Di antara kemuliaan perilaku Imam Ali as-Sajjad, Zainal Abidin a.s. adalah kebiasaan beliau yang setiap tahun membeli sekumpulan sahaya dengan tujuan memerdekakan mereka pada hari raya setelah beliau mengajari mereka Alquran, hukum-hukum Islam, dan ajaran-ajaran kebaikan di dalamnya.
Imam memperlakukan mereka seperti anak atau saudaranya sendiri sehingga tidak membedakan antara dirinya dan para sahayanya.
Pada suatu hari raya, Imam mendirikan salat Ied bersama keluarga dan para sahayanya. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Anda semua hari ini telah merdeka di jalan Allah.”
Salah satu sahaya berkata, “Merdeka? Kami telah merdeka? Terima kasih, Tuanku! Sungguh aku merasa seolah Allah baru saja menciptakanku hari ini.”
Sementara sahaya lain berkata, “Sungguh Anda telah menganugerahi kami semua sebuah karunia yang tidak mampu kami lupakan selamanya.”
Seorang sahaya ketiga berkata, “Semoga Allah membalas jasamu dengan yang terbaik, wahai Putra Rasulillah Saw. Sungguh perbuatan Anda adalah salah satu perbuatan para Nabi dan washi yang saleh.”
Kebahagiaan menyelimuti kalbu-kalbu para sahaya tersebut. Rona sumringah terpancar pada raut wajah mereka. Senyum kebebasan berpendar pada bibir mereka, kecuali satu sahaya yang dirundung tangisan dan airmata membasahi pipinya.
Salah satu dari mereka bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu? Apakah engkau menangis bahagia karena telah meraih kemerdekaan?”
Yang lain juga bertanya-tanya alasan tangisannya, namun dia tetap saja menangis dan tidak menjawab satu pun pertanyaan mereka.
Imam Sajjad a.s. pun memperhatikannya dan menanyakan alasan tangisannya.
Sang sahaya pun menghapus air matanya, dan berkata, “Tuanku, memang kami telah menerima kemerdekaan dari Anda, amun aku menangis karena akan berpisah dari Anda, seorang ayah yang lembut, tuan yang penyayang dan pemimpin agung. Demi Allah, Tuanku. Aku hanya merasa bahwa Anda telah memisahkan diri dari anak-anak Anda. Anda tidak lagi memuliakanku untuk menyiapkan makan dan pakaian Anda. Karena itu, izinkanlah aku tetap menjadi sahayamu, karena itu lebih utama ketimbang merdeka darimu.”
Imam pun segera menciumi kepala sahaya yang telah merdeka itu, memeluknya dan berkata kepadanya, “Jika kamu mau, tetaplah bersamaku, wahai putraku. Tetaplah bersama kami sebagai saudara yang merdeka dan kawan setia.”
Demikianlah, hamba saleh ini tetap melayani Imam dan belajar darinya perangai dan perbuatan mulia setiap hari.
[*]
Baca: “Kisah-kisah Imam Ali Zainal Abidin a.s.: Burung Pipit dan Serigala“