Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imam Khomeini: Bersihkan Diri Jika Ingin Memahami Al-Quran

Rasulullah Saw diutus dengan tujuan sebagaimana diungkap oleh Al-Quran, yakni:

“Dialah yang mengutus pada orang-orang yang ummi seorang Rasul dari mereka sendiri; membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah, meskipun mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Jumu’ah: 2)

Allah menegaskan bahwa Rasulullah Saw diutus untuk membacakan Al-Quran. Al-Quran adalah kitab yang diturunkan kepada umat manusia agar mereka bisa mengambil manfaat darinya sesuai dengan kapasitas masing-masing, dari berbagai lapisan masyarakat, dari dulu hingga akhir zaman, baik yang berilmu maupun awam. Al-Quran mengandung tema-tema yang bisa dipahami oleh semua orang, namun ada juga yang hanya bisa dipahami oleh para nabi, wali, ulama, dan filosof. Selain itu, Al-Quran menjelaskan tentang politik, sosial, pendidikan, dan militer.

Namun, kita, termasuk para ulama, belum sepenuhnya memanfaatkan Al-Quran. Oleh karena itu, kita harus mengkaji Al-Quran lebih dalam dan menggunakan semua kemampuan kita agar dapat memahaminya dan mengambil manfaat darinya.

Salah satu tujuan Rasul diutus adalah menurunkan Al-Quran dari alam gaib ke alam nyata, melalui pribadi agung yang memiliki hubungan erat dengan alam gaib. Al-Quran turun melalui beberapa tahapan hingga bisa kita pahami dan manfaatkan.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 129: “Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, mengajarkan mereka al-Kitab dan al-hikmah.” Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk membacakan Al-Quran kepada umat manusia agar mereka bisa menyucikan diri dan menghilangkan kegelapan dari jiwa mereka. Setelah jiwa bersih, mereka siap memahami Al-Quran dan hikmah.

Al-Quran adalah cahaya yang menerangi, tetapi kotoran dalam diri seseorang bisa menjadi penghalang untuk memahaminya. Selama hati masih tertutup oleh hawa nafsu dan sifat buruk, seseorang tidak bisa memahami Al-Quran sepenuhnya. Oleh karena itu, penting untuk menyucikan diri agar bisa menerima cahaya Al-Quran.

Seseorang mungkin merasa telah memahami Al-Quran, tetapi jika hatinya masih tertutup oleh kegelapan, ia tidak akan mampu menangkap cahaya hakiki dari Al-Quran. Untuk benar-benar memahami Al-Quran dan mendekat kepada sumber cahayanya, tirai kotoran hati harus diangkat.

Dengan demikian, salah satu tujuan Rasul diutus adalah untuk mengajarkan Al-Quran dan hikmah setelah penyucian diri (tazkiyatun-nafs).

Ayat pertama yang turun pada Nabi Saw adalah “iqra’ bismi rabbika,” yang berarti “bacalah dengan nama Tuhanmu.” Ayat ini menekankan pentingnya belajar dan membaca sejak awal. Dalam surat al-‘Alaq, Allah juga mengingatkan bahwa manusia cenderung melampaui batas ketika merasa berkecukupan: “Sesungguhnya manusia ketika melihat dirinya berkecukupan akan melampaui batas (tagha).” (QS. al-‘Alaq, 96:6).

Sikap melampaui batas atau tughyan adalah salah satu kejahatan utama yang harus dihilangkan melalui penyucian diri serta mempelajari Al-Kitab dan al-Hikmah. Manusia cenderung bersikap melampaui batas dalam hal-hal di mana mereka merasa berkecukupan, seperti harta, ilmu, atau kedudukan.

Misalnya, Firaun bersikap melampaui batas karena mencapai posisi duniawi tanpa kesucian diri dan tanpa tujuan Ilahi. Hal ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mencapai posisi duniawi tanpa penyucian diri akan cenderung bersikap melampaui batas. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin tinggi sikap melampaui batasnya.

Nabi diutus untuk menyelamatkan manusia dari sikap melampaui batas ini, membersihkan jiwa mereka, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan. Jika semua orang berhasil disucikan, seluruh alam akan menjadi terang. Perselisihan dan pertentangan di antara manusia dan penguasa bersumber pada sikap melampaui batas ini. Ketika seseorang merasa tidak puas dengan posisinya, ia cenderung ingin lebih tinggi lagi, mendorongnya melakukan tindakan kejahatan terhadap orang lain, yang menyebabkan perselisihan.

Tughyan yang ada pada Firaun, sampai ia mengklaim dirinya sebagai Tuhan (“ana rabbukumul-a’la”), sebenarnya ada pada semua orang. Ketika seseorang diberi kekuasaan, ia bisa bersikap seperti Firaun. Nabi diutus untuk memberantas sikap melampaui batas ini melalui penyucian diri. Jika seseorang suci, sikap melampaui batas tidak akan muncul, dan ia akan memahami Al-Kitab serta mendapatkan al-Hikmah. Seseorang yang menyucikan dirinya tidak akan merasa dirinya cukup dan tidak akan bersikap melampaui batas, sehingga perselisihan dan pertengkaran tidak akan terjadi.

Masalah kita adalah ketiadaan kesucian dan pendidikan akhlak. Orang yang berilmu tetapi tidak berakhlak bisa sangat berbahaya bagi umat manusia. Karena itu, penyucian diri adalah tujuan utama diutusnya para Rasul, setelah itu baru pengajaran.

Orang-orang yang tidak menyucikan diri dan tidak dapat menerima pengaruh Tauhid, filsafat, fikih, ijtihad, politik, dan lainnya, akan menjadi ancaman besar bagi umat manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka yang bertanggung jawab dalam pendidikan untuk menyucikan diri terlebih dahulu. Begitu juga para penguasa dan pemimpin negara, mereka harus menyucikan diri agar tidak bersikap melampaui batas dan melakukan perbuatan buruk.

Penyucian diri adalah tujuan utama diutusnya para Rasul. Penyucian diri bagi penguasa, pejabat, raja, dan kepala pemerintahan lebih penting daripada untuk masyarakat umum. Tughyan dari masyarakat biasa hanya berdampak kecil dan terbatas pada lingkungan sekitar. Namun, tughyan dari pemimpin yang berpengaruh luas, seperti ulama yang dihormati, raja yang dicintai, atau pemimpin yang diakui, bisa merusak seluruh negeri.

Contohnya, tughyan yang dilakukan oleh Saddam Hussein merusak satu atau dua negara, bahkan kawasan Timur Tengah, sedangkan tughyan dari seorang warga biasa hanya berdampak pada beberapa orang di sekitarnya. Jika kepala negara seperti Amerika atau pemimpin Soviet tidak menyucikan diri, tughyan mereka dapat menghancurkan banyak negara dan menyebabkan peperangan di dunia.

Para pejabat, baik tinggi maupun rendah, harus mengatasi persoalan diri mereka terlebih dahulu jika mereka menginginkan keamanan dan kesejahteraan negara. Jika mereka bisa mengatasi tughyan dalam diri mereka, persoalan negara akan teratasi. Namun, jika tughyan muncul dari mereka, negara akan hancur.

Mereka yang mencintai negaranya dan Islam, serta percaya bahwa Islam adalah penyelamat umat manusia, harus memperhatikan ajaran penting ini dalam Islam, yang tercermin dalam firman Allah: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia ketika melihat dirinya berkecukupan akan melampaui batas.” (QS. al-‘Alaq: 6)

Mereka yang percaya pada kebangkitan Ilahi dan memahami bahwa tujuannya adalah menunjukkan jalan kebenaran kepada umat manusia harus benar-benar memperhatikan masalah ini, sebagaimana difirmankan Allah dalam ayat di atas. Penyucian diri adalah prasyarat untuk menerima cahaya hidayah. Tanpa penyucian diri, manusia akan selalu bersikap melampaui batas (tughyan). Tanpa penyucian diri, ilmu justru akan menjadi berbahaya dan menimbulkan kecelakaan dunia dan akhirat.

Tujuan pengutusan Rasul adalah penyucian diri. Penyucian diri tidak mungkin tercapai kecuali dengan menghilangkan keakuan (ananiyah), kesombongan (ujub), cinta kepemimpinan, dan pengejaran dunia, lalu menggantinya dengan kecintaan kepada Allah. Tujuan diutusnya Rasul adalah menancapkan kekuasaan Ilahi dalam hati sebelum dalam masyarakat. Kita semua harus menyucikan diri tanpa pengecualian. Dengan demikian, kita dapat menerangi hidup ini dengan cahaya Ilahi dan cahaya Al-Quran.

*Disarikan dari buku Pesan Sang Imam – Ruhullah Khomeini

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT