
Cinta dalam Islam bukanlah emosi netral yang dibiarkan mengalir tanpa arah. Ia adalah kekuatan pembentuk jiwa, penentu orientasi, dan pengikat loyalitas. Karena itu, Islam tidak hanya berbicara tentang bagaimana mencintai, tetapi juga siapa yang pantas dicintai. Al-Qur’an dan Sunnah menempatkan cinta sebagai instrumen penyucian manusia dan sarana penjagaan agama setelah wafatnya para nabi.
Dalam seluruh kisah kenabian yang direkam Al-Qur’an, para nabi menegaskan satu prinsip penting: mereka tidak menuntut imbalan apa pun dari manusia. Seruan tauhid, keadilan, dan kebenaran disampaikan tanpa pamrih duniawi. Mereka berkata: “Upah kami hanyalah dari Allah.” Prinsip ini menegaskan kemurnian risalah dan menutup pintu eksploitasi agama.
Namun, ketika sampai pada Nabi Muhammad saw—penutup para nabi—Al-Qur’an justru menyampaikan perintah yang tampak berbeda:
“Katakanlah: Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku, kecuali cinta kepada keluargaku.” (QS. asy-Syura: 23)
Ayat ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa Rasulullah saw meminta ‘upah’, sementara para nabi sebelumnya tidak? Apakah ini pengecualian, atau justru penegasan makna risalah itu sendiri?
Al-Qur’an segera menutup celah kesalahpahaman dengan penjelasan yang tegas:
“Katakanlah: Upah apa pun yang aku minta dari kalian, maka itu adalah untuk kalian sendiri. Upahku hanyalah dari Allah.”
(QS. Saba’: 47)
Dengan demikian, cinta kepada keluarga Nabi bukanlah keuntungan personal bagi Rasulullah saw, melainkan mekanisme ilahi untuk menjaga umat dari penyimpangan. Ia disebut sebagai “upah” karena ia berfungsi sebagai ikatan spiritual yang menyempurnakan manusia dan melindungi agama dari distorsi setelah wafatnya Nabi.
Cinta ini bukan cinta biologis atau emosional semata. Ia adalah kesetiaan kepada manusia-manusia suci yang terbebas dari kepentingan duniawi dan hawa nafsu. Mencintai mereka berarti mencintai kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai ilahi yang mereka personifikasikan.
Siapakah Keluarga yang Wajib Dicintai?
Pertanyaan penting berikutnya adalah: siapakah yang dimaksud dengan “keluarga Nabi” dalam ayat tersebut? Jawabannya dijelaskan secara gamblang dalam hadis-hadis sahih lintas mazhab.
Fakhruddin ar-Razi, mufasir besar Ahlusunah, menukil dari tafsir al-Kasyyaf karya Zamakhsyari bahwa ketika ayat al-mawaddah turun, para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah keluarga yang wajib kami cintai?” Beliau menjawab: “Ali, Fatimah, dan kedua putra mereka.” (Tafsir al-Kabir, Fakhruddin ar-Razi, jil. 27, edisi Mesir)
Riwayat ini menegaskan bahwa Ali bin Abi Thalib berada di pusat perintah cinta Qur’ani, bukan di pinggiran sejarah.
Cinta Nabi sebagai Teladan Umat
Al-Qur’an memerintahkan kaum Muslim untuk mengikuti Rasulullah saw sebagai teladan sempurna:
“Dan ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. al-A‘raf: 158)
“Sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. al-Ahzab: 21)
Nabi saw secara nyata, terbuka, dan berulang kali mengekspresikan cintanya kepada Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain. Cinta ini bukan cinta personal karena hubungan keluarga semata, melainkan cinta karena keutamaan spiritual, moral, dan ideologis mereka.
Rasulullah saw bersabda: “Fatimah adalah bagian dari diriku. Siapa yang menyakitinya, maka ia telah menyakitiku.” (Shahih al-Bukhari dan Muslim)
Jika Nabi mencintai Ali dan Ahlulbait karena mereka adalah figur teladan, maka mencintai mereka menjadi kewajiban umat, bukan pilihan emosional.
Hadis-Hadis tentang Cinta kepada Ali
Dalam satu hadis panjang, Rasulullah saw bersabda kepada Ali bahwa Allah telah menghiasinya dengan perhiasan paling mulia: zuhud terhadap dunia, keberpihakan kepada kaum tertindas, dan kepemimpinan yang dibanggakan oleh orang-orang miskin. Nabi menegaskan: “Berbahagialah orang yang mencintaimu dan bersahabat denganmu dengan tulus. Celakalah orang yang memusuhimu dan berdusta tentangmu.”
(Usud al-Ghabah, Ibn al-Atsir, jil. IV, hlm. 23; Kanz al-‘Ummal, al-Muttaqi al-Hindi, jil. VI, hlm. 156)
Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda secara tegas: “Mencintai Ali adalah iman, dan memusuhinya adalah kefasikan.” (Kanz al-‘Ummal, jil. VI, hlm. 155–156; Jam‘ al-Jawami‘, as-Suyuthi)
Rasulullah saw juga bersabda kepada kaum Anshar: “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian berpegang padanya kalian tidak akan tersesat?” Ketika mereka menjawab ya, beliau bersabda: “Itulah Ali. Cintailah dia sebagaimana kalian mencintaiku dan hormatilah dia sebagaimana kalian menghormatiku.” (Hilyat al-Awliya’, Abu Nu‘aim al-Isfahani, jil. I, hlm. 63)
Memandang Ali sebagai Ibadah
Sejumlah hadis menyebutkan bahwa menatap wajah Ali dan menyebut kebajikannya adalah ibadah. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Abu Bakar sering menatap wajah Ali. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Melihat wajah Ali adalah ibadah.” (Ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhib ath-Thabari, jil. II, hlm. 219)
Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Mengingat Ali dan berbicara tentang keutamaannya adalah ibadah.” (Ash-Shawa‘iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami, hlm. 74)
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Ali bukan sekadar figur sejarah, melainkan manifestasi nilai-nilai ilahi dalam wujud manusia.
Ali, yang Paling Dicintai Allah dan Rasul-Nya
Hadis hidangan ayam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik menegaskan kedudukan Ali secara simbolik dan teologis. Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah, datangkanlah kepadaku hamba-Mu yang paling Engkau cintai untuk makan bersamaku.” Yang datang adalah Ali bin Abi Thalib. (Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, al-Hakim an-Naisaburi, jil. III, hlm. 131; diriwayatkan melalui lebih dari 80 sanad sahih Ahlusunah)
Cinta sebagai Poros Keselamatan
Mencintai Ali bin Abi Thalib as bukanlah slogan emosional atau identitas mazhab semata. Ia adalah perintah Al-Qur’an, teladan Nabi, dan poros keselamatan umat. Cinta ini melahirkan keberpihakan pada keadilan, keberanian melawan tirani, dan kesetiaan mutlak kepada kebenaran.
Dalam pandangan Ahlulbait, cinta bukan hiasan spiritual, tetapi komitmen ideologis yang menentukan nasib manusia. Dan Ali—dengan seluruh hidupnya—adalah wajah paling jernih dari cinta itu sendiri.
Disarikan dari buku Karakter Agung Ali bin Abi Thalib karya Syahid Murtadha Muthahhari