Oleh: Dr. Muhsin Labib
Dalam perjalanan sejarah sejak mazhab ini diperkenalkan di Tanah Air ada yang bertahan dengan semangat yang konstan, ada pula yang mengalami fluktuasi semangat, dan ada pula yang mengalami disorientasi dengan ragam levelnya, bahkan ada pula yang meninggalkannya dengan macam ekspresi dan cara.
Mazhab ini dianut (dikagumi secara teologis) oleh individu-individu dalam entitas komunal yang bineka itu dengan ragam level pemahaman, area wawasan, latar belakang pendidikan, strata sosial, karakteristik daerah juga etnis dan lainnya yang membentuk ragam motivasi dan alasan menganutnya.
Keragaman tersebut membentuk keragaman level juga kesemrawutan pemahaman terhadap mazhab ini yang seiring daur zaman mengakar dan menjadi bagian integral dari pandangan dan sikap masing-masing penganut.
Baca: Fikih Quest 93: Kewajiban Khumus dan Cara Menghitungnya
Karena berkembang secara alami alias sporadis dan acak, timbullah beragam peristiwa dan kasus akibat gesekan sosial dengan pihak eksternal yang sebagiannya berimplikasi secara negatif terhadap individu-individu lain penganut mazhab ini. Kondisi ini diperparah oleh persoalan-persoalan internal yang timbul sebagai akibat perbedaan pemahaman dan pola penyikapan.
Lalu lintas share dan polemik intra penganut seputar isu-isu mazhab ini dan isu-isu di luarnya di medsos, terutama WAG mengkonfirmasi fenomena ini.
Penganut sebuah keyakinan yang baru dipilihnya di tengah kepungan kesalahpahaman, kebencian dan gangguan yang lebih serius, memerlukan stamina panjang bahkan terus terbarui agar bisa membuatnya imun dari kejenuhan dan kerapuhan akibat risiko sosial dan lainnya.
Karena perbedaan kualitas pemahaman terhadap keyakinan yang dianut menentukan kadar keterikatan penganut kepadanya, diperlukan standarisasi dan pemerataan pemahaman komprehensif yang berjenjang dengan kurikulum yang menghimpun pandangan dunia lintas ruang dan waktu serta paradigma sebagai pandangan turunan yang kontekstual dan dinamis.
Baca: Fikih Quest 92: Khumus dari Uang Simpanan
Salah satu sumber problema kesolidan yang menciptakan distorsi dan diskoordinasi adalah tidak adanya pemahaman yang merata dan utuh tentang asas kompetensi dan kemestian kepatuhan hierarkis sebagai akibat niscaya dari minimnya perhatian terhadap pelaksanaan taklid.
Karena asas kompetensi merupakan keniscayaan logis, maka bertaklid adalah satu-satunya cara legal bagi awam untuk melaksanakan hukum agama demi menjamin keterikatannya kepada Allah dan Rasul-Nya serta Ahlulbait melalui fuqaha yang kompeten.
Namun akibat terbiasa hidup beragama tanpa kepatuhan hierarkis, dan karena menganggap menganut mazhab hanya mengganti konten ajaran ritual tanpa mengganti pola pemahamannya, produk-produk hukum agama yang wajib selain beberapa bagian umum dari ritual shalat dan puasa, tidak diperhatikan apalagi dilaksanakan sebagai kewajiban.
Salah satu kewajiban aini yang kerap diabaikan adalah berkhumus. Sebagai kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh setiap individu yang merasa kaya dan mengaku miskin bila syarat-syarat yang ditetapkan dalam fatwa para marja’ terpenuhi, khumus bisa menjadi parameter kepatuhan dan keterikatan serta sarana koordinasi dan pelaksanaan sejumlah agenda penting bagi komunitas penganut.
Baca: Fikih Quest 62: Penyerahan Khumus
Selain karena latar belakang di atas, ada beberapa faktor di balik keengganan melaksanakan kewajiban berkhumus. Salah satunya adalah mindset anggapan bahwa berkhumus sebagai kewajiban bagi orang kaya semata. Padahal kewajiban berkhumus berlaku bila syarat-syaratnya menurut agama terpenuhi tanpa memperhatikan status kaya dan miskin.
Alasan kedua adalah anggapan menyepelekan fikih karena keburu menganggapnya kaku dan sebagainya. Ketiga adalah menggambarkan penyaluran khumus sebagai sesuatu yang sulit. Keempat adalah memilih bagian hukum yang dianggap mudah dan meninggalkan bagian hukum yang dirasa sulit. Kelima adalah anggapan mengeluarkan biaya untuk membantu orang-orang tertentu yang membutuhkan bantuan sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban berkhumus.