Iman yang “jujur” adalah iman yang membekas dalam kepekaan dan emosionalitas. Hal ini antara lain dikukuhkan dalam berbagai riwayat yang menjadikan cinta sebagai bagian dari iman atau agama, antara lain sebagai berikut;
Di riwayatkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadis as berkata;
لايمحض رجل الإيمان بالله حتّى يكون الله أحبَّ إليه من نفسه وأبيه وأُمّه وولده وأهله وماله، ومن الناس كلِّهم.
“Keimanan seseorang kepada Allah tidak akan murni sampai kecintaannya kepada Allah melebihi cintanya kepada diri, ayah, ibu, anak, keluarga dan hartanya, dan kepada semua orang.”[1]
Dari Fudhail bin Yasar dengan sanad yang sahih bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as apakah cinta dan benci adalah bagian dari iman. Imam balik menyoal;
وهل الإيمان إلاّ الحبُّ والبغض؟
“Bukankah iman tak lain adalah cinta dan benci?”
Beliau lantas membacakan firman Allah SWT;
حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الاْيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ.
“… Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”[2]
Dari Said bin Yasar dengan sanad yang sahih bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
هل الدين إلاّ الحبّ ؟ ! إنَّ الله ـ عزَّوجلَّ ـ يقول : قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ.
“Bukankah agama tak lain adalah cinta? Sesungguhnya Allah Azza wa Jallah berfirman; Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu (QS. Ali Imran [3]: 31).’” [3]
Dari Rab’i bin Abdullah bahwa dia bertanya kepada Imam Jakfar Al-Shadiq as: “Biarlah jiwaku sebagai tebusanmu, sesungguhnya kami memberi nama sesuai nama-nama kalian (Ahlul Bait), apakah ini bermanfaat untuk kami?” Beliau menjawab;
إي والله، وهل الدين إلاّ الحبّ ؟ ! قال الله : ﴿… إِنْ كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ.
“Ya, demi Allah, bukankah agama tak lain adalah cinta? Allah berfirman; Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu (QS. Ali Imran [3]: 31) .’”[4]
Diriwayatkan dari Buraid bin Muawiyah bahwa dia bercerita bahwa suatu hari saat dia bersama Imam Jakfar Al-Shadiq as tiba-tiba datang seorang pria dari Khurasan datang dengan berjalan kaki dalam keadaan dua kakinya terbungkus. Pria itu berkata, “Demi Allah, aku tidak datang kecuali karena kecintaan kepadamu, Ahlul Bait.” Imam as lantas berkata;
والله لو أحبَّنا حجر حشره الله معنا. وهل الدين إلاّ الحبُّ ؟ ! إنَّ الله يقول : ﴿قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ …﴾ وقال: ﴿ … يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ …﴾. وهل الدين إلاّ الحبُّ ؟
“Demi Allah, seandainya sebuah batu mencintai kami niscaya batu itu akan dikumpulkan Allah bersama kami. Bukankah agama tak lain adalah cinta? Sesungguhnya Allah berfirman; ‘Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu..’ Allah juga berfirman; ‘… mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).’[5] Bukankah agama tak lain adalah cinta?”[6]
Dalil lain bahwa keimanan yang jujur atau sejati bergantung kepada cinta adalah firman Allah SWT:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَاد فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”[7]
(Bersambung)
[1] Bihar Al-Anwar, jilid 70, hal. 25.
[2] QS. Al-Hujurat [49]: 7.
[3] Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 237.
[4] Ibid, jilid 104, hal. 130, dan jilid 27, hal. 95.
[5] QS. Al-Al-Hasyr [59]: 9.
[6] Bihar Al-Anwar, jilid 27, hal. 95.
[7] QS. Al-Taubah [9]: 24.