Juwaibar, seorang pemuda asal Yamamah, mencuat dari bayang-bayang kehidupannya yang dipenuhi kesulitan. Meski bertubuh pendek, berwajah buruk, dan berkulit hitam, kisahnya menjadi pembuktian hidup bagi siapapun yang dianggap rendah dalam norma sosial. Keberanian dan ketabahan Juwaibar meledak saat dia memilih menapaki jalan Islam, mengubah takdirnya menjadi aliran kehidupan yang mempesona dan penuh kebermaknaan.
Rasulullah Saw menyambutnya dengan tangan terbuka, melihat potensi dan kebaikan di balik penampilannya yang memprihatinkan. Juwaibar, setelah memeluk Islam, menjadi seorang Muslim yang tekun dan baik. Rasulullah memberinya tempat di masjid, memenuhi kebutuhannya, dan memberikan bimbingan keagamaan yang mendalam.
Saat masjid semakin sempit karena semakin banyaknya orang yang masuk Islam, Allah Swt memerintahkan Rasulullah untuk membangun “As-Suffah,” sebuah balai penampungan yang menjadi tempat berlindung bagi orang-orang asing dan miskin yang baru memeluk Islam. Di sana, Juwaibar menemukan rumah yang baru, tempat di mana ia merasa diterima dan dihargai sebagai bagian dari umat Islam. Rasulullah, dengan kebijaksanaan dan perhatiannya, melihat potensi besar dalam Juwaibar.
Puncak kisah Juwaibar terjadi ketika Rasulullah memperhatikan keadaannya dan merasa bahwa saatnya baginya untuk menikah. Rasulullah, dengan kebijaksanaan dan kelembutan yang melekat padanya, menyarankan kepada Juwaibar untuk menikah., “Hai Juwaibar, jika engkau beristri, itu akan lebih baik bagimu,” kata beliau. Meski Juwaibar jujur mengakui keterbatasannya, namun Rasulullah memberinya pandangan baru tentang keadilan dan persamaan dalam Islam.
Rasulullah dengan bijak dan penuh kelembutan, menggambarkan keadilan Islam yang menghapus batasan-batasan dunia jahiliyah. “Dengan Islam, Allah merendahkan orang yang terhormat di masa jahiliyah, dan memuliakan serta mengangkat derajat orang yang di masa jahiliyah dianggap hina,” kata beliau kepada Juwaibar. Dalam Islam, semua manusia, dari berbagai latar belakang dan warna kulit, setara di hadapan Allah.
Dengan misi membantu Juwaibar menemukan pasangan hidup, Rasulullah mengutusnya kepada Ziyad bin Labid, seorang pemuka Anshar untuk meminang putrinya yang dikenal jelita. Ziyad awalnya ragu-ragu, namun dengan petunjuk Allah dan bimbingan Rasulullah, Ziyad menerima Juwaibar sebagai menantunya dan merestuinya untuk menikahi putrinya, Zulfa.
Namun, cerita ini tidak berhenti pada pernikahan semata. Juwaibar, meskipun ditempatkan dalam kehidupan yang lebih nyaman, memutuskan untuk merenung dalam ibadah selama tiga hari tiga malam. Keputusan ini menggambarkan dedikasinya untuk bersyukur kepada Allah dan mendekatkan diri pada-Nya. Tidak hanya puasa dan salat, tetapi juga pengabdian penuh hati kepada Sang Pencipta.
Keputusan ini mengejutkan Ziyad dan Rasulullah. Namun, Juwaibar dengan tegas menjelaskan bahwa ia ingin mensyukuri semua anugerah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ia membuktikan komitmennya dengan salat malam dan puasa di siang hari.
Pada hari ketiga, Juwaibar menepati janjinya. Dengan penuh kesyukuran dan tekad yang kokoh, ia memasuki rumahnya bersama Zulfa. Mereka hidup dalam keharmonisan yang sempurna, di mana cinta dan kebahagiaan melampaui batasan sosial dan materi. Pada akhirnya, Juwaibar syahid dalam suatu peperangan mendampingi Rasulullah dalam membela agama Allah.
Kisah Juwaibar dan Zulfa bukan sekadar cerita pernikahan biasa, tetapi sebuah perjalanan hidup yang penuh makna dan nilai-nilai Islam. Melalui kisah ini, kita memahami bahwa kebaikan dan ketakwaan tidak terletak pada penampilan fisik atau harta benda, melainkan pada keimanan dan ketulusan hati. Kisah ini menjadi warisan berharga yang mengilhami umat Islam untuk menjalani kehidupan dengan penuh dedikasi dan cinta kepada Allah serta sesama manusia.
*Disadur dari buku Kisah Orang-orang Bijak – Syahid Muthahhari