Bulan Ramadan memiliki keunikan penting karena merupakan sumber berbagai berkah agung yang menjadi dasar dari bermacam kenikmatan yang tidak terbatas. Keagungan dan kemuliaan serta berkah maknawi dan duniawi dari bulan ini yang tercurah kepada kaum mukmin adalah hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya digambarkan dalam hadis-hadis. Jika kaum Muslim mengetahui dengan pasti berkah-berkah yang disebarkan sepanjang bulan agung ini serta memahami keagungan karunianya, niscaya mereka akan sangat berharap bulan Ramadan berlangsung terus sepanjang tahun.
Rasulullah Saw bersabda: “Jika para hamba mengetahui apa yang ada di dalam bulan Ramadan, niscaya mereka akan sangat berharap bulan Ramadan berlangsung selama setahun.” (Fadhail al-Asyhur ats-Tsalatsah, hal. 140, hadis ke-151; Shahih lbnu Khuzaimah, 3/190, hadis ke-1886)
Dari sebagian besar keunikan yang dimiliki bulan Ramadan ini di antaranya ada dua yang paling utama.
1) Awal Tahun
Di antara keunikan bulan Ramadan yang ditekankan oleh berbagai riwayat Ahlulbait adalah bahwa bulan ini merupakan awal tahun. Dalam konteks ini, umumnya muncul dua pertanyaan: Apa makna awal tahun, dan apa maksudnya?
Orang-orang Arab menganggap bahwa bulan Muharram adalah awal tahun. Karena itu, mereka sekarang ini menganggap Muharram sebagai awal tahun baru Hijriah yang resmi. Pada saat yang sama, bagaimana kita dapat menafsirkan riwayat-riwayat Islam yang menyatakan bahwa Ramadan adalah awal tahun baru Islam?
Sayid Ibnu Thawus menulis tentang masalah ini, “Saya menemukan riwayat-riwayat yang beraneka ragam mengenai apakah awal tahun baru itu adalah bulan Muharram atau bulan Ramadan? Tetapi, menurut yang saya ketahui dari pendapat para ulama berpengaruh kita dan buku-buku para ulama dahulu, menyatakan bahwa awal tahun baru adalah bulan Ramadan secara pasti. Mungkin saja bulan puasa adalah awal tahun bagi ibadah-ibadah Islam dan Muharram adalah awal tahun bagi kegiatan-kegiatan manusia lainnya.” (al-Iqbal, 1/32)
Namun, setelah kami meneliti riwayat-riwayat mengenai hal ini, kami tidak menemukan riwayat yang menunjukkan bahwa Muharram adalah awal tahun baru. Karena itu, menurut kami, pernyataan Sayid Ibnu Thawus mengenai adanya pertentangan di antara riwayat yang menyatakan bahwa awal tahun baru adalah bulan Muharram atau bulan Ramadan adalah kurang tepat. Yang termasyhur di kalangan bangsa Arab adalah bahwa awal tahun baru mereka adalah Muharram, sebagaimana yang dikatakan oleh Allamah Majlisi. Lantas, mengapa riwayat-riwayat Ahlulbait bertentangan dengan bangsa Arab dalam masalah tahun baru ini?
Baca: Berbagai Berkah di Bulan Ramadan
Riwayat-riwayat Ahlulbait a.s. menyatakan bahwa awal tahun baru adalah bulan Ramadan. Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jelas setelah kita memahami makna tahun baru dan menjelaskan maksudnya.
Makna Awal Tahun Baru
Tidak ada makna yang sebenarnya untuk tahun baru karena hal itu hanya dipandang sebagai awal periode waktu tertentu dalam perjalanan alam semesta. Persepsi tentang awal tahun baru berbeda-beda di antara umat dan bangsa. Misalnya, orang Persia Kuno memilih bulan Farvardi sebagai awal tahun, sedangkan bangsa Arab menentukan bulan Muharram sebagai awal tahun mereka. Umat Kristen memilih hari kelahiran Yesus Kristus sebagai awal tahun baru mereka. Hal ini menunjukkan bahwa awal tahun baru lebih merupakan masalah persepsi daripada makna yang sebenarnya.
Awal Tahun dan Penentuan Kehidupan Maknawi
Dalam pandangan Islam, awal tahun baru memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Beberapa riwayat menekankan bahwa bulan Ramadan adalah tahun baru Islam, sementara yang lain menyatakan bahwa malam Lailatulqadar atau hari raya Idul Fitri juga bisa menjadi awal tahun baru. Seperti halnya dengan Farwardin yang merupakan awal tahun baru alamiah karena dimulainya musim semi, bulan Ramadan dianggap sebagai awal tahun baru kemanusiaan dalam pandangan Islam.
Pada bulan ini, kehidupan maknawi menjadi baru bagi para pesuluk yang sedang menempuh perjalanan ke arah kesempurnaan absolut. Adapun riwayat yang mengatakan bahwasanya Lailatulqadar merupakan awal Tahun Baru Islam, bertolak dari alasan bahwa pada malam ini, takdir segala sesuatu selama setahun ditentukan. Begitu juga dengan sebagian riwayat yang menyatakan bahwasanya hari raya Idul Fitri adalah awal tahun baru. Anggapan ini muncul karena hari tersebut merupakan hari permulaan dalam satu tahun dengan dihalalkannya kembali makan dan minum setelah berpuasa sepanjang bulan Ramadan, serta dimulainya amal yang baru.
2) Jamuan Ilahi
Salah satu keunikan bulan Ramadan adalah bahwa bulan ini merupakan bulan diadakannya Jamuan Ilahi. Menurut hadis Rasulullah Saw, bulan Ramadan adalah bulan saat umat Islam diundang pada jamuan Ilahi, dan menjadi salah satu pemilik kehormatan yang dianugerahkan Allah. Keunikan ini pada hakikatnya menjadi dasar bagi seluruh keunikan bulan Ramadan yang penuh berkah, serta menjadi sumber penyempurnaan maknawi dalam kehidupan manusia sepanjang bulan yang agung tersebut. Jamuan Ilahi ini merupakan jamuan maknawi yang diperuntukkan bagi para tamu-Nya, dan menjadi sumber berkah agung yang tersedia bagi seluruh umat Muslim yang menginginkannya.
Makna Jamuan Ilahi
Dalam kaitannya dengan keunikan yang agung ini, muncul sebuah pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan jamuan Allah Swt pada bulan Ramadan bagi para hamba-Nya? Apa makna yang terkandung di dalamnya? Bukankah seluruh umat manusia pada saat yang sama adalah para tamu Allah dan berada dalam lindungan-Nya? Di samping itu, menu jamuan biasanya adalah makanan dan minuman yang telah dipersiapkan untuk para tamu; lantas, apakah menu jamuan Ilahi ini yang syarat awalnya adalah larangan untuk makan dan minum?
Jawaban bagi pertanyaan ini muncul dengan meneliti hakikat manusia dan mengetahui unsur-unsurnya. Dalam pandangan Islam, manusia terdiri dari jasad dan ruh. Sebagaimana tubuh membutuhkan makanan material untuk memanjangkan usianya, begitu juga dengan substansi ruh dan hakikat manusia yang membutuhkan makanan maknawi demi keberlangsungan hidupnya.
Dengan jawaban ini, jelas bahwasanya Allah Swt tidak mempersiapkan jamuan Ramadan ini untuk memberi makanan jasad para hamba-Nya serta segala kebutuhan bagi dimensi wujud materialnya. Jasad semua orang, begitu juga seluruh makhluk selalu berada dalam jamuan rezeki Allah, selamanya.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Kalau seandainya di sisi Allah dunia ini sebanding dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan mengucurkan air setetes pun bagi orang kafir dan orang fajir.” (Syekh Thusi, al-Amali, hal. 531, hadis ke-1162; Sunan Tirmizi, 4/560, hadis ke-2320)
Allah Swt telah menyuguhkan makanan bagi jiwa-jiwa dan ruh-ruh para hamba-Nya dalam jamuan bulan Ramadan; bukan jamuan bagi tubuh-tubuh dan dimensi fisik mereka. Tidak ada yang mampu menilai jamuan agung ini kecuali Allah semata. Karena itulah dalam hadis qudsi Allah Swt berfirman: “Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahalanya.” (Syekh Thusi, al-Amali, hal. 49)
Baca: Pesan Ramadan Imam Khomeini
Syarat-syarat perjamuan dan adabnya ini harus sesuai dengan jamuan rohani, juga makanan dan minuman di dalamnya haruslah makanan rohani, dan tujuan yang diharapkan darinya adalah mewujudkan dan mempercepat peningkatan ruh serta memperbaharui kehidupan maknawi manusia dan memperkuat kehidupan rohaninya.
Disarikan dari buku karya Muhammad Ray Syahri – Kado Dari Langit Menghampiri Mihrab Ramadan