“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahatahu.” (QS. al-Isra: 1)
Ayat di atas menyinggung soal mikraj, yaitu isra (kepergian) Nabi Saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Ayat di atas diawali dengan kata “Mahasuci Allah”, yang menunjukkan betapa agung dan pentingnya masalah ini. Mungkinkah turunnya ayat dengan diawali kata agung tersebut dikarenakan sesuatu yang dilihat dalam mimpi?
Dalam surat an-Najm ayat 13-18, Allah kembali berfirman: “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang aslinya) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya ia telah melihat sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Walaupun ayat-ayat tersebut tidak menjelaskan masalah mikraj yang terjadi di langit, namun di dalamnya terkandung tanda-tanda yang menunjukkan telah terjadinya mikraj yang berlangsung di alam malakut al-a’la. Dan dari tanda-tanda itu pula dapat diketahui tentang adanya pertemuan Nabi Saw dengan Jibril di Jannat al-Ma’wa. Karenanya, mayoritas ahli tafsir dari kalangan Syiah dan Sunah berpendapat bahwa ayat-ayat itu berhubungan dengan mikrajnya Nabi Saw. Darinya, mereka lantas memberi keterangan rinci tentang terjadinya mikraj tersebut sebagaimana termaktub di akhir ayat-ayat itu.
Baca: Jawaban atas Keraguan pada Peristiwa Isra Mikraj
Ayat-ayat ini pun menyatakan bahwa terjadinya mikraj dialami secara sadar, bukan di alam mimpi. Ayat yang menyatakan penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya, merupakan bukti lain tentangnya. Serta ayat: Sesungguhnya ia telah melihat sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar, merupakan penjelasan umum tentang tujuan perjalanan ini; yaitu menyaksikan tanda-tanda keagungan Allah yang sangat luar biasa.
Tafsir tentang ayat-ayat ini sangatlah luas. Apa yang telah kami sampaikan hanyalah sekelumit saja. Dan dari penjelasan kami di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah mikraj secara nyata disinggung dalam Alquran.
Banyak hadis dari kedua mazhab paling dominan dalam sejarah Islam (Syiah dan Sunni) yang menyinggung topik ini. Tentu perlu kesempatan yang luas untuk menyebutkannya satu per satu. Namun, dalam kesempatan ini, cukup dikatakan bahwa banyak para ulama Islam yang sepakat akan kemutawatiran dan kemasyhuran hadis-hadis tersebut. Sebagai contoh, kami akan sebutkan pandangan tiga ulama besar Syiah dalam bidang tafsir, hadis, akidah dan dari kalangan Sunni.
- Faqih (ahli hukum) dan ahli tafsir terkemuka, Syaikh al-Thusi, mengatakan dalam buku tafsirnya yang berjudul al-Tibyan, tatkala mentafsirkan ayat pertama dari surat al-Isra, “Pendapat ulama Sunah dan para ahli ta’wil mengatakan bahwa Nabi dinaikkan di malam itu ke langit hingga ke Sidratul Muntaha di langit ketujuh. Di sana Allah memperlihatkan kepadanya tanda-tanda langit dan bumi yang menambah wawasan pengetahuan Nabi dan keyakinannya. Itu terjadi dalam keadaan sadar, bukan mimpi. Dan dalam Alquran dikatakan: …perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dan kisah selanjutnya telah diketahui …. ” Walaupun bagian (periode) pertama mikraj bersandar pada ayat-ayat Alquran, sementara periode keduanya bersandar pada hadis-hadis, namun ketika sampai pada penafsiran terhadap keenam ayat surat al-Najm, terdapat ungkapan-ungkapan yang sangat selaras dengan periode kedua mikraj (naik dari Bait al-Muqaddas ke langit). Selain itu, ketika sampai pada tafsir ayat-ayat ini, seakan-akan periode (kedua) ini pun bersandar pada Alquran. Alhasil, bukti-bukti tentang masalah ini sangatlah kuat.
- Seorang ahli tafsir, almarhum al-Thabarsi mengatakan dalam buku tafsirnya yang berjudul Majma’u al-Bayan, berkenaan dengan tafsir ayat-ayat surat al-Najm, “Kalangan mayoritas berkata-di mana ini amat menonjol di kalangan mazhab Sunah dan termasyhur dalam hadis-hadis mereka, ‘Sesungguhnya Nabi Saw naik ke langit dengan raga beliau dalam keadaan hidup dan sehat sehingga beliau melihat segenap apa yang ada di alam malakut langit dengan mata beliau. Itu bukan terjadi dalam mimpi.”
- Al-Alamah al-Majlisi, seorang ahli hadis terkemuka menulis dalam juz 6 bukunya, Bihar al-Anwar, “Sesungguhnya isra Nabi Saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha tergolong masalah-masalah yang diterangkan Alquran dan hadis mutawatir dari kedua kalangan (Syiah dan Sunah). Jadi, pengingkaran masalah ini atau pentakwilan serta penafsirannya dengan mikraj rohani atau perkataan bahwa penyaksian Nabi dalam mikrajnya terjadi di alam mimpi, pada dasarnya muncul dari tidak adanya telaahan yang seksama terhadap warisan-warisan para imam sebagai pemberi petunjuk atau bersumber dari lemahnya keyakinan.”
Lalu beliau menambahkan, “Jika kita ingin mengumpulkan hadis-hadis yang sampai pada kita berkenaan dengan masalah ini, maka kita akan menjadikannya sebagai sebuah buku khusus yang tebal.”
Kemudian beliau menukil sangat banyak hadis, mungkin lebih dari seratus hadis yang menyinggung masalah ini, yang sebagian besarnya merujuk pada kitab al-Kafi.
Mikraj di Kalangan Sunni
Para ulama hadis dan tafsir kalangan Sunni mengatakan bahwa hadis-hadis tentang mikraj tergolong sangat masyhur. Ini banyak dijelaskan ahli tafsir mereka sewaktu menafsirkan dua surat, al-Isra dan al-Najm. Mereka menyatakan bahwa turunnya ayat-ayat kedua surat tersebut berkenaan dengan kejadian mikraj.
Ahli tafsir terkenal, Fakhru al-Razi, tatkala menafsirkan ayat pertama surat al-Isra -setelah sebelumnya menyebutkan berbagai dalil rasional sehingga menyimpulkan tentang kemungkinan terjadinya mikraj- mengatakan: “Para peneliti berkata, ‘Yang menunjukan bahwa Allah Swt telah mengangkat ruh Muhammad Saw dan jasad beliau dari Mekah ke Masjidil Aqsha adalah Alquran dan hadis. Adapun dalil Alquran adalah ayat ini. Adapun hadis-hadis tentang mikraj termasuk yang masyhur yang dinukil dalam buku-buku sahih Ahlusunah, yang poinnya adalah bergeraknya Nabi dari Mekah ke Baitul Muqaddas dan dari sana ke langit.”
Alhasil, masalah ini didukung para ulama dan ahli tafsir Ahlusunah (seperti al-Qadhi al-Baidhawi). Banyak sekali ulama Sunni saat ini yang mengategorikan masalah mikraj sebagai masalah yang disepakati.
Mansur Ali Nasif, pengarang buku al-Taj, sesepuh Universitas al-Azhar sekaligus guru di Universitas al-Zainabiyyah Mesir, telah mengumpulkan berbagai hadis yang khusus menyangkut mikraj. Demikian pula dengan seorang penulis terkenal, Sayyid al-Qutub, yang dalam buku tafsir surat al-Isra disebut-sebut banyak menukil hadis-hadis tentang mikraj.
Baca: Jika Allah Tidak Bertempat, Mengapa Mikraj?
Selain itu perlu juga disinggung bahwa sebenarnya telah terjadi perbedaan di antara perawi hadis dengan para ahli tafsir di kalangan Ahlusunah, menyangkut apakah mikraj itu menyertakan raga (jasmani) atau hanya sisi ruhani Nabi saja. Pendapat mayoritas menyatakan bahwa mikraj terjadi, baik dengan ruhani maupun jasmani Nabi, serta dalam keadaan sadar bukan tidur. Pendapat Nabi Saw mikraj hanya dengan ruhnya saja bersumber dari Aisyah yang meriwayatkan, “Demi Allah, jasad Rasulullah Saw tidak hilang, tetapi beliau diangkat ke langit dengan ruhnya (saja).” Dan dinukilkan pula oleh Hasan al-Basri bahwa Nabi menyaksikan itu dalam keadaan tidur dan bermimpi.
Sebagian penulis terkenal di zaman ini memiliki ta’bir yang membingungkan dan meragukan soal terjadinya mikraj (apakah dalam sadar atau mimpi). Sayyid Qutub, misalnya, pernah mengatakan, “Perjalanan Nabi Saw ke Baitul Muqaddas dan diangkatnya beliau ke langit terjadi antara sadar dan tidur.” Sepertinya dengan mengatakan ini, ia ingin melepaskan diri dari segala persoalan dan tuduhan yang dilontarkan sebagian kalangan seputar masalah mikraj.
*Disarikan dari buku Isra Mikraj, Sebuah Pandangan Alternatif – Ayatullah Natsir Makari Sirazy