Oleh: Maedeh Zaman Fashami, journalist and researcher
Dalam sebuah tanah yang setiap sudutnya hancur oleh bom, di mana rumah berubah menjadi abu, sekolah menjadi puing, dan rumah sakit menjelma pekuburan, perempuan Gaza tetap berdiri. Mereka bukan sekadar penyintas; mereka adalah saksi hidup sekaligus narator dari sebuah penderitaan panjang yang kerap dilihat dunia lalu dilupakan. Namun mereka sendiri tidak pernah lupa.
Hari ini, perempuan Gaza bukan hanya korban perang. Mereka adalah korban dari ketidakadilan sejarah, dari kebungkaman dunia internasional, dan dari media yang memilih menutup mata. Mereka lahir dalam kepungan, bersembunyi dari bom sejak kecil, menjadi ibu para syahid di usia muda, dan akhirnya turut menjadi sasaran di usia matang. Penjajah Zionis, dengan dukungan Barat dan diamnya banyak negara, mencabut anak-anak dari pelukan ibu-ibu Gaza dengan satu tujuan: memadamkan perlawanan. Namun mereka lupa, darah anak-anak dan perempuan tidak pernah melemahkan bangunan kokoh perlawanan, justru semakin meneguhkannya.
Hari Paling Gelap Bagi Dokter Alaa al-Najjar
Salah satu kisah yang menembus hati datang pada 23 Mei di daerah Qizan al-Najjar. Hari itu, rumah seorang dokter anak, Alaa al-Najjar, menjadi sasaran rudal Zionis. Sepuluh anaknya baru saja melambaikan tangan ketika ia berangkat kerja untuk menjalani tugas berat di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis.
Dr. Alaa dikenal sebagai sosok yang mengabdikan hidupnya bagi anak-anak Palestina. Namun pagi itu, ia harus menyaksikan hal yang paling mengiris: jasad terbakar anak-anaknya sendiri dibawa ke rumah sakit tempat ia bekerja. Sembilan dari sepuluh anaknya gugur syahid, termasuk seorang bayi berusia enam bulan. Suaminya terluka parah. Dari sepuluh anak, hanya satu yang selamat dengan luka berat.
Bayangkan: seorang ibu yang meninggalkan rumah untuk menyelamatkan anak-anak orang lain, ternyata harus menerima kabar bahwa rumahnya sendiri telah rata dengan tanah. Di ruang operasi ia berjuang menyelamatkan seorang bocah, sementara pada saat yang sama, jenazah anak-anaknya diangkut ke ruang jenazah. Bahkan untuk memberikan ciuman terakhir di dahi pun ia tak kuasa, karena wajah mereka tak lagi dikenali akibat luka bakar.
Kisah Dr. Alaa adalah gambaran ribuan perempuan Gaza lain: mereka harus menjadi tenaga medis, pendidik, relawan, sekaligus ibu—dan terkadang dipaksa menatap kematian buah hati mereka sendiri sebelum kembali berdiri untuk menyelamatkan anak-anak lain.
Menjadi Perempuan di Gaza
Di Gaza, menjadi perempuan adalah pertempuran tersendiri. Mereka memikul beban perang dalam setiap peran: sebagai ibu, istri, guru, jurnalis, dokter, perawat, hingga warga biasa. Rumah yang seharusnya tempat berlindung kini hanyalah tumpukan batu. Pelukan yang seharusnya memberi nyaman kini terkubur bersama reruntuhan. Namun perempuan Gaza tetap berdiri, tidak roboh.
Dr. Alaa pernah berkata: “Selama masih ada anak yang harus diselamatkan, aku harus berada di sana.” Kalimat itu mewakili suara ribuan perempuan Gaza yang setiap hari memilih kehidupan meski maut mengintai.
Lebih dari 1.400 tenaga medis Palestina telah gugur, termasuk banyak perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan Gaza bukan hanya fisik akibat bom dan peluru, tetapi juga psikologis, sosial, dan struktural. Mereka kehilangan rumah, keluarga, hak untuk merasa aman, bahkan hak untuk berduka dengan layak.
Bagi seorang perempuan Gaza, masa kehamilan adalah medan berbahaya. Melahirkan sering berarti harus menempuh perjalanan panjang di bawah bombardir menuju rumah sakit yang setengah hancur. Kekurangan obat membuat para ibu hanya bisa menyaksikan anak mereka kejang tanpa mampu menolong. Sementara anak-anak perempuan kehilangan hak belajar karena sekolah mereka telah menjadi abu.
Keteguhan yang Tak Pernah Mati
Namun, sebagaimana tanah yang tetap melahirkan bunga meski diinjak-injak, perempuan Gaza tetap menumbuhkan kehidupan. Mereka mendirikan sekolah dari tenda, menyiapkan makanan untuk para pengungsi, membawa obat seadanya untuk tetangga yang sakit, atau sekadar menyanyikan nina bobo di tengah dentuman bom.
Perlawanan perempuan Gaza bukan selalu dengan senjata, melainkan dengan keberlanjutan hidup. Dalam setiap roti yang dipanggang, setiap taman kecil yang disiram, setiap doa yang dipanjatkan, mereka menyatakan satu hal: Kami ada.
Diamnya Dunia: Kejahatan yang Sama
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, lebih dari 16.500 anak dan hampir 9.000 perempuan telah gugur syahid akibat agresi Zionis. Angka ini menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak bukan korban “sampingan,” melainkan target utama. Sering kali, satu keluarga lenyap dalam sekejap tanpa peringatan.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah sunyinya dunia. Di banyak negara, satu kasus kekerasan terhadap perempuan bisa menjadi berita besar. Tapi ketika seorang ibu Gaza kehilangan anak-anaknya, rumahnya, bahkan nyawanya, dunia memilih bungkam.
Diam ini lebih berbahaya daripada rudal, sebab ia menormalisasi kekerasan. Seolah-olah penderitaan ibu-ibu Gaza adalah hal biasa. Padahal, kejahatan ini tidak boleh dianggap normal. Setiap kali kita melewatkan berita tentang rumah yang dihancurkan di Gaza tanpa peduli, setiap kali kita membiarkan gambar seorang ibu menangis berlalu begitu saja, kita ikut serta dalam membungkam suara mereka.
Imam Khamenei pernah mengingatkan: “Upaya dilakukan untuk membuat umat melupakan Palestina. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Pikiran umat jangan dialihkan dari Palestina. Kejahatan rezim Zionis tidak boleh diabaikan. Dunia harus berdiri tegas melawan Zionis dan para pendukungnya.”
Tugas Kita: Jangan Diam
Perlawanan perempuan Gaza adalah jeritan untuk hidup, untuk hak menjadi manusia, untuk masa depan yang layak. Kita tidak boleh membiarkan suara ini hilang. Mereka adalah ibu, dokter, guru, relawan—manusia yang berhak hidup, bukan terkubur dalam puing-puing tanpa nama.
Maka tugas kita jelas: jangan diam. Kita bisa berkontribusi dengan berbagai cara: memboikot produk-produk Zionis, mendukung aksi solidaritas, menulis, berbicara, menyuarakan kebenaran, dan menekan kebijakan pemerintah agar berpihak pada Palestina. Setiap suara, sekecil apa pun, adalah bagian dari perlawanan melawan keheningan yang membunuh.
Perempuan Gaza mungkin dipaksa untuk berlutut oleh bom, tapi hati mereka tidak pernah tunduk. Mereka adalah tiang-tiang yang tidak tumbang di tengah reruntuhan. Mereka menegakkan makna sejati dari sabar, ketabahan, dan iman.
Dan kita, yang membaca kisah mereka hari ini, punya kewajiban untuk memastikan bahwa dunia tidak akan pernah menganggap derita mereka sebagai sesuatu yang wajar. Karena setiap tetes air mata seorang ibu Gaza adalah panggilan bagi kemanusiaan kita.
Sumber: Khamenei.ir