Siapakah Muslim bin Aqil, utusan Imam Husain ke kota Kufah itu?
Diriwayatkan, Imam Ali pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah engkau mencintai Aqil?”
Rasulullah saw menjawab, “Ya, aku mencintainya karena dua hal, Pertama, karena aku mencintai Abu Thalib. Kedua, karena Muslim putra Aqil akan terbunuh dalam kecintaannya kepada putramu, Husain. Air mata orang-orang beriman akan mengalir untuknya, dan para malaikat mengucapkan salam untuk Muslim.”
Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Aku mengadukan kepada Allah Swt tentang berbagai musibah yang akan menimpa keluargaku sepeninggalku.”
Rasulullah saw menangis tersedu-sedu sampai air matanya menetes ke dadanya.[1]
Muslim dididik oleh pamannya, Imam Ali bin Abi Thalib as. Saat Imam Husain menerima surat dari warga Kufah, beliau membalas surat itu, yang berisi, “Aku mengirim ke hadapanmu saudara sepupuku yang aku percaya.”[2]
Dari dua riwayat ini terlihat bahwa derajat Muslim mendekati derajat manusia suci. Kedudukan Muslim di sisi penghulu para syuhada, Imam Husain as sama seperti kedudukan Abul Fadhl, Ali Akbar, dan Qasim. Muslim mempunyai buku ziarah yang serupa dengan buku ziarah Abul Fadhl.[3] Kawan dan lawan mengakui keberanian Muslim bin Aqil.
Muslim pun kemudian melakukan perjalanan ke Kufah. Tujuannya adalah untuk meninjau, apakah warga kota itu sebenar-benar ingin berjuang bersama Imam Husain untuk menegakkan keadilan? Awalnya, kedatangan Muslim bin Aqil disambut warga dengan suka cita dan penuh penghormatan. Mereka pun, sebanyak delapan belas ribu orang, menyatakan baiat-nya kepada Imam Husain as.
Pemerintah kota pun ketakutan. Mereka mengabarkan kepada pemerintah pusat di Syam, mengenai kejadian ini. Yazid pun memerintahkan agar Muslim dibunuh dan masyarakat dihalangi dari pemberontakan. Yazid mengutus Ubaidillah bin Ziyad (Ibnu Ziyad) datang ke Kufah. Ia mengumpulkan para pemimpin Kufah, dan menyusun rencana untuk mengintimidasi orang-orang yang telah berbaiat kepada Muslim, sehingga mereka membatalkan baiat mereka.
Pada hari kedelapan Zulhijah 60 H, Muslim pun keluar untuk berperang karena telah tersiar kabar bahwa Hani bin Urwah, seorang pengikut Ahlul Bait yang setia, telah terbunuh di tangan Ubaidillah. Awalnya, banyak sekali orang yang berkumpul bersama Muslim di seputar istana Ubaidillah. Namun para kaki tangan Ubaidillah menakut-nakuti mereka dengan mengatakan, pasukan dari Syam sebentar lagi memasuki kota.
Mereka juga membujuk kaum wanita agar menarik kembali suami atau anak mereka, dengan imbalan emas. Sebagian wanita datang menarik tangan suami dan anak-anak mereka dan membawanya pergi sambil mengatakan, “Apa hubungan kita dengan fitnah ini?”
Perlahan-lahan, pasukan Muslim pun bercerai berai. Pada saat Muslim shalat Magrib, hanya tersisa 30 orang yang shalat bersamanya. Saat Muslim keluar dari mesjid, tidak ada seorangpun lagi yang tersisa.[4]
Malam itu, Muslim diberi perlindungan oleh seorang perempuan tua bernama Thaw’ah. Namun anaknya membocorkan rahasia, mengadu kepada pejabat pemerintah mengenai keberadaan Muslim. Lalu paginya, tiga ratus pasukan sudah mengepung di depan pintu rumah Thaw‘ah. Terjadi pertempuran yang sangat sengit. Sedemikian perkasanya Muslim, sehingga ia berhasil membunuh 180 orang dari mereka.[5]
Ibnu Asy‘ats mengirim pesan kepada Ibnu Ziyad bahwa Muslim telah menimbulkan banyak korban sehingga diperlukan bantuan pasukan kavaleri dan infanteri.
Dalam jawabannya, Ibnu Ziyad mengatakan, “Semoga ibumu berduka lantaran kematianmu. Bagaimana seandainya aku mengirimmu ke medan perang melawan musuh yang lebih tangguh darinya (maksudnya Imam Husain as)?”
Ibnu Asy‘ats menjawab, “Kamu kira engkau mengirim aku kepada salah seorang pedagang sayur kota Kufah?! Muslim seorang pahlawan pemberani, mempunyai pedang yang tajam, dan singa yang tidak mempunyai rasa takut.”
Ibnu Ziyad terpaksa mengirim pasukan tambahan untuk membantu Ibnu Asy‘ats dan berkata, “Gunakan tipu daya dalam menghadapinya. Karena dengan cara lain engkau tidak akan bisa menang melawannya.”[6]
Almarhum Thuraiha menulis bahwa mereka membuat tipu daya dengan cara menggali lubang yang dalam, lalu permukaan lubang itu ditutup dan diberi tanah. Kemudian mereka mundur perlahan ke arah lubang itu dan memancing Muslim ke sana. Akhirnya, Muslim terjatuh ke dalam lubang dan mereka segera mengepungnya.
Ibnu Asy‘ats menyabetkan pedangnya ke wajah Muslim, lalu menawannya, melucuti pedangnya dan mendudukkannya ke atas kuda.[7] Muslim mengucapkan ayat, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali,’ dan air matanya bercucuran.
Ubaidillah bin Abbas berkata, “Untuk apa pemberani sepertimu menagis?!”
Muslim menjawab, “Demi Allah! Aku menangis bukan untukku tetapi untuk Husain dan keluarga Husain.”[8]
Singkat cerita, akhirnya Muslim dibunuh oleh Ibnu Ziyad secara keji, yaitu tubuhnya dilemparkan dari atas atap istana ke tanah.[9] Dalam kitab lain disebutkan bahwa kepala Muslim dan Hani dikirim ke Damaskus. Sementara tubuh kedua orang ini setelah diseret di gang-gang kota Kufah dilemparkan ke tempat sampah yang di dekat Mesjid Kufah.[10] Kemudian, istri Maitsam Tammar secara sembunyi-sembunyi menguburkan kedua tubuh tersebut pada malam hari di sudut mesjid.
Kembali ke sabda Rasulullah saw yang dikutip di awal tulisan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa menangisi Muslim bin Aqil termasuk perintah agama, sebagaimana penduduk langit dan para malaikat menangis untuknya.
(sumber: Mega Tragedi, Abbas Syekh Rais, terbitan Nur Al Huda)
[1] Syekh Shaduq, al-Amali, hal.111.
[2] Syekh Mufid, al-Irsyad juz.2, hal.39.
[3] Mazar-e Kabir, hal.53.
[4] Tarikh al-Thabari, juz.4, hal.277.
[5] Tarikh al-Thabari, juz.4, hal.279.
[6] Bihar al-Anwar, juz.44, hal.354.
[7] Muntakhab Thuraiha, juz.2, hal.427.
[8] Nafs al-Mahmum, hal.103.
[9] Syekh Mufid, al-Irsyad, juz.2, hal.65.
[10] Nafs al-Mahmum, hal.108.