ilahi dan kabar gembira langit berupa penyelamat dunia di akhir zaman yang dijanjikan juga terdapat dalam agama-agama terdahulu. Tiada yang memiliki kesesuaian ciri-cirinya selain al-Mahdi putra al-Hasan al-‘Askari a.s. yang diimani oleh mazhab Ahlulbait.
Lebih dari itu, dia menyatakan secara terang-terangan tentang kegaibannya. Inilah pandangan Imamiyah yang terpenting. Dia juga menyatakan dirinya sebagai penutup para imam yang dua belas. Hal ini menunjukkan karakteristik khasnya.
Perkara ini menjadikan pengenalan akidah Imamiyah seputar al-Mahdi al-Muntazhar sebagai jembatan dalam menuntaskan perselisihan dalam penentuan identitas sang penyelamat akhir zaman seraya bersandarkan metode ilmiah dalam kajian ini.
Setiap Zaman Memiliki Imam
Sejumlah ayat Al-Quran menyatakan dengan gamblang tentang kepastian adanya imam pada setiap zaman, yang memberikan petunjuk kepada manusia dan menyaksikan amal-amal mereka sebagai hujah Allah atas penduduk zaman di dunia dan akhirat. Terjadinya perselisihan politik sepanjang sejarah Islam menyebabkan tertutupnya dalil-dalil yang jelas ini, lalu mengarahkannya kepada takwil-takwil yang jauh dari kenyataan.
Ayat Pertama
يَوۡمَ نَدۡعُواْ كُلَّ أُنَاسِۭ بِإِمَٰمِهِمۡۖ فَمَنۡ أُوتِيَ كِتَٰبَهُۥ بِيَمِينِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَقۡرَءُونَ كِتَٰبَهُمۡ وَ لَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلٗا وَ مَن كَانَ فِي هَٰذِهِۦٓ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَ أَضَلُّ سَبِيلٗا
(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa diberikan catatan amalnya di tangan kanannya mereka akan membaca catatannya (dengan baik), dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun. Barang siapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar). (QS. Al-Isrā’ [17]:71-72)
Ini adalah ayat yang jelas bahwa setiap penduduk zaman memiliki imam yang akan dipanggil pada hari Kiamat. Mereka akan menjadi hujah dan saksi pada Hari Perhitungan.
Baca: Bukti Keberadaan Imam Mahdi a.s Perspektif Ayatullah Sayyid Mohammad Baqir Sadr
Siapakah imam yang dimaksud dalam ayat pertama ini?
Untuk menjawabnya, kita harus merujuk kepada istilah Al-Quran itu sendiri untuk mengenali makna yang dikehendaki Al-Quran dan sesuai dengan teks Al-Quran.
Lafal imam dalam Al-Quran yang merujuk kepada individu hanya ada dua jenis, tak ada yang ketiganya yang digunakan Al-Quran, yaitu:
- Imam pertama adalah imam yang dinobatkan Allah Swt untuk memberi petunjuk kepada manusia, sebagaimana dalam ayat,
وَ جَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا
Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami. (QS. Al-Anbiyā’ [21]:73)
وَ جَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَـمَّا صَبَرُواْۖ وَ كَانُواْ بِـَٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah [32]:24)
إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا
Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia. (QS. Al-Baqarah [2]:124)
وَ نُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَ نَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَ نَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi. (QS. Al-Qashash [28]:5)
وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا
dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqān [25]:74)
Ayat-ayat tersebut menyatakan secara gamblang bahwa yang menobatkan atau mengangkat imam atau pemimpin adalah Allah Swt secara langsung.
- Imam jenis kedua adalah imam yang memberi petunjuk kepada kesesatan, sebagaimana dalam ayat,
فَقَاتِلُواْ أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
Maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. (QS. At-Tawbah [9]:12)
وَ جَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنصَرُونَ
Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak ke neraka dan pada hari Kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS. Al-Qashash [28]:41)
Dua jenis imam di atas merujuk kepada individu. Sedangkan imam yang merujuk kepada selain individu digunakan Al-Quran dalam bentuk tunggal untuk dua makna, yaitu imam yang berarti Taurat:
وَ مِن قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَ رَحْمَةً
Dan sebelumnya (Al-Quran), telah ada kitab Musa sebagai imam (petunjuk) dan rahmat. (QS. Al-Ahqāf [46]:12)
Boleh jadi, lafal ini digunakan sebagai penyifatan imam pada seluruh kitab-kitab langit lainnya. Sementara makna kedua untuk imam adalah Lauh Mahfuzh,
وَ كُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam imam yang jelas. (QS. Yāsīn [36]:5)
Dengan demikian, siapakah imam yang dimaksud oleh ayat 71 surah Al-Isrā’ di atas? Bukankah setiap zaman memiliki representasi atas lafal itu lalu akan dipanggil saat hari Kiamat? Apakah dia seorang tertentu? Ataukah dia salah satu kitab samawi belaka di setiap masa? Ataukah dia Lauh Mahfuzh?
Tentu saja, imam yang dimaksud bukanlah kitab-kitab samawi atau pun Lauh Mahfuzh, karena ayat umum dan secara benderang menjadi indikatornya, yaitu tiada masa tanpa memiliki imam, atau tiada kaum tanpa pemimpin, mencakup masa lalu maupun belakangan. Secara pasti, Al-Quran dan sejarah menunjukkan kitab samawi pertama adalah yang dibawa Nabi Nuh a.s. Oleh karenanya, pendapat yang menyatakan bahwa imam pada ayat adalah setiap masa setelah Nabi Nuh a.s. bertentangan dengan universalitas teks ayat, “setiap umat”.
Baca: Any Quest 7: Autentisitas Kitab al-Kafi dan Perwakilan Imam Mahdi
Demikian pula tafsir yang menyatakan imam pada ayat 71 surah Al-Isrā’ adalah Lauh Mahfuzh mustahil, karena ia berbentuk tunggal tidak bisa dikhususkan pada setiap zaman tertentu, sementara ayat menyebut secara jelas bahwa “setiap umat dengan imamnya”.
Dengan demikian, hanya ada pendapat pertama, yaitu imam yang dimaksud ayat 71 surah Al-Isrā’ adalah sosok tertentu yang memimpin penduduk setiap zaman menuju jalan kebenaran atau kebatilan. Atau yang dimaksud ayat tersebut adalah hanya imam kebenaran yang dipilih Allah Swt di setiap masa untuk memberi petunjuk kepada manusia. Dialah hujah Allah Swt atas manusia setiap masa yang akan dipanggil pada hari Kiamat, apakah dia seorang Nabi, seperti Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., Isa a.s., Muhammad Saw ataukah dia seorang washi para Nabi a.s.
Sementara yang dimaksud dengan “pemanggilan” pada ayat tersebut adalah ‘pemanggilan setiap umat bersama imam zaman mereka, lalu diberikan catatan amal di tangan kanannya bagi siapa yang mengikuti imam yang haq tersebut, ataukah mengalami kebutaan karena tidak mengenali imam yang haq pada masanya atau pun berpaling darinya’.
Dalam tafsir al-Mīzān, Allamah Thabathaba-i memberi catatan khusus pada pendapat yang menyatakan makna imam adalah para nabi saja, seolah-olah yang akan dipanggil di hari Kiamat hanyalah umat Nabi Ibrahim, umat Nabi Musa, umat Nabi Isa atau pun umat Nabi Muhammad Saw. Menurutnya, pendapat ini tidak sesuai dengan kontekstual ayat, karena ayat ini akan mengeluarkan ketentuan bagi umat-umat yang tidak ada nabi, bahkan bertentangan dengan ayat secara tekstual.[ii]
Ayat 71-72 surah al-Isrā’ ini memastikan adanya imam haq yang akan memberi petunjuk kepada manusia di setiap masa. Dia menjadi hujah Allah atas umat pada zamannya, baik di dunia maupun di akhirat. Mengenalinya dan mengikutinya akan menjadi jalan keselamatan pada Hari Kebangkitan kelak. Sementara buta dalam mengenalinya di dunia akan menyebabkan kebutaan dan kesesatan di hari Akhirat.
Lalu siapakah sejatinya hujah Allah Swt atas makhluknya di masa kini? Dia haruslah seseorang yang merepresentasikan imam haq di setiap zaman pada ayat itu.
Ayat Kedua
وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِـمِينَ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) bersabda, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:124)
Imamah dalam ayat ini menunjukkan sebagai suatu janji dari Allah Swt. Imamah ini tidak akan dipakai oleh orang zalim sama sekali. Melakukan kemaksiatan adalah salah satu bentuk kezaliman, karena itu, seorang imam atau imamah hanya berlaku bagi seorang yang maksum.
Dengan kata lain, dalam ayat tersebut Allah menegaskan kepada Nabi Ibrahim a.s. bahwa imamah akan berlaku bagi keturunannya yang maksum dan pakaian imamah tidaklah dikenakan oleh yang tidak maksum.
Kita akan memahami bahwa keturunan Nabi Ibrahim a.s. akan terus mengenakan pakaian imamah hingga hari Kiamat. Hal ini dikuatkan dalam ayat,
وَ جَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali. (QS. Az-Zukhruf [43]:28)
Manakala imamah adalah janji Ilahi, seorang imam merupakan pilihan dari sisi Allah Swt. Dia-lah yang Mahatahu kepada siapa Dia berikan risalah-Nya. Pemilihan Ilahi ini akan mewujud pada sosok tertentu sebagai imam sesuai dengan teks yang disampaikan oleh wahyu Al-Quran, Sunah Nabi, ditetapkan keimamahannya, atau penampakan mukjizat di hadapannya sehingga memperkuat pengakuannya sebagai imam.
Imam zaman kita yang disebut ayat 71 dan 72 surah Al-Isrā’, tentu menjadi petunjuk bagi umatnya dan menjadi saksi atas perbuatan mereka agar hujahnya menjadi nyata di hari Kiamat. Dia tentu seorang yang maksum dan berkedudukan tertinggi dalam hal keadilannya untuk menjalankan tugasnya sebagai pemberi petunjuk dan saksi. Dia juga seorang yang berasal dari keturunan Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana janji pasti dari Allah Swt. Dia juga seorang yang maktub dalam teks-teks hadis Rasulullah Saw atau seseorang yang dinyatakan sahih sebagai imam atau pengakuannya sebagai imam itu sahih.
Lantas siapakah yang memenuhi kriteria tersebut pada masa kini?
Sangat jelas bahwa tidak ada seorang pun yang tampil di muka bumi sesuai dengan kriteria di atas dan tidak ada seorang yang dengan nyata mengaku.
Bagaimanakah kiranya ketiadaan wujud seseorang yang tampil dengan kriteria di atas pada masa kini sebagai imam, ataukah berarti masa kini kosong dari imam?
Jawabnya, tentu tidak! Karena hal itu bertentangan dengan ayat 71 dan 72 surah al-Isrā’. Hanya ada satu pilihan, bahwa dia ada, gaib dan kelak bangkit sebagai kemestiannya sebagai hujah bagi penduduk masanya pada hari Kiamat.
Demikianlah pendapat mazhab Ahlulbait tentang al-Mahdi al-Muntazhar a.s. Hal ini ditunjukkan oleh pelbagai dalil naqli dan akal yang memenuhi kriteria kemaksuman, teks dari Rasulullah Saw, ketetapan imamahnya dari ayah-datuknya a.s., mukjizat yang terjadi pada masa gaib singkat (bahkan pada masa gaib panjang), dan melaksakanan tugas-tugas imamah pada masa gaibnya sebagai hujah bagi umatnya. Hal itu tercatat dalam buku-buku yang ditulis para ulama mazhab ini.[iii]
Sebagian riwayat dan kitab ditulis jauh sebelum kelahiran Imam Mahdi a.s. dalam rentang yang panjang. Di dalamnya terdapat hadis-hadis yang mengandung teks tentang imamah dan riwayat tentang kegaiban serta panjangnya masa kegaiban sebelum hal itu terjadi. Ini salah satu bukti yang paling jelas atas kesahihannya. Hal ini juga dikuatkan para ulama saat terjadi masa gaib yang menunjukkan kesesuaian dengan hadis-hadis yang telah mengabarkannya.
[i] Sebut saja misalnya, Kitab al-Ghaibah karya Syekh an-Nu’mani (w. 360 H/971 M), kitab Ikmāl ad-Dīn karya Syekh Shaduq (305 H/917 M – 381 H/991 M), Rasā-il Syekh al-Mufīd fī al-Ghaibah: lima buah tulisan Syekh Mufid (336 H/948 M – 413 H/1022 M) dan bukunya yang berbicara tentang 10 penjelasan atas kegaiban, Kitab al-Muqni’ fī al-Ghaibah karya Sayid al-Murtadha (355 H/965 M – 436 H/1044 M), Kitab al-Ghaibah karya Syekh Thusi (385 H/995 M – 460 H/1067 M), dan sebagainya.
[ii] Allamah Thabathaba-i, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, j. 13, 165-169.
[iii] Silakan merujuk langsung, Ayatullah Syekh Lutfullah as-Shafi, Muntakhab al-Atsar fī al-Imām al-Tsānī ‘Asyar, beliau mengumpulkan riwayat dari jalur Ahlussunnah dan Syiah, dan Syekh al-Hurr al-‘Amili, Itsbāt al-Hudāt bi an-Nushush wa al-Mu’jizāt. Sementara dari ulama kalangan Ahlussunnah Syekh Ibrahim al-Hamawaini al-Juwaini as-Syafi’i, Farā-id as-Simthain, dan Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanābi’ al-Mawaddah dan pelbagai kitab lainnya.