Adik-adik mungkin tidak sabar menantikan kelanjutan kisah sebelumnya. Nah langsung saja kita simak bersama sisa kisahnya berikut ini:
Kemudian Muhammad bangkit dan berkata, “Insya Allah aku tidak akan kembali dengan tangan hampa.”
Abdul Muttalib berkata, “Muhammad! Aku minta supaya Amir menemanimu sehingga bila Hafs memberikan unta dan barang lainnya, ia bisa membantumu untuk membawanya. Di sini aku akan menunggumu hingga engkau kembali.”
Salah seorang yang berada di sana berkata, “Tuan! Tidak akan ada gunanya. Beberapa orang dewasa sebelumnya telah pergi untuk mengingatkan Hafs dan kembali dengan tangan hampa. Hafs berkali-kali juga mengancam, bila sekali lagi ada yang datang, akan berurusan langsung dengannya. Kini Anda mengutus seorang anak kecil?!”
“Bersabarlah, kita lihat saja apa yang akan terjadi,” jawab Abdul Muthalib dengan tenang.
Muhammad kecil berangkat dan diikuti oleh Amir. Setelah sekian lama waktu berlalu, tiba-tiba orang-orang yang ada di majelis itu memberitahukan bahwa Muhammad sedang datang diikuti oleh Hafs diiringi 6 ekor unta. Semua orang berdiri dan menjulurkan lehernya untuk menyaksikan apa yang terjadi. (Baca: Menjaga Kehormatan Di Sisi Allah – 1)
Muhammad tampak sedang berbincang-bincang hangat dengan Hafs dan diikuti oleh Amir bersama unta-untanya. Ketika sampai di tengah majelis, Hafs memberi hormat, mengucapkan salam dan menjabat tangan Abdul Muthalib. Ia juga menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan menyerahkan donasinya. Hafs berkata, “Sebagai ganti 5 unta yang aku janjikan, aku membawa 6 ekor dan itu aku lakukan karena anak kecil dengan perilaku baik dan akhlak mulianya ini.”
Semua orang memandang Hafs dan Muhammad dengan keheranan dan bertanya-tanya apa yang telah dilakukan Muhammad sehingga Hafs bertutur kata dengan sangat sopan kepada Abdul Muttalib dan begitu cepat membawa sumbangannya.
Abdul Muttalib berkata, “Hafs! Semoga Allah swt memberikan balasan kebaikan kepadamu. Coba katakan kenapa engkau terlambat menyerahkan donasimu? Sebagian orang mengatakan bahwa engkau telah berlaku buruk terhadap beberapa orang yang mendatangimu sebelumnya dan bahkan engkau mengancam akan melaknat atau mematahkan kepala siapa saja yang datang kepadamu.”
Hafs menjawab, “Benar! Aku katakan bahwa aku akan mematahkan kepala atau melaknat siapa saja yang datang, akan tetapi sebenarnya aku bukan tipe orang seperti itu. Orang-orang itulah yang telah membuatku marah dan aku terpaksa berlaku demikian, bahkan aku berniat datang ke tempat ini untuk mengadukan mereka kepada Anda, namun hari ini Anda mengutus seseorang yang telah memberi pelajaran besar kepadaku. Demi diriku sendiri! Sepanjang umurku, aku belum pernah melihat akhlak pada diri siapapun sebaik akhlak Muhammad.”
“Jelaskan lebih detail apa yang telah terjadi!” sambung Abdul Muttalib penasaran. (Baca: Maulid Nabi saw. Perayaan Seremonial Semata?)
Hafs bertutur, “Sebelumnya telah datang tiga orang; Hafid, Naim, dan Sami ke rumah untuk mengambil donasi yang harus aku berikan. Pertama, Hafid datang dan berteriak di hadapan wanita dan anak-anakku, “Hai orang yang tidak berperhitungan! Kenapa engkau tidak menepati janjimu? Kenapa engkau belum memberikan unta-untamu?” Aku pun marah dan memerintahkan kepada para pelayan untuk mengusirnya dari rumah.
Setelah itu Naim datang dan masuk rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ia langsung ingin mengambil unta untuk dibawa pergi begitu saja.
Aku tanya, “Wahai Naim! Apa yang engkau lakukan?”
“Aku sedang mmengambil donasi untuk lembaga “Rifadah”, jawabnya.
Aku jawab, “Perbuatanmu ini sama dengan mencuri! Macam apa ini? Apakah Abdul Muttalib mengatakan supaya kamu melakukan hal ini? Bagaimanapun juga, aku pemilik rumah ini dan unta-unta ini milikku. Kamu tidak berhak melakukan itu.” Maka aku marah dan mengusirnya dari rumah.
Sedangkan Sami, ia lebih baik. Namun tetap tidak menanyakan alasanku belum menyerahkan sumbangan tahun ini. Aku ingin menjelaskannya, namun ia tidak mendengarkan ucapanku dan memotong pembicaraanku. Aku katakan kepadanya, “Kamu tahu apa? Sebelum aku mengusirmu dari rumah ini seperti Hafid dan Naim, pergilah!” Mereka membuatku marah. Percayalah bahwa perilaku mereka terhadapku sangat buruk. (Baca: Tolok Ukur Baik dan Buruk)
Sementara Muhammad, meskipun masih kecil, pertama ia mengetuk pintu, mengucapkan salam dari luar rumah dan meminta izin untuk masuk.
Aku bertanya, “Siapa di luar itu?”
Ia menjawab, “Tamu, apakah Anda mengizinkanku masuk?”
Aku jawab, “Tamu menjadi kehormatan kami, silahkan masuk.” Ia masuk sambil tersenyum santun dan memulai pembicaraan dengan sangat sopan.
“Muhammad! Tidak biasanya engkau datang ke rumah kami, apa gerangan yang membawamu ke sini?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku datang ke hadapan Anda untuk dua urusan: Pertama, menyapa dan menanyakan kabar Anda. Kedua, aku membawa pesan yang harus aku sampaikan kepada Anda secara khusus empat mata.”
Maka aku menyuruh para pembantu dan keluarga yang berada di ruangan untuk keluar dan meninggalkan kami berdua. Ketika semua orang pergi, aku berkata, “Ayo katakan apa keperluanmu?”
Lalu ia berkata sambil menunjukkan wajah sungkan dan malu-malu, “Aku membawa sebuah pesan dari kakekku, Abdul Muthalib untuk Anda. Beliau menyampaikan salamnya kepada Anda dan berkata, “Musim haji semakin dekat, kebutuhan untuk para penziarah banyak sekali, sedangkan apa yang kita miliki sangat sedikit.” Bila menurut Anda baik dan tidak ada masalah, silahkan menunaikan kewajiban Anda. Dan bila ada halangan, silahkan Anda jelaskan supaya aku dapat menyampaikan jawaban Anda kepada kakekku.”
Aku katakan, “Tidak ada halangan untuk menunaikan kewajiban. Tunggulah sebentar! Aku akan menyiapkan donasi yang semestinya sudah harus aku serahkan.” (Baca: Doa Pujaan Kepada Allah)
Wahai Abdul Muthalib! Meskipun Muhammad ini masih anak-anak, namun di hadapanku ia berperilaku seperti orang dewasa yang memahami kondisi. Ia mendengarkan seluruh ucapanku dan tidak menyela pembicaraanku. Maka aku segera mengambil bagian yang harus aku berikan dan berkata kepadanya, “Muhammad! Ini bagianku. Apakah engkau bisa membawanya sendirian?”
Muhammad menjawab, “Tidak, tapi Amir datang bersamaku untuk membantu. Selain itu, aku ingin menyampaikan sebuah usulan. Bila tidak keberatan atau pun merepotkan, sebaiknya Anda sendiri ikut datang bersama kami supaya harga diri dan kehormatan Anda tetap terjaga dan sekaligus menghilangkan kesalahpahaman yang terjadi.”
Dengan usulan ini, aku sendiri datang menyerahkan donasiku dan juga menjelaskan alasan keterlambatan ini.”
Maka merekahlah senyuman dari bibir Abdul Muthalib sambil berkata, “Ya, kita semua mengetahuinya. Muhammad sangat istimewa dan hanya satu di antara kita. Anak ini sejak kanak-kanak melakukan perbuatan seperti orang-orang dewasa. Semoga Allah swt menjaga Muhammad dan memberikan keberkahan kepadamu. Terima kasih Hafs, terima kasih!”
Nah, bagaimana adik-adik? Indah bukan akhlak Nabi kita tercinta, Muhammad saw.?
Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad