Melalui dua pusaka abadinya (Alquran dan Ahlulbaitnya yang suci), Rasulullah Saw telah menekankan pentingnya belajar bagi manusia.
Ilmu merupakan salah satu sifat Allah Swt dan anugerah dari-Nya untuk seluruh manusia yang tidak dapat diraih kecuali mereka yang memenuhi etika dan syarat-syaratnya. “Dialah Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.” (Q.S. at-Thalaq [65]: 12)
Allah Swt sendiri mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw agar memohon bekal ilmu, “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu untukku.'” (Q.S. Thāhā [20]: 114)
Baca: Bersama Mufasir Perempuan; bagaimana Menyerap Ilmu jadi Cahaya Jiwa?
Para ulama yang berpengalaman sebagai pembelajar lintas generasi telah meramu aneka kiat sukses dalam belajar. Ramuan tersebut tentunya bersumber dari ulama generasi sebelumnya hingga para Imam dari Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Salah satu yang dapat kita jadikan acuan ialah buku berjudul Tsalātsūna Adaban li al-Muta’allim (Tiga Puluh Etika bagi Pembelajar) yang disusun oleh Markaz Nun. Buku ini terdiri dari tiga bagian: sepuluh etika dalam proses menuntut ilmu; sepuluh etika terhadap guru; dan sepuluh etika terhadap ilmu itu sendiri.
Berikut ini ialah bagian pertama dari buku Tsalātsūna Adaban li al-Muta’allim (Tiga Puluh Etika bagi Pembelajar), yaitu sepuluh etika dalam proses menuntut ilmu:
1. Memurnikan niat dalam menuntut ilmu.
Seorang pembelajar ilmu sepatutnya menanamkan niat yang murni semata demi meraih rida Allah Swt, menjalankan perintah-Nya, dan memperbaiki jiwanya; bukan untuk tujuan duniawi meraih harta, kedudukan, dan kebanggaan di mata manusia.
Baca: Bagaimanakah Cara Menguatkan Visi Keimanan Kita?
Niat yang tulus juga menjadi penyelamat bagi kita dari makar Iblis dan balatentaranya. Secara berulang-ulang beberapa ayat Alquran menyebutkan bahwa Iblis tidak mampu untuk menyesatkan hamba-hamba Allah yang terpilih (mukhlasin), yaitu mereka yang telah terlatih dan teruji dalam hal ketulusan niat.
2. Berupaya keras dalam menuntut ilmu,
Seorang pembelajar ilmu haruslah berupaya sungguh-sungguh dalam hal membaca, mengulang, mendiskusikan, menghafal, dan senantiasa menyibukkan diri bersama ilmu sebagai bekal hidupnya.
3. Tidak mengajukan pertanyaan sebagai tipu daya.
Seorang pembelajar tidak sepantasnya mengajukan pertanyaan atau mendebat gurunya dengan cara keras kepala, bermaksud untuk mencari titik lemah, merasa lebih unggul, dan merendahkannya.
4. Tidak bersikap angkuh dalam menuntut ilmu.
Merasa lebih tahu dari orang lain juga termasuk tabiat yang harus dihindari oleh pembelajar. Sepatutnya bagi pembelajar itu mengambil manfaat dari orang yang lebih rendah kedudukannya, usianya, reputasi dan agamanya.
Baca: Etika Berdoa Menurut Imam Ja’far Shadiq as.
Selain itu, pembelajar ilmu tidak boleh malu untuk bertanya. Imam Ja’far as-Sadiq a.s. berkata, “Rusaknya manusia hanyalah sebab mereka tidak mau bertanya.” Beliau juga berkata, “Ilmu ini ada kuncinya, pembukanya itu pertanyaan.”
5. Tunduk pada kebenaran dan merujuknya.
Merujuk kepada kebenaran itu kewajiban syar’i, meski kebenaran itu berasal dari seorang yang lebih muda darinya. Inilah keberkahan ilmu. Menampik kebenaran itu akan mendatangkan murka dari Allah dan menghilangkan rahmat dari-Nya.
6. Hadir di majelis ilmu dalam keadaan suci.
Proses belajar memerlukan kesucian sebagaimana ilmu merupakan cahaya yang memerlukan cawan yang suci. Sepatutnya ia bersih dari najis, hadas besar dan kecil; memakai wewangian, berpakaian yang baik dan sopan dalam rangka mengagungkan ilmu.
7. Memperbaiki niat, dan menyucikan hati dari kenistaan.
Pembelajar ilmu harus senantiasa memperbaiki niat dan menyucikan hatinya dari kenistaan. Waki’ bin al-Jarrah, guru as-Syafi’i menasihati muridnya, “Mohonlah bantuan untuk menghafal dengan mengurangi dosa.” As-Syafi’i juga bersyair, “Dia mengarahkanku agar meninggalkan maksiat. Sebab ilmu itu cahaya, maka cahaya Allah tidak dituntun kepada seorang yang bermaksiat.”
Baca: Fanatisme yang Terpuji dan Tercela
Sementara Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata, “Haram atas hati yang hendak menyimpan ilmu sementara di dalamnya terdapat sesuatu yang dibenci Allah Swt.”
Begitu juga nasihat Imam Khomeini kepada murid-muridnya, “Bersungguh-sungguhlah kalian dalam menyucikan jiwa. Menyucikan perangai itu penting sebelum menuntut ilmu. Jika seorang insan hendak menjadikan ilmunya bermanfaat baginya, hendaklah dia menyucikan jiwanya lebih dulu.”
8. Memanfaatkan waktu luang dan giat untuk memperoleh ilmu.
Seseorang yang dahaga ilmu harus mendidik dirinya semenjak masa giat dan muda; juga di waktu lapang yang dimilikinya sebagai karunia Allah. Inilah titipan dari Allah Swt yang diberikan kepada kita untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Selagi tubuh sehat dan kuat; akal pikiran tajam dan terfokus; ia harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meraih ilmu. Bukankah Allah Swt berfirman, “Dan Kami anugerahkan hikmah kepadanya (Nabi Yahya a.s.) saat masih belia.” (Q.S. Maryam [19]: 12)
Baca: Tafsir: Kematian dan Kehidupan dalam Perspektif Al-Quran
Saat waktu lapang tersedia, janganlah mengisinya dengan kesibukan yang tidak bermanfaat selain menuntut ilmu. Sekalipun dia telah berusia tua, tiada lagi halangan baginya untuk menuntut ilmu, sebab karunia Allah itu begitu luas bagi siapa yang bertakwa kepada-Nya. Allah Swt berfirman, “Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkan ilmu kepada kalian.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282)
9. Memutus segala penghalang demi menuntut ilmu.
Setiap manusia mengalami pelbagai rintangan yang menyibukkannya dari belajar. Seorang pembelajar yang sukses pun, pikirannya selalu disibukkan oleh banyak hal selain menuntut ilmu. Konsistensi dalam belajar ilmu ini dituntut bagi kita semua untuk meraih ilmu.
Sikap tahan banting dalam himpitan hidup, harus seiring dalam kegigihan menuntut ilmu. Dia harus senang dalam mempelajari ilmu meski sejenak, tetapi dia lakukan secara konsisten. Tentunya hal itu akan membukakan sumber-sumber hikmah dan kesempurnaan. Al-Khalil bin Ahmad berkata, “Ilmu tidak memberikanmu sebagiannya sehingga engkau berikan dirimu seutuhnya.”
10. Meninggalkan interaksi yang membuatnya sibuk dari ilmu.
Kawan dan pasangan itu nikmat Ilahi yang mendukung seseorang dalam menggapai urusan duniawi. Sementara kawan dan pasangan yang saleh akan mendukungnya dalam urusan akhiratnya.
Seorang Mukmin akan diuji dengan hadirnya seorang kawan yang jauh dari ilmu dan enggan belajar. Seorang pembelajar sejati perlu menjaga jarak interaksinya dengan kawan semacam ini.
Baca: Belajar Mencintai Alquran dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ a.s.
Bencana interaksi yang terbesar ialah kehilangan usia tanpa manfaat. Seorang pembelajar sejati sepatutnya bergaul dengan orang yang berguna dalam menggapai ilmu pengetahuannya.
Pilihlah kawan yang saleh, bertakwa, cerdas, yang mengingatkan kita saat lalai, mendukungnya, berempati saat memerlukannya, Jika tidak sesuai dengan karakter tersebut, hidup sendiri lebih baik daripada berkawan dengan seorang yang buruk.
(Bersambung…)