Dalam sejarah Islam, nama Abu Dzar al-Ghifari selalu bergema sebagai simbol keberanian moral, keteguhan hati, dan ketulusan dalam mencari kebenaran. Kisah keislamannya bukan sekadar catatan biografis, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang memperlihatkan teguhnya seorang manusia yang menolak berhenti sebelum menemukan hakikat.
Pencarian yang Tak Mengenal Lelah
Ketika Abu Dzar mendengar kabar tentang munculnya seseorang di Makkah yang mengaku membawa agama baru, hatinya langsung gelisah. Ia bukan tipe yang menerima sesuatu hanya dari cerita. Ia ingin melihat, mendengar, dan menyentuh kebenarannya sendiri.
Ia berkata kepada saudaranya,
“Pergilah ke Makkah. Amatilah orang yang mengaku Nabi itu, dengarkan kata-katanya, lalu kembalilah kepadaku.”
Saudaranya pun berangkat. Namun sesampainya di Makkah dan kembali, ia hanya berkata:
“Aku melihatnya menyeru kepada akhlak mulia, dan kata-katanya bukanlah syair.”
Jawaban itu tidak memuaskan Abu Dzar. Ia ingin sesuatu yang lebih pasti; ia menginginkan pertemuan langsung dengan pembawa risalah itu. Maka ia menyiapkan bekal secukupnya dan berangkat sendiri menuju Makkah.
Pertemuan Diam-diam dengan Ali bin Abi Thalib as
Setibanya di Makkah, Abu Dzar pergi ke Masjidil Haram. Ia sebenarnya sempat berpapasan dengan Nabi ﷺ, namun tidak dapat mendekati beliau karena situasi yang penuh pengawasan kaum Quraisy.
Malam itu ia tidur di masjid, hingga lewatlah seorang pemuda dengan wajah bercahaya—Ali bin Abi Thalib as. Abu Dzar mengikuti langkah pemuda itu, tetapi keduanya belum saling bicara. Esok malamnya kejadian itu berulang. Kali ini Ali menghampirinya dan mengajaknya ke rumahnya, tetap tanpa banyak tanya.
Barulah pada hari ketiga,Imam Ali bertanya dengan lembut:
“Apakah engkau tidak ingin menceritakan apa tujuanmu datang ke sini?”
Abu Dzar menjawab,
“Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku.”
Imam Ali pun berjanji. Setelah itu Abu Dzar mengungkapkan niat yang selama ini ia simpan: ia datang untuk menemukan kebenaran Nabi yang baru muncul di Makkah itu.
Imam Ali berkata,
“Besok pagi, ikutlah denganku.”
Menyambut Cahaya Islam
Pagi harinya, Imam Ali membawa Abu Dzar menemui Rasulullah ﷺ. Begitu mendengar langsung sabda Nabi, tanpa ragu sedikit pun Abu Dzar mengucapkan syahadat dan masuk Islam. Itulah karakter Abu Dzar—teguh, lugas, dan jujur.
Rasulullah ﷺ kemudian berkata kepadanya:
“Kembalilah kepada kaummu dan sampaikan kepada mereka ajaran ini.”
Namun Abu Dzar, yang hatinya selalu menyala dalam keberanian, menjawab penuh semangat:
“Demi Zat Yang Maha Kuasa, aku akan menjelaskan semua ini kepada mereka!”
Alih-alih langsung pulang, ia menuju masjid dan berteriak lantang:
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya!”
Seketika kaum Quraisy bangkit dan menghajarnya hingga tubuhnya babak belur. Andai tidak ada Abbas mungkin Abu Dzar akan tewas saat itu juga, Abbas melerai sambil berkata,
“Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu dia dari Ghiffar, tempat perlintasan perniagaan kalian?”
Sang Mujahid Kebenaran
Setelah kembali ke kaumnya, Abu Dzar mulai menyeru mereka kepada Islam dan mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kaumnya kemudian menjadi salah satu suku yang masuk Islam lebih awal dibanding banyak kabilah lain.
Di masa kemudian, ia tinggal di Madinah bersama kaum Muslimin. Namun pada masa kekhalifahan Utsman, karena ketegasannya mengkritik gaya hidup borjuis sebagian pejabat dan penguasa, Abu Dzar diasingkan ke Rabdzah—tanah sunyi yang jauh dari hiruk-pikuk umat.
Di tempat pengasingan itulah ia wafat, ditemani hanya keluarganya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ yang menjadi nubuat: “Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Ia hidup sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian pula.”
Warisan Moral yang Tak Pernah Padam
Abu Dzar adalah teladan abadi bagi semua pencari kebenaran. Ia tidak pernah takut pada kekuasaan, tidak pernah bungkam di depan kezaliman, dan tidak pernah menukar prinsipnya dengan kenyamanan dunia.
Dalam tradisi Ahlulbait, Abu Dzar adalah salah satu sahabat paling setia—yang keberaniannya mengingatkan kita bahwa kebenaran harus diperjuangkan, bahkan ketika kita berdiri sendirian. Ia menjadi contoh bahwa iman bukan sekadar keyakinan dalam hati, tetapi sebuah komitmen hidup yang harus dibuktikan dalam setiap langkah dan keputusan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang sering mengaburkan batas antara benar dan salah, kisah Abu Dzar kembali menyentuh kita: bahwa manusia yang jujur, teguh, dan merdeka adalah manusia yang tidak pernah tunduk kecuali kepada Allah.
Dikutip dari buku Kisah Orang-orang Bijak – Syahid Muthahhari