Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Peran Puasa dalam Tazkiyah Nafs (3)

Buruknya Kekenyangan

Bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan untuk menyingkap tabir rahasia alam semesta, namun untuk dapat memanfaatkan kesempatan ini manusia memerlukan asupan makanan dan minuman sebatas apa yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Perut yang kekenyangan akan cenderung mengganggu kelancaran berpikir dan memperoleh pemahaman. Dan dalam ungkapan akhlak Islam disebutkan; “Tak ada tempat yang diisi oleh manusia lebih kotor daripada perut.”[1]

Kekenyangan menyebabkan orang malas, sementara menjaga keseimbangan dalam makan akan menyehatkan tubuh, menyebabkan panjang umur, dan pada gilirannya menyehatkan pikiran. Makan secara berlebihan selain menyebabkan ruh manusia tersibukkan oleh proses percernaan makanan yang berlebih, juga menyebabkan organ-organ tubuh bekerja lebih keras sehingga raga menjadi kurang sehat, mudah sakit, dan lebih sulit untuk dapat panjang umur.

Kekenyangan dapat menyebabkan kemalasan dan rasa kantuk. Manusia tidur sebagai istirahat untuk dapat memahami sesuatu dengan baik, bukan banyak tidur lantaran kekenyangan. Karena itu suatu hari Rasulullah saw bertanya para sahabatnya; “Semalam mimpi apa yang membuat kalian bergembira?”[2]

Seseorang pernah bersendawa di depan beliau sehingga beliau menasehatinya bahwa tidaklah patut makan terlalu banyak sampai bersendawa ketika berkumpul dengan orang lain. Beliau juga bersabda; “Enyahkan sendawamu, sesungguhnya orang yang paling lama lapar di hari kiamat adalah orang yang paling kenyang di dunia.”[3]

Diriwayatkan bahwa suatu hari Imam Ali as bertanya kepada penjaga kebunnya, “Ada makanan?” Penjaga itu menjawab, “Hanya ada makanan sederhana yang tak pantas untukmu. Aku hanya menyiapkan labu tanpa mentega.” Beliau berkata, “Siapkanlah.” Beliau mencuci tangan dan memakan labu itu kemudian sambil mengelus perut beliau berucap, “(Beruntunglah) perut yang kenyang dengan makanan sederhana ini, dan celakalah orang yang perutnya membawanya masuk ke neraka.”[4]

Nilai Kebebasan

Para bijakawan Islam mengakui bahwa puasa adalah amalan yang sulit dan berat, tapi rasa berat ini menjadi sirna karena mereka merasakan nikmatnya panggilan firman ilahi[5]; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”[6]

Rasulullah SAW dalam khutbah pada Jumat terakhir bulan Syakban bersabda;

“Wahai manusia, sesungguhnya jiwa kalian tergadai dengan amal perbuatan kalian maka bebaskanlah jiwa kalian dengan istighfar (permohonan ampunan) kalian.”[7]

Hadis Nabi SAW ini mengingatkan bahwa manusia terbelenggu oleh dosa dan hawa nafsunya namun mereka tidak menyadari keterbelengguannya, maka bulan Ramadhan menjadi momentum bagi mereka untuk memohon ampunan.

Dalam Islam tak ada sesuatu yang berharga melebihi kebebasan dan kemerdekaan dari hawa nafsu. Imam Ali AS berkata; “Barangsiapa meninggalkan syahwat maka dia merdeka.”[8]

Para imam maksum as dalam banyak kalimat mutiaranya mengajarkan kepada manusia agar menjadi makhluk yang merdeka. Kemerdekaan dari musuh batiniah lebih penting daripada kemerdekaan dari musuh lahiriah. Tanda keterbelengguan batin ialah bertindak semau sendiri, sedangkan manusia merdeka adalah mereka yang berbuat sesuai ajaran Allah SWT. Manusia merdeka tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah SWT.

Memerdekakan diri di bulan suci Ramadhan merupakan salah satu misi utama manusia. Manusia harus membulatkan kehendak dan tekadnya untuk menghancurkan belenggu yang memasungnya. Caranya ialah memohon ampunan. Karena itu siang malam manusia dianjurkan membaca istighfar berulangkali. Rasulullah SAW bersabda; “Siang malam aku beristighfar 70 kali.”[9]

Manusia dianjurkan beristighfar bagi dirinya dan orang-orang lain, bukan untuk lolos dari kobaran api neraka, juga bukan untuk mendapatkan kenikmatan surgawi, melainkan demi tujuan yang lebih agung lagi.

Perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia juga merupakan perjuangan untuk kebebasan, tapi bukan kebebasan dari status dan hakikatnya sebagai hamba Allah SWT. Sebaliknya, kemerdekaan ini adalah untuk menegaskan bahwa bangsa ini adalah hamba Allah SWT semata, bukan hamba selainNya.

(Bersambung)

[1] Bihar al-Anwar, jilid 63, hal.  330.

[2] Al-Kafi, jilid 8, hal. 90.

[3] Al-Wasa’il, juz 16, hal. 420.

[4] Al-Kuna wa Alqab, jilid 3, hal. 138.

[5] Lihat Majma’ al-Bayan, jilid 2, hal. 490.

[6] QS. Al-Baqarah [2]: 183 – 185.

[7] Al-Amali wa al-Majalis Shaduq, hal.85, Majlis 20, Hadis 4, dan Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 1, hal. 295.

[8] Bihar al-Anwar, jilid 74, hal. 239.

[9] Bihar al-Anwar, jilid 17, hal. 44.

No comments

LEAVE A COMMENT