Ibnu Taimiyah menegaskan: Orang-orang yang memuliakan akal, pada hakikatnya memuja berhala yang mereka sebut dengan akal. Akal semata tidak cukup dalam memperoleh petunjuk. Jika tidak demikian, Allah tidak akan mengutus para rasul. (Muwafaqatu Sahih al-Manqul li Sharih al-Maqul, juz 1, hal. 21)
Kontra dengan akal ini diungkapkan oleh guru Syaikh Mutashim, Sayed Ahmad, bahwa di dalam kitab-kitab Hanabilah akan didapati akidah yang kontradiktif atau bertentangan dengan akal. (al-Haqiqah adh-Dhaiah, hal. 362)
Mereka (kaum wahabi) diantarkan oleh taqlid (mengikuti pandangan pendahulu) pada makna-makna zahir dari hadis-hadis (keakidahan) yang lemah seperti riwayat-riwayat dari Kaab al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih. Siapapun yang bertentangan dengan akidah mereka dikafirkan oleh mereka.
Baca: “Tolok Ukur Baik dan Buruk“
Disampaikan oleh penulis asal Sudan: Jika sedemikian sikap orang terhadap hadis-hadis, berarti akidah Islam terbelenggu oleh ribuan hadis buatan dan israiliyat yang diselipkan oleh Yahudi ke dalam akidah Islam. (ibid. hal. 363)
Faktor Menjauhi Akal dan Berpegang pada Salaf
Selain seruan pada cukup dengan Kitabullah saja dan larangan penulisan hadis (pasca wafat Rasulullah saw), terdapat sekelompok orang memanfaatkan kesempatan atau mendapat peluang untuk berbicara (dakwah) kepada umat, seperti Kaab bin Ahbar dan Wahab bin Munabbih. Kesimpulannya bahwa umat Islam menghadapi israiliyat (hadis-hadis keyahudian) dalam jumlah yang besar.
Dari penjelasan Syahrestani bahwa Salaf ahli hadis bertentangan dengan metode pengkajian Mutazilah yang menggunakan akal dalam permasalahan teologis. Karena itu mereka bimbang, apa yang harus diperbuat menghadapi ayat-ayat mutasyabihat (yang samar maknanya) dan hadis-hadis Nabi saw. Ahmad bin Hanbal, Daud bin Ali Isfahani dan para pemuka Salaf dalam permasalahan akidah menggunakan cara para pendahulu yang ahli hadis. Mereka mengatakan: “Kami percaya pada apa yang datang dari Alquran dan Sunnah tanpa kami menakwilnya. (al-Milal wa an-Nihal/Syahrestani, hal. 95-96)
Syaikh Abdul Aziz Izzuddin Sirawan mengungkapkan: Terlihat bahwa faktor mendasar bagi hal berpegangan teguh pada Ahmad bin Hanbal ialah bahwa di zamannya ia melihat bagaimana banyak fitnah, perseteruan dan perdebatan teologis, juga pemikiran asing dan aneka keyakinan serta peradaban, bisa masuk ke dunia pengetahuan Islam. Karena itu ia condong berat pada Salafiyah untuk penyelamatan akidah Islam. (al-Aqidah li al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, hal. 38)
Baca: “Imam Mahdi dalam Referensi Ahlussunnah“
Masuknya kepercayaan-kepercayaan non Islam dan aneka filsafat dari India, Yunani dan Iran ke dunia pengetahuan Islam, menarik orang-orang seperti Ahmad bin Hanbal untuk berfikir menghidupkan Salafiyah, mengikuti paham Salaf dan menjauhi rasionalisme. Mereka terjebak pada tafrith (pengabaian) dalam masalah-masalah rasional, di dalam menghadapi pemikiran yang berlebihan (ifrath).
Kritik atas Pengabaian Nilai Akal
Di bawah ini beberapa kritikan atas pemikiran tafrith yang mengabaikan rasionalitas itu:
1-Pencegahan masuknya budaya asing dan pemikiran yang menyimpang bukanlah dengan mengabaikan akal dan merujuk pada pemahaman yang lain. Tetapi justru untuk permasalahan akidah kita harus memaparkan prinsip-prinsip teologis dan rasionalitas yang benar kepada masyarakat keilmuan, sehingga dalam menghadapi serangan berbagai propaganda asing kita dapat mengokohkan prinsip-prinsip teologis kita dengan argumen-argumen rasional yang kuat. Juga memaparkan akidah yang benar yang ditegaskan oleh ayat-ayat dan riwayat-riwayat, kepada masyarakat. Sebab kita mempunyai keyakinan bahwa (pesan-pesan dari) Allah swt dan Rasul-Nya saw tidak bertentangan dengan akal manusia yang adalah cahaya hidayah. Jika akal sehat dan yang aksiomatis -baik yang teoritis maupun yang praktis- menilai, pastilah itu juga pandangan syariat.
2-Dalam memahami permasalahan mana mungkin dengan hanya berpegangan pada pemahaman Salaf, sementara mereka sendiri tidak mampu menjawab permasalahan.
Baca: “Doa Ismul A’dzam Imam Ali As.“
Sebagai contohnya, disampaikan oleh Utbah bin Muslim: Saya pernah bersama Ibnu Umar dalam waktu tiga-empat bulan lamanya. Banyak masalah yang saya tanyakan kepadanya, beliau menjawab, Saya tidak tahu. (Alam al-Muqiin, juz 4, hal. 218; Sunan Darimi, juz 1, hal. 52)
Selain itu, Alquran memiliki berbagai dimensi. Karena itu, tak dapat dikatakan bahwa Salaf memahami hakikat Alquran. Jika memang benar-benar memahaminya, takkan terjadi perselisihan dalam penafsiran mereka.
Ibnu Umar berpendapat tidak boleh melawan penguasa walaupun ia lalim, tetapi menurut Imam Husein as wajib melawan penguasa lalim.
Ibnu Hizam mengatakan: Tidaklah mungkin Rasulullah saw menyuruh mengikuti apapun yang dikatakan para sahabatnya. Sebab, terdapat permasalahan yang sebagian mereka menghalalkannya dan sebagian lainnya mengharamkannya.(al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz 6, hal. 83)
3-Banyak pendapat mengenai akal, antara lain:
Pendapat (Syiah Imamiyah dan Mutazilah) yang menerima akal menjadi sandaran dalam permasalahan akidah.
Pendapat (ahli hadits) yang menolak bahwa hukum akal sepenuhnya tidaklah bernilai. Karena itu, dalam permasalahan akidah bersandar pada makna-makna zahir Alquran dan Sunnah.
Pendapat (Asyari) yang memilah bahwa dalam sebagian masalah akidah bersandar pada akal, seperti dalam pengukuhan adanya Tuhan dan dalam mengenal sifat-sifat esensial-Nya. Tetapi dalam masalah keadilan, sifat dan perbuatan Tuhan tidak bersandar pada akal, dan menolak baik-buruk rasional.
Referensi:
Syenakhte Salafiha/Ali Ashghar Ridhai
Baca: “Motivasi Iman“