Oleh: Dr. Muhsin Labib
Apakah Muhammad Saw manusia biasa atau manusia luar biasa? Pertanyaan ini mungkin klise bagi sebagian orang, namun meniscayakan dua konsekuensi teologis yang sangat krusial. Bila biasa disepakati sebagai kata bermakna “tak bebas kesalahan, kelupaan dan keburukan”, maka ada lima asumsi jawaban sebagai berikut:
Jawaban pertama:
Dia adalah manusia biasa. Karena biasa (salah dan lupa), maka ajarannya biasa (salah dan lupa). Karena ajarannya (biasa) bisa salah dan lupa, maka ajaran Tuhan yang benar tidak bisa disampaikan. Karena tidak bisa disampaikan kepada manusia, maka agama yang diajarkannya tak diterima.
Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menolak makan martabak yang sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasinya tentang martabak yang layak dimakan. Singkatnya, pemberi jawaban pertama menolak ajarannya dan tak menganggap pembawanya sama dengan manusia lainnya yang bisa salah pikirannya dan buruk perbuatannya.
Baca: Mengapa Tak Ada Haul Nabi?
Jawaban kedua:
Dia adalah manusia biasa dan ajarannya juga biasa. Karena ajarannya biasa, maka pembawanya pun biasa.
Dengan kata lain, seraya menganutnya, tidak menerimanya sebagai benar secara mutlak. Karenya, ia tak mengangga semua ajarannya relevan diterapkan dalam setiap konteks, bahkan perlu dikoreksi dan diganti dengan pandangan-pandangan lain yang dinilai lebih logis dan relevan.
Dengan kata lain, pemberi jawaban kedua adalah penganut agamanya, meski mengimaninya sebagai manusia biasa dan ajarannya sebagai ajaran biasa. Ini bisa diumpamakan dengan orang yang menerima martabak biasa bahkan sangat biasa. Sambil menggerundel menambahkan garam, telur dan beberapa bahan sebelum menyantapnya.
Baca: Pidato Rasulullah Saw tentang Perintah Mengikuti Ahlul Bait a.s. Sepeninggalnya
Pemberi jawaban kedua kerap dicerap liberal. Gagasan-gagasan kritis kelompok ini hampir tidak pernah mengalami kemajuan. Setiap tokohnya hampir mengulang-ulang lontaran tentang isu-isu langganan, semacam kritik terhadap apa yang disebutnya “bias gender” dalam hukum waris, poligami dan semacamnya dalam teks-teks suci, Alquran dan Hadis.
Namun, selain berhadapan dengan masalah metodologi dan epistemologi, kelompok ini bermasalah secara teologis dan logis. Yang menjadi landasan utama pemikiran kelompok sebenarnya adalah pandangannya tentang kenabian dan Nabi yang dianggapnya sebagai “manusia biasa”. Salah satu tokoh kelompok ini mengatakan, “Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi, tanpa memandang aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Menurutnya, karena Muhammad adalah manusia biasa, maka ia tidak imun dari pengaruh di luar wahyu, dan karena itu, kebijaksanaannya selama di Madinah sangat dikondisikan oleh konteks sosial dan sejarah yang spesifik pada saat itu.
Jawaban ketiga:
Dia adalah manusia biasa (tidak bebas dari kesalahan dan kelupaan), namun ajarannya luar biasa (bebas dari kesalahan).
Bagi pemberi jawaban ini, memuliakan sosok Muhammad, adalah syirik dan memperingati hari kelahirannya adalah bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang sesat.
Baca: Syarat Tunggal Mematuhi Nabi SAW
Karena terlanjur memposisikan logika dan rasio sebagai musuh nomor satu, kelompok ini menafsirkan teks-teks ayat dan riwayat metofaris secara skriptural dan literal, terutama yang berkaitan dengan Tuhan. Jangan heran bila mereka menafsirkan “istawa ala al`arsy” sebagai “nongkrong di atas singgasana”. Selain tidak perlu diherankan, penafsiran mereka yang visual dan fisikal terhadap Tuhan tidak patut disalahkan, karena ia hanyalah konsekuensi dari sebuah pandangan fundamental, yaitu bahwa pengawal agama dan perantara Tuhan dengan manusia hanyalah manusia biasa.
Singkatnya, Kelompok ini, meski menganggap Muhammad manusia biasa dan ajarannya biasa-biasa, tetapi menganggapnya sebagai Nabi. Mestinya bergabung dengan kelompok pertama.
Jawaban keempat:
Dia adalah manusia luar biasa, namun ajarannya biasa-biasa saja.
Pemberi jawaban kelima ini lebih sibuk memuji sosok Muhammad tapi tak memfilter dan tak mengkritisi teks-teks yang justru merendahkannya dan tidak menolak teks-teks ajaran irasional yang tak patut disampaikan oleh manusia luar biasa yang bebas dari kesalahan dan keburukan.
Memuliakannya juga menerima teks yang melukiskan dia depresi saat pertama kali menerima wahyu, pelupa, terkena sihir, dan aneka kisah “tidak biasa” lainnya memang terdengar ganjil. Tapi yang berpandangan demikian, bahkan mungkin terbanyak di antara umat.
Jawaban kelima:
Bila “biasa” berarti tidak bebas dari salah, lupa dan dosa, jawabannya adalah Muhammad Saw bukanlah manusia biasa. Namun bila “biasa” berarti “normal” dan natural, jawabannya; ya dia manusia biasa.
Muhammad diyakini oleh kelompok kelima sebagai sosok antroposteosis. Ia adalah entitas immanen yang menyejarah sebagai manusia sekaligus transenden sebagai manifestasi eksternal nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Muhammad Saw adalah manusia sempurna yang merupakan cahaya kedua yang bersih dari perilaku yang bertentangan dengan citra kesucian. Ia bukan hanya sebuah entitas personal yang pernah hadir dalam sebuah etape masa, namun ia adalah entitas impersonal yang eksistensial.
Baca: Amalan Pencinta Ahlulbait Nabi
Kedudukan Jesus yang begitu tinggi dalam teologi Kristiani mengungkap makna antropotesitas ini dalam pandangan sebagian umat Islam. Karena itu, ada harmoni lintas agama dalam pemaknaan tentang hakikat Tuhan dalam emanasi, iluminasi dan gradasi. Singkatnya, Kelompok kelima ini memandang ajarannya sempurna, karena itu meyakini kesempurnaan pembawanya. Ajarannya luar biasa dan pembawanya luar biasa.
Berdasarkan parameter validitas setiap pandangan, maka yang paling invalid adalah jawaban kedua karena mengimani ajaran yang tak bebas dari dugaan reduksi dan kesalahan alias biasa saja yang diwartakan oleh orang biasa yang tidak terjamin kebenarannya secara mutlak. Namun yang tak kalah invalidnya adalah jawaban ketiga, karena tidak menyadari bahwa keluarbiasaan sebuah ajaran adalah konsekuensi niscaya keluarbiasaan pewartanya. Sedikit lebih dari jawaban ketiga adalah jawaban keempat yang melukiskannya sebagai manusia luar biasa kendati banyak info tentang perilakunya yang terkesan justru bertentangan dengan ajaran. Sedangkan yang paling valid adalah jawaban kelima, karena mengimani ajaran yang luar biasa yang diwartakan oleh orang yang diyakini suci.