Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Waspadai Tipu Daya Diri dan Setan: Membangun Kerendahan Hati dalam Beribadah

Tipu daya diri dan setan dapat merusak kehidupan spiritual seseorang, serupa dengan bagaimana seseorang terjerumus dalam kemaksiatan atau ujub saat beribadah. Penting untuk memahami cara tipu daya ini bekerja.

Tipu daya ini terjadi melalui rencana yang matang, tetapi tidak dapat memengaruhi individu yang bertakwa dan takut kepada Allah untuk melakukan dosa berat. Demikian pula, setan tidak akan mengajak orang baik untuk melakukan tindakan kriminal.

Dalam beribadah, setan mulai dengan mengarahkan perhatian pada hal-hal kecil, seperti mendorong untuk melaksanakan ibadah sunnah atau membaca zikir. Secara perlahan, ia membuat individu membandingkan diri dengan dosa orang lain. Dengan cara ini, setan menciptakan perasaan superioritas dan merusak hubungan baik dengan sesama hamba Allah.

Ia juga mencoba meyakinkan bahwa perbuatan baik seseorang adalah jaminan keselamatan dan kebebasan dari segala keburukan. Dengan prasangka buruk terhadap orang lain, setan mencapai dua tujuan: membuat orang menganggap rendah hamba-hamba Allah lainnya dan menumbuhkan sifat ujub terhadap diri sendiri.

Baca: Cara Setan Menggoda Manusia dari Jalan Allah

Penting untuk menyadari bahwa seseorang yang berdosa juga bisa memiliki kebaikan dan amalan yang melibatkan rahmat Allah. Dalam pandangan Allah, pelbagai kebaikan dan amalan tersebut bisa menjadi petunjuk menuju kesudahan yang baik. Mungkin Allah memberikan dosa kepada seseorang untuk melindunginya dari ujub yang dapat lebih merusak daripada dosa itu sendiri.

Syaikh Syahabadi mengatakan, “Jangan mencaci orang lain dalam hatimu, bahkan jika dia seorang kafir. Mungkin saja cahaya fitrah di hatinya akan membawanya kepada petunjuk, sementara penghinaan dan celaanmu terhadapnya dapat membawamu ke konsekuensi yang tidak baik. Amar ma’ruf dan nahi munkar sangat berbeda dengan merendahkan hati.”

Beliau juga menekankan, “Jangan mengutuk kafir yang keadaannya tidak kita ketahui saat mereka meninggalkan dunia ini. Mungkin saja mereka mendapat hidayah sebelum meninggalkan dunia, dan kekuatan rohaniah mereka bisa mencegah kemunduran rohaniahmu sendiri.”

Namun, tetaplah waspada terhadap tipu daya iblis dan dorongan dari diri (nafs), yang dapat membawa seseorang ke tingkat ujub awal dan perlahan-lahan meningkatkan tingkat ujub tersebut. Derajat ujub dapat bertambah hingga manusia merasa telah memberikan manfaat dan sumbangan kepada Allah, Sang Pemberi nikmat dan Pemilik segala sesuatu, melalui kerendahan hati dan berbagai amal perbuatannya. Dengan cara ini, seluruh amal perbuatannya dapat jatuh ke tingkat yang paling rendah.

Cinta Diri sebagai Sumber Ujub

Sifat buruk ujub berasal dari cinta diri yang tertanam dalam fitrah manusia. Cinta diri menjadi sumber kesalahan, kemaksiatan, dan keburukan moral. Manusia membesarkan perbuatan remehnya dan berusaha masuk ke dalam kelompok para wali dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Ia tidak hanya menganggap dirinya berhak mendapat pujian dan penghormatan atas perbuatan remeh tersebut, tetapi kadang juga melihat perbuatan buruknya sebagai baik jika melihat kebaikan moral dan kesalehan yang lebih besar pada orang lain. Ia bahkan mencoba merusakkan kesan baik orang lain.

Cinta diri membuatnya merendahkan makhluk Allah lainnya dan memandang dirinya dengan sangat tinggi. Ia berharap tindakan-tindakan remeh dan tindakan yang sudah tercemar ribuan noda akan dianggap berharga di mata Allah. Oleh karena itu, ia selalu mencoba melihat kebaikan dalam perbuatan buruknya dan mewarnainya dengan warna yang semarak.

Kita perlu merenungkan perbuatan baik kita dan menilai ibadah kita secara rasional. Harus adil dalam menilainya, melihat apakah kita benar-benar berhak mendapatkan balasan baik dari Allah atas perbuatan-perbuatan tersebut. Jangan sampai kita dikutuk dan dihukum oleh Allah karena perbuatan yang sebenarnya kita anggap baik.

Mengenai peribadahan, sebaiknya kita mengingatkan diri kita untuk melaksanakan tugas-tugas yang diwajibkan dengan baik dan selalu ingat bahwa ibadah kita bukan semata-mata demi Allah. Jika Allah memberikan nikmat atau membawa kita ke surga, itu semata-mata karena limpahan belas kasih-Nya, bukan karena perbuatan kita yang sering kali dilandasi oleh keinginan jasmani dan ego.

Jika kita merujuk sebuah hadis yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan kita harus diukur dengan adil dan bahwa bahkan orang-orang saleh pun harus waspada agar tidak merasa bangga dengan perbuatan mereka. Kita harus jujur terhadap diri sendiri bahwa sering kali kita berpura-pura beribadah demi Allah, padahal tujuan utama kita adalah memuaskan ego dan keinginan diri kita sendiri.

Sahabatku, kita harus berhati-hati terhadap tipu daya diri dan iblis yang mungkin menghalangi ikhlasnya ibadah. Jangan sampai amal yang seharusnya bersih dari ria dan kesombongan malah menjadi bahan untuk melibatkan diri dalam kelompok para wali dan orang-orang saleh di mata Allah. Janganlah terbuai dalam rasa bangga yang tidak tepat.

Baca: Mengapa Tuhan Menciptakan Setan?

Kesimpulannya, perbuatan kita sebenarnya sering kali bertujuan untuk memuaskan keinginan dan mengikuti tarikan jasmani. Kita seakan menjadi penyembah diri sendiri, menghentikan satu kenikmatan demi kenikmatan yang lebih besar. Salat dan ibadah lainnya sering kali dilakukan demi keinginan jasmani, bukan untuk keridhaan Allah.

Saudaraku, berhati-hatilah! Salat yang dilakukan demi tujuan duniawi atau untuk mendapatkan balasan di akhirat bukanlah salat yang tulus kepada Allah. Jangan sampai kita menganggap diri berhak mendapatkan hadiah dan merendahkan makhluk Allah. Kita harus merenungkan tujuan sejati dari peribadahan kita dan berusaha memurnikannya dari niat yang tidak tulus.

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari tipu daya setan dan muslihat al-nafs al-ammārah. Lindungilah kami dari tipu muslihat mereka demi Rasulullah Saw dan Ahlul Bait beliau.

*Disarikan dari buku 40 Hadis: Telaah atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak – Imam Khomeini

No comments

LEAVE A COMMENT