Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Makna Kezuhudan dalam Islam

Kezuhudan bukanlah seperti yang kita pahami selama ini. Kezuhudan dalam Islam tidak berarti seseorang harus mengasingkan diri dari masyarakat serta meninggalkan makan, minum, hubungan dengan masyarakat, istri, dan anak, dan hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Hal ini bukan kezuhudan.

Orang yang zuhud atau zahid adalah orang yang tidak memiliki sesuatu yang mengikatnya, bukan orang yang tidak memiliki harta. Orang yang zuhud adalah orang yang tidak terikat dengan ikatan cinta kekuasaan, bukan tidak boleh menjadi pemimpin. Orang yang zuhud adalah orang yang memutuskan semua ikatan sehingga ia dapat meninggalkan dunia dengan mudah pada saat kematiannya.

Terdapat kisah tentang Almarhum Ahmad an-Naraqi, penulis kitab Mi’raj as-Sa’adah, ahli fiqih terkemuka dan pengajar akhlak. Seorang sufi melihat kitab Mi’raj as-Sa’adah dan membaca bab tentang kezuhudan, tetapi ia tidak dapat memahaminya. Karena ia merasa kagum kepada Almarhum an-Naraqi, maka ia pergi ke Kasyan dari tempat yang jauh. Almarhum an-Naraqi termasuk para fukaha besar. Syaikh al-Anshari termasuk di antara murid-muridnya. Ia belajar kepadanya selama beberapa masa.

Syaikh Ahmad an-Naraqi memiliki sebuah Hawzah ‘Ilmiyah di Kasyan. Ia adalah seorang pemuka kaum dan memiliki kedudukan dan jabatan tinggi. Selain itu, ia juga seorang marja’. Ketika sufi itu menemuinya dan melihat kedudukannya yang tidak sejalan dengan sikap kezuhudan karena Muhaqqiq an-Naraqi memiliki kedudukan dan kekuasaan, ia merasa heran. Ia tidak mengetahui hubungan antara tema kezuhudan yang tertulis dalam kitab Mi’raj as-Sa’adah dan kekuasaan ini. Setelah berlalu beberapa hari, orang itu ingin menanyakan apa yang terlintas di dalam pikirannya. Namun, ia merasa malu dan tidak berani bertanya kepada Almarhum an-Naraqi. Akan tetapi, Almarhum an-Naraqi yang seorang alim itu sudah sejak awal pertemuan sudah merasakan apa yang terlintas dalam pikiran orang tadi. Pada hari ketiga, ketika sufi itu ingin pergi, Almarhum an-Naraqi bertanya kepadanya, “Ke manakah kamu hendak pergi?”

Orang itu menjawab, “Saya akan pergi ke Karbala.”

Almarhum an-Naraqi berkata, “Saya akan pergi bersamamu.”

Sufi itu terkejut dan berkata, “Kalau begitu, saya akan menunda kepergian saya selama beberapa hari agar Anda dapat pergi bersama saya.”

Almarhum an-Naraqi berkata, “Saya akan pergi sekarang juga.”

Sufi itu merasa heran dan terlintas di dalam pikirannya bahwa apakah mungkin beliau meninggalkan harta, jabatan, dan kedudukan sebagai marja’ ini sekaligus?

Almarhum an-Naraqi berkata, “Benar. Marilah kita pergi sekarang dengan berjalan kaki.”

Namun, sufi itu lupa membawa kantongnya. Setelah menempuh perjalanan beberapa kilometer, mereka berhenti di sebuah mata air. Sufi itu teringat pada kantongnya, lalu ia ingin kembali. Almarhum an-Naraqi bertanya, “Apakah yang telah terjadi?”

Sufi itu menjawab, “Saya lupa terhadap kantong saya.”

Almarhum an-Naraqi berkata, “Tidak menjadi masalah. Kita pergi saja ke Karbala. Apabila telah sampai di sana, saya akan membelikan kantong baru untuk kamu atau saya memberikan kantongmu yang tertinggal itu kepadamu.”

Sufi itu berkata, “Tidak. Saya sangat membutuhkan kantong itu. Saya tidak dapat meneruskan perjalanan tanpa membawa kantong tersebut.”

Almarhum an-Naraqi berkata, “Kamu tidak perlu kembali ke Kasyan.”

Sufi itu menjawab, “Sama sekali tidak. Hal itu tidak mungkin.”

Di sini, Almarhum an-Naraqi berkata kepada orang tersebut, “Saya tidak ingin pergi ke Karbala. Dari sini, saya akan kembali. Marilah kita kembali agar saya dapat memberikan kantong itu kepadamu. Perbedaan antara saya dan kamu adalah saya memiliki harta, kekuasaan, dan kedudukan, tetapi saya tidak bergantung padanya dan semua itu tidak membelenggu saya. Sementara itu, kamu tidak memiliki sesuatu apa pun selain sebuah kantong, namun kantong itu telah menjadi berhala bagimu dan kamu sangat bergantung padanya.”

Oleh karena itu, pemimpin revolusi Imam Khomeini ra, selalu menasihati kami. Ia berkata, “Kalau kita asumsikan bahwa cincin ini milik Anda dan Anda memanfaatkannya, baik Anda bergantung padanya maupun tidak, maka apa sebabnya ia menjadi berhala bagi Anda? Atau, jubah ini milik saya. Baik saya menyukainya maupun saya tidak menyukainya, saya tetap mengambil manfaat darinya. Lalu, mengapa ia harus menjadi berhala bagi saya?”

Kezuhudan Berarti Tidak Adanya Ketergantungan

Kezuhudan dalam Islam artinya tidak ada ketergantungan. Seseorang boleh memiliki harta, tetapi harta itu tidak boleh menjadi belenggu baginya. Seseorang boleh memiliki kedudukan dan jabatan, tetapi jabatan itu tidak boleh menguasainya. Ia tidak menjadikan jabatan itu seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Tetapi dia cenderung pada dunia.” (QS. al-A’raf: 176).

Ia boleh memiliki kekuasaan, jabatan, dan kekasih-kekasih, tetapi semua itu hendaklah tidak menjadi belenggu baginya. Terkadang seseorang hanya memiliki sebuah cincin, tetapi cincin itu menjadi belenggu dan berhala baginya. Seseorang lagi tidak memiliki sesuatu selain sebuah rumah, tetapi rumah itu menjadi belenggu baginya. Atau, ia tidak memiliki sesuatu, kecuali seorang anak atau seorang istri, tetapi anak dan istri itu menjadi belenggu baginya.

Islam menyatakan bahwa kita harus memerangi nafsu, serta cinta kekuasaan, cinta harta, dan segala sesuatu yang tidak sejalan dengan ajaran Ilahi. Cinta hendaklah dikhususkan kepada Allah saja. Oleh karena itu, di dalam hatinya tidak boleh ada selain Allah.

Islam mengatakan bahwa kita tidak boleh memiliki berhala dan belenggu. Oleh karena itu, para ulama akhlak berkata tentang cara memerangi nafsu, jika seseorang berdusta, apakah dibenarkan kita memotong lidahnya? Jika seseorang menggunjing orang lain, apakah dibenarkan kita mencambuknya dengan 30 kali cambukan? Sama sekali tidak. Atau, seseorang memotong tangannya sendiri karena ia telah mencuri. Hal ini tidaklah benar. Membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri semuanya diharamkan dalam Islam. Hal yang penting adalah menundukkan hawa nafsu. Hal yang lebih penting daripada itu adalah keseimbangan (ta’adul).

*Disarikan dari buku karya Ayatullah Husain Mazahiri – Mengendalikan Naluri

No comments

LEAVE A COMMENT