Oleh: Mojtaba Darabi, Peneliti dan Jurnalis
Baru-baru ini, gelombang kampanye media di dunia Barat mulai mendorong warga untuk mempertimbangkan keluarga yang lebih besar. Dari boneka Barbie terbaru yang kini merangkul peran sebagai ibu, hingga aktris Hollywood yang bangga memamerkan kehamilan mereka, ada pergeseran yang mencolok. Namun, perayaan keluarga ini tampaknya merupakan reaksi untuk mengatasi erosi mendalam dari nilai-nilai pernikahan dan keluarga yang terjadi selama beberapa dekade terakhir.
Sejak Resesi Besar, Amerika Serikat mengalami penurunan angka kelahiran yang signifikan, turun hampir 23 persen dari tahun 2007 hingga 2022. Rata-rata wanita Amerika sekarang memiliki sekitar 1,6 anak, sangat kontras dengan tahun 1950-an ketika rata-rata memiliki tiga anak. Angka ini jauh di bawah “angka penggantian” 2,1 anak per wanita, yang diperlukan untuk menjaga kestabilan populasi.
Tren ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di Italia, angka kematian melebihi angka kelahiran, dengan 12 kematian untuk setiap tujuh bayi yang lahir. Di Korea Selatan, angka kelahiran telah anjlok menjadi 0,81 anak per wanita. “Bahkan pemerintah yang paling kaya, paling cerdas, dan paling berkomitmen pun kesulitan untuk menemukan kebijakan yang dapat meningkatkan tingkat kesuburan secara berkelanjutan,” ujar Trent MacNamara, profesor sejarah di Texas A&M, dalam sebuah wawancara dengan Vox.
Menurunnya angka kelahiran di negara-negara Barat menghadirkan tantangan berat, karena populasi yang menua dan menyusutnya tenaga kerja membahayakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Inti dari masalah ini terletak pada fondasi keluarga yang melemah, yang semakin rapuh di bawah tekanan berbagai perubahan sosial.
Penurunan Tingkat Pernikahan dan Peningkatan Perceraian
Salah satu tanda jelas dari kerapuhan ini adalah penurunan tajam dalam tingkat pernikahan yang dibarengi dengan peningkatan perceraian. Di Amerika Serikat, angka pernikahan telah mengalami penurunan yang dramatis sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1920, angka tersebut mencapai puncaknya pada 92,3 pernikahan per 1.000 wanita yang belum menikah. Pada tahun 2022, angka tersebut anjlok menjadi 31,2 pernikahan per 1.000 perempuan yang belum menikah, menandai penurunan hampir 60% sejak tahun 1970. Eropa mencerminkan tren ini, dengan tingkat pernikahan di Uni Eropa menurun dari 8,0 per 1.000 orang pada tahun 1964 menjadi hanya 3,2 pada tahun 2020.
Di sisi lain, tingkat perceraian melonjak, mengoyak keluarga selama beberapa dekade. Di Amerika Serikat, angka perceraian saat ini adalah 16,9 per 1.000 wanita yang menikah, hampir dua kali lipat dari tahun 1960. Hampir 50% dari semua pernikahan di Amerika Serikat sekarang berakhir dengan perceraian atau perpisahan, menempatkan negara ini di urutan keenam di seluruh dunia dalam hal tingkat perceraian. Eropa juga mengalami tren serupa, dengan tingkat perceraian di Uni Eropa meningkat dua kali lipat sejak tahun 1964, dari 0,8 per 1.000 orang menjadi 1,6 pada tahun 2020.
Transformasi Budaya dan Dampaknya pada Keluarga
Masyarakat Barat telah mengalami transformasi budaya yang signifikan, yang menekankan individualisme dan kepuasan pribadi di atas peran keluarga tradisional. Evolusi budaya ini menempatkan keinginan individu dan kesuksesan karier di garis depan, sering kali mengorbankan kekompakan keluarga. Keluarga kumpul kebo dan keluarga dengan orang tua tunggal menjadi lebih umum, mencerminkan pergeseran masyarakat ke arah model keluarga non-tradisional. Gaya hidup tanpa anak tidak lagi distigmatisasi tetapi dirayakan sebagai pilihan yang sah. Perubahan ini menantang gagasan tradisional tentang pernikahan dan keluarga sebagai hal yang penting untuk pemenuhan pribadi.
Faktor Ekonomi dan Pengaruhnya pada Pernikahan
Faktor ekonomi memainkan peran penting dalam membentuk kembali persepsi tentang pernikahan dan keluarga. Ekonomi modern menuntut keragaman dan volatilitas yang berlebihan, yang bertentangan dengan stabilitas yang terkait dengan kehidupan keluarga. Orang dewasa muda, yang terbebani oleh ketidakstabilan keuangan dan tingkat utang yang tinggi, sering menunda atau tidak jadi menikah dan berkeluarga. Kebutuhan rumah tangga berpenghasilan ganda untuk mencapai stabilitas ekonomi semakin memperumit keputusan untuk menikah dan memulai sebuah keluarga.
Biaya hidup di pusat-pusat kota, di mana kesempatan kerja berlimpah, membuat keluarga berpenghasilan tunggal sulit untuk berkembang. Tekanan ekonomi ini berkontribusi pada persepsi bahwa pernikahan dan keluarga merupakan beban keuangan daripada sumber dukungan dan stabilitas.
Reformasi Hukum dan Sosial
Reformasi hukum dan sosial telah secara signifikan mengubah pandangan tradisional tentang pernikahan. Evolusi hukum pernikahan untuk memasukkan “kesetaraan gender” yang lebih besar dan pengakuan pernikahan sesama jenis telah menjadi pukulan yang fatal bagi institusi keluarga. Reformasi perceraian telah mempermudah pembubaran pernikahan, mengurangi keabadian yang secara tradisional dikaitkan dengan institusi tersebut. Pengakuan atas kohabitasi dan hubungan non-nikah lainnya sebagai bentuk keluarga yang sah telah membentuk ulang konsep keluarga, menawarkan pilihan alternatif dalam hubungan pribadi.
Pengaruh Teknologi dan Media Sosial
Munculnya teknologi digital dan media sosial telah mengubah hubungan antarpribadi. Komunikasi online dan jaringan sosial yang luas menyediakan sumber dukungan dan persahabatan alternatif, mengurangi peran tradisional keluarga dan pernikahan. Platform media sosial merayakan pencapaian dan gaya hidup individu, sering kali menampilkan model keluarga tanpa anak atau model keluarga non-tradisional yang diinginkan. Revolusi digital ini memungkinkan individu untuk mencari kepuasan dan koneksi di luar struktur keluarga tradisional, yang semakin melemahkan persepsi akan pentingnya pernikahan dan keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa teknologi modern berkontribusi pada penurunan kemampuan bersosialisasi, berkurangnya minat pada hubungan interpersonal, dan rasa keterasingan dari realitas.
Dampak Gerakan Feminisme
Gerakan feminis telah memicu pemeriksaan kritis terhadap peran perkawinan tradisional, menyoroti apa yang dianggap sebagai ketidaksetaraan gender. Dorongan untuk apa yang disebut kesetaraan gender telah mengarah pada evaluasi ulang pernikahan dan relevansinya dalam masyarakat modern. Seiring dengan semakin banyaknya kesempatan pendidikan dan profesional yang diperoleh perempuan, insentif ekonomi dan sosial untuk menikah semakin berkurang.
Eksploitasi perempuan dalam profesi tertentu, di mana penampilan mereka diperlakukan sebagai komoditas untuk memikat pelanggan, tidak hanya merenggut martabat mereka, tetapi juga memicu masalah sosial seperti meningkatnya angka perceraian dan keretakan keluarga. Statistik menggarisbawahi korelasi ini, yang mengungkapkan bahwa profesi yang mempekerjakan perempuan karena daya tarik fisiknya cenderung memiliki tingkat perceraian yang tinggi.
Sebagai contoh, pertimbangkan profesi-profesi berikut dengan tingkat perceraian tertinggi:
- Penari – 43%
- Bartender – 38,4%
- Terapis Pijat – 38,2%
- Pekerja Kasino – 34,6%
Angka-angka ini menyoroti masalah sosial yang lebih dalam, mengungkapkan bagaimana peradaban Barat tidak menghormati peran penting perempuan sebagai ibu dan tulang punggung fondasi keluarga. Perempuan telah mengalami degradasi dan objektifikasi, direduksi menjadi objek kesenangan semata dalam budaya yang terpaku pada konsumerisme, yang dipromosikan oleh Barat.
Pandangan Islam tentang Pernikahan dan Keluarga
Pergeseran lanskap norma-norma budaya, kekuatan ekonomi, reformasi hukum, kemajuan teknologi, dan perubahan dinamika gender yang semuanya dirancang oleh peradaban Barat telah berdampak besar pada struktur keluarga tradisional. Dari pengagungan individualisme hingga pembentukan kembali tanggung jawab keluarga, faktor-faktor ini telah meminggirkan kesucian pernikahan dan kohesi keluarga.
Masalah mendesak ini dengan jelas digarisbawahi oleh Imam Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam, dua dekade lalu. Dalam pidatonya pada 19 Juni 2004, Imam Khamenei mengkritik fenomena ini, menyoroti bagaimana peradaban Barat telah meremehkan ikatan suci pernikahan dan pembentukan keluarga. Sebaliknya, Islam memprioritaskan kesucian pernikahan, menganjurkan pemilihan pasangan yang saleh dan membina hubungan kekeluargaan berdasarkan rasa saling menghormati dan pengabdian.
“Kesalahan besar peradaban Barat terhadap kemanusiaan terletak pada penyepelean terhadap pernikahan dan pembentukan keluarga. Peradaban ini mereduksi ikatan suci antara suami dan istri menjadi sekadar transaksi, seperti halnya mengganti pakaian atau mengganti bisnis di pasar,” katanya. “Barat melakukan hal ini terhadap pria dan wanita. Mereka mengadu perasaan, emosi, dan naluri yang melekat pada pria dan wanita, yang mudah tersulut, dengan keluarga. Akibatnya, masing-masing pihak merasa terganggu atau terhambat, dan mereka mulai melihat kesalahan satu sama lain. Atau, jika ada hal lain yang menarik perhatian mereka, unit keluarga menjadi terancam.”
Sebaliknya, Islam berdiri teguh dalam komitmennya untuk memperkuat institusi keluarga. “Islam menekankan pentingnya memilih pasangan yang saleh dan salehah serta menganjurkan untuk menjaga kelestarian persatuan yang suci ini.”
Sumber: Khamenei.ir