Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imamah Para Imam Ahlulbait dan Hadits Tsaqalain

Agama Islam sebagai sendi kehidupan yang mencakup urusan duniawi dan rohani. Islam tidak hanya merupakan aliran moral atau filsafat yang hanya disampaikan melalui buku-buku dan murid-murid tertentu. Islam juga sebagai mazhab moral, kultural, sistem sosial, politik, dan pemikiran baru.

Pada masa Bani Umayah, terjadi penyimpangan pemerintahan yang mengubah lembaga kekhalifahan menjadi sekadar kulit semata. Formalitas luar tetap dipertahankan, namun ruh ketakwaan, kejujuran, keadilan, keikhlasan, cinta, persamaan, dan perlindungan terabaikan. Ilmu dan pengetahuan juga dihinakan dan dikucilkan. Hal yang dibesar-besarkan hanya puisi dan adat kebiasaan pra-Islam. Akibatnya, lembaga politik terpisah dari agama, dan orang-orang yang mewakili warisan spiritual Islam tidak diizinkan berpartisipasi dalam urusan politik.

Pemisahan antara agama dan lembaga politik menjadi ancaman terbesar bagi Islam. Dalam masa kekhalifahan pertama dan kedua, agama dan lembaga politik masih berjalan bersama dalam batas-batas tertentu, tetapi benih-benih pemisahannya sudah terlihat pada masa itu. Pemisahan ini dianggap sebagai ancaman terbesar, dan pendukung Islam ingin menjaga agar keduanya tetap bersatu seperti hubungan antara ruh dan jasad.

Islam menaruh kepentingan pada lembaga politik, pemerintah, hukum politik, dan jihad hanya untuk melindungi warisan spiritualnya, seperti tauhid, nilai-nilai spiritual dan moral, keadilan sosial, persamaan, dan penghargaan terhadap perasaan manusia. Jika kulit (lembaga politik) dipisahkan dari intinya, warisan spiritual Islam akan hancur.

Baca: Imamah Menurut Mazhab Syiah dan Ahlusunah Bag.1

Tindakan berani yang dilakukan oleh para Imam, seperti Imam Husain as., merupakan perlindungan terhadap warisan spiritual Islam. Mereka menjauhkan Islam dari lembaga kekhalifahan yang ada pada masa itu, dan mengungkapkan bahwa Islam sebenarnya berarti ketakwaan, mengenal Allah, dan pengorbanan diri demi keridhaan-Nya, bukan sekadar nilai-nilai yang diperkenalkan oleh Khalifah Umayah.

Sekarang mari kita lihat apa arti dari warisan spiritual Islam dan bagaimana para Imam as. melindunginya. Al­Qur’an berkata: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat­Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah.” (QS. aI-Jumu’ah: 2)

Al-Qur’an juga mengatakan:

“Agar manusia dapat menegakkan keadilan.” (QS. aI-Hadid: 25)

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS. al-Ahzab: 45)

Para Imam memiliki dua fokus utama dalam tindakan mereka. Pertama, mereka mendorong orang-orang untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Contohnya yang paling mencolok adalah kebangkitan Imam Husain as. Kedua, para Imam memberikan perhatian pada penyebaran ilmu pengetahuan. Contohnya adalah sekolah Imam Ja’far Shadiq yang melahirkan ulama-ulama terkemuka. Selain itu, karya-karya seperti Nahjul Balaghah, Sahifah Sajjadiyah, dan dialog-dialog Imam Ali Ridha juga menyediakan panduan moral dan spiritual.

Para Imam tersebut menunjukkan ketakwaan praktis, kezuhudan, perhatian sosial, dan kebajikan. Mereka meluangkan malam mereka untuk beribadah kepada Allah dan membantu orang-orang miskin dan lemah. Mereka memiliki sifat pemaaf, kasih sayang, dan rendah hati. Pandangan mereka mengingatkan umat tentang kualitas moral dan spiritual yang diajarkan oleh Islam dan Rasulullah. Misalnya, Imam Musa al-Kazhim mengawasi dekat istana Harun al-Rasyid. Imam Ali Ridha, saat masih menjadi putra mahkota, menekankan kesamaan derajat di antara manusia berdasarkan ketakwaan. Beliau juga makan bersama tukang cukur dan satpam serta dengan bebas bergaul dengan mereka.

Falsafah spiritual Islam merupakan pemeliharaan terhadap warisan moral dan spiritualnya serta pengawetan atas intinya terhadap kulitnya. Pemisahan spiritual dari lembaga politik berarti pemisahan inti dari kulitnya.

Hadits Tsaqalain

Hadits Tsaqalain merupakan hadis sahih yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik kalangan Syiah maupun Sunni. Sanad dari hadis ini mutawatir, artinya diriwayatkan oleh banyak perawi yang tidak tercela. Susunan katanya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak adalah seperti berikut ini: “Aku tinggalkan di antara kalian dua hal yang berharga: Kitabullah dan para keturunanku yang terpilih (ithrahku). Selama kalian menaati mereka, kalian tidak akan pernah tersesat. Mereka tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga mereka menjumpaiku di al-Haud.”

Kemunduran dan penyimpangan umat Islam dimulai ketika mereka mencoba memisahkan antara dua hal ini (agama dan lembaga politik). Pertanyaan mengapa Nabi menambahkan sesuatu selain Kitab yang di bawahnya berkaitan dengan kedalaman dan kompleksitas Al-Qur’an yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan dari seorang penafsir. Hal ini dapat diilustrasikan dengan contoh impor barang dari luar negeri seperti kain, sepatu, atau perkakas. Dalam hal ini, kita tidak memerlukan seseorang untuk memberi tahu kita cara menggunakannya. Namun, jika kita mengimpor peralatan pabrik, kita membutuhkan ahli yang terlibat dalam pemasangan dan pengoperasiannya.

Oleh karena itu, masalah kepemimpinan dalam konteks otoritas keagamaan, yang telah ditunjukkan oleh hadis yang sahih, menekankan bahwa tidak cukup hanya menguasai bahasa Arab secara umum, kemudian mampu menafsirkan Al-Qur’an, memahami berbagai tujuan dan menjelaskan perintah dan aturan moralnya.

Baca: Imamah Menurut Mazhab Syiah dan Ahlusunah Bag.2

Kedua belas Imam kita adalah para teknisi Al-Qur’an. Ilmu mereka bukan milik dunia akal. Ilmu mereka adalah ilham Ilahiah. Imam Ali as. berkata kepada Kumail: “Ilmu dengan wawasan yang sesungguhnya datang kepada mereka secara tak diduga-duga. Mereka mengalami kepuasan keyakinan. Mereka mudah mendapatkan apa yang didapatkan orang-orang yang hidup dalam kemewahan, yang dianggap sulit. Dan mereka akrab dengan yang ditakuti oleh orang-orang yang jahil.”

Imam Ali berkata: “Para keturunan Nabi yang terpilih (Ahlulbait) menjaga amanahnya dan dipatuhi dengan perintah-perintahnya. Mereka adalah harta benda dari ilmunya, tempat berlindung kebijaksanaannya, arsip dari Kitab-kitabnya dan pendukung agamanya. Dengan pertolongan mereka ia meluruskan punggungnya dan memperoleh ketenangannya. Tidak ada dari umatnya (pengikutnya) yang dapat disamakan dengan mereka. Mereka adalah landasan agama dan poros dari iman. Kepada mereka kembali orang-orang yang tersesat dan orang-orang yang tertinggal di belakang, menyertai mereka demi petunjuk dan keselamatan. Secara tepat-guna mereka mampu dan layak bagi kedudukan kepemimpinan; mereka telah ada dan bahkan sekarang menjadi pewaris yang berhak dari Rasulullah yang telah mempercayakan imamah kepada mereka.” (Nahjul Balaghah, khotbah ke-56)

“Melalui kami kalian dibimbing dalam kegelapan dan mampu menapakkan kaki di atas jalan. Dengan bantuan kami kalian mendatangi cahaya fajar dari kegelapan malam. Tulilah telinga yang tidak mendengarkan tangisan (nasihat) sang pembimbing.” (Nahjul Balaghah, Khotbah ke- ke-8)

“Suatu masa akan datang setelahku, ketika tidak ada yang lebih tersembunyi daripada kebenaran dan lebih tampak daripada kebatilan. Pada masa itu Al-Qur’an dan umatnya akan diusir. Al-Qur’an dan para penjaganya (Ahlulbait), yang adalah dua sahabat yang berjalan bersama pada jalan yang sama, tidak akan diikuti oleh siapa pun. Pada masa itu mereka akan berada di antara umat manusia, tetapi tidak ada seorang pun yang mencari petunjuk dari mereka, dan mereka akan bersama umat manusia, tetapi tidak sungguh-sungguh bersama mereka.” (Nahjul Balaghah, Khotbah ke-150)

*Disarikan dari buku karya Syahid Murtadha Muthahhari – Imamah dan Khilafah

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT