Ketika dikatakan, “janganlah engkau sibukkan pikiranmu dengan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya denganmu; jangan turut campur dalam pekerjaan yang bukan tanggung jawabmu dan biarkan orang lain mengurusi urusan mereka sendiri,” pemahaman yang keliru sering muncul. Banyak yang mengira nasihat ini berarti tidak perlu peduli dengan urusan orang lain.
Pemahaman ini telah ada sejak awal di berbagai kelompok Islam dan non-Islam dan terus berlanjut hingga sekarang, terutama di dunia Barat. Pada masa awal Islam, ada kelompok-kelompok yang menyimpulkan nasihat seperti ini, atau ayat Al-Quran yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang-orang yang tersesat itu dapat mendatangkan mudarat bagi kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk,” sebagai perintah untuk hidup menyepi dan tidak peduli dengan orang lain. Mereka cenderung tinggal di rumah atau sudut masjid untuk beribadah dan meninggalkan urusan sosial.
Beberapa kelompok Sufi saat ini juga cenderung memiliki pandangan serupa. Di Dunia Timur, pemahaman ini berasal dari kesalahan dalam memahami nasihat agama. Di Barat, akar pemikiran ini adalah konsep kebebasan yang salah, di mana setiap orang bebas melakukan apa saja tanpa peduli dengan orang lain. Hal ini terlihat dari legalisasi hubungan sesama jenis dan undang-undang yang melindunginya. Mereka merasa bangga dengan kebebasan tersebut, sementara nasihat dianggap sebagai intervensi yang tidak sopan.
Islam tidak menerima pemikiran ini karena amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban yang pasti. Bahkan dalam beberapa riwayat, amar makruf dan nahi mungkar dinilai sama wajibnya seperti salat. Jika amar makruf dan nahi mungkar ditinggalkan, maka salat dan kewajiban lainnya juga akan ditinggalkan.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 71)
Imam Muhammad Baqir as berkata, “Sesungguhnya amar makruf dan nahi mungkar adalah jalan para nabi dan metode orang-orang saleh, dia adalah kewajiban yang sangat agung yang dengannya semua kewajiban dapat dilaksanakan.”
Amar makruf dan nahi mungkar tidak sejalan dengan konsep kesufian yang cenderung menyendiri dan beribadah tanpa terlibat dalam masyarakat. Islam mengajarkan bahwa selain bertanggung jawab atas diri sendiri, kita juga harus bertanggung jawab terhadap orang lain. Ada syarat dan aturan khusus untuk melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Seperti salat yang merupakan kewajiban dengan ketentuan tertentu, amar makruf dan nahi mungkar juga memiliki syarat dan ketentuannya sendiri. Jika syarat-syaratnya terpenuhi, kewajiban ini harus dilaksanakan, terlepas dari suka atau tidaknya orang lain dan sesuai atau tidak dengan budaya dunia.
Pernyataan Imam Ali as yang berkata, “Janganlah engkau memikirkan sesuatu yang bukan merupakan taklif dan tugasmu,” bukan untuk melarang amar makruf dan nahi mungkar yang merupakan kewajiban syar’i. Beliau mengingatkan agar tidak memikirkan sesuatu di luar kewajiban kita, sementara amar makruf dan nahi mungkar adalah kewajiban Ilahi yang harus dilaksanakan. Untuk mencegah kesalahpahaman, Imam Ali as menambahkan, “Wa’mur bi al-ma’ruf…”; yakni, berpikirlah tentang diri kalian sendiri tanpa mengabaikan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar. Perintahkan yang baik dan cegahlah perbuatan buruk dengan lisan dan tanganmu!
Amar makruf dan nahi mungkar tidak hanya bermanfaat bagi orang lain dan memperbaiki masyarakat, tetapi juga memberikan manfaat bagi pelakunya. Ketika seseorang mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, dia juga akan termotivasi untuk melakukannya. Namun, ini hanya terjadi jika dilakukan dengan niat tulus sebagai kewajiban Ilahi, bukan sebagai pekerjaan atau tugas dari atasan. Jika amar makruf dan nahi mungkar dijadikan pekerjaan dengan upah, sering kali tidak ada pengaruh nyata karena hati pelakunya tidak terlibat.
Jika seseorang melakukan amar makruf dan nahi mungkar hanya sebagai tugas tanpa niat tulus, nasihatnya tidak akan menyentuh hati pendengarnya. Bahkan, pelaku yang juga berdosa tidak akan efektif saat menyuruh orang lain untuk tidak berdosa. Allah mengecam orang-orang yang menyuruh kebaikan tapi melupakan diri sendiri: “Apakah kalian memerintah manusia untuk melakukan kebaikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri?”
Sebaliknya, jika dilakukan sebagai kewajiban syar’i dengan kepedulian terhadap orang lain dan tanpa motivasi upah, bahkan hingga menempatkan diri dalam bahaya untuk menyampaikan yang makruf dan mencegah yang mungkar, pengaruhnya akan mendalam. Pelaku akan lebih serius dan berkomitmen dalam menjalankan kebaikan dan meninggalkan yang mungkar.
Amar makruf dan nahi mungkar tidak hanya dengan lisan; kadang perlu tindakan lebih dari sekadar nasihat. Tindakan ini harus sesuai dengan syarat dan aturan fikih. Jika seseorang tidak dapat mencegah maksiat dengan nasihat dan tidak punya kekuatan lain, dia harus menjauhi pelaku kemungkaran, sebagaimana yang disarankan oleh Imam Ali: “Upayakan dirimu untuk menjauh dari para pelaku kemungkaran.” Bergaul dengan pelaku kemungkaran dapat membuat seseorang terbawa dan akhirnya ikut dalam perbuatan tersebut. Imam Ali menegaskan pentingnya menjauhi para pelaku kemungkaran agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.
*Disarikan dari buku 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi