Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Salawat dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Seorang Mukmin

Rasulullah saw pernah bersabda: “Barang siapa yang banyak bersalawat kepadaku, pada hari kiamat Allah akan meringankan timbangannya.

Artinya, saat hari kiamat tiba, tindakan-tindakan manusia akan dinilai berdasarkan kebaikan sejati mereka, bukan dengan ukuran fisik seperti batu atau logam. Standar penilaian adalah kebenaran, sementara amal manusia ditempatkan pada satu sisi timbangan. Mereka yang memiliki amal baik akan mendapatkan keberuntungan, sementara yang kurang akan kehilangan peluang kebahagiaan. Rasulullah saw juga mengajarkan bahwa memperbanyak salawat kepada beliau, terutama di bulan Ramadhan, akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang pada hari kiamat.

Perlu dicatat bahwa salawat tidak meningkatkan keutamaan Nabi saw, melainkan mengungkapkan keagungan beliau dan mendatangkan rahmat Ilahi. Salawat adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Nabi dan mencapai kesempurnaan diri. Selain itu, salawat juga merupakan doa yang kuat untuk memohon kepada Allah.

Mengingat pentingnya salawat, jika kita memasukkan salawat dalam doa kita, pasti Allah akan menerima doa kita. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam doa-doa Imam Sajjad yang kaya akan nilai-nilai pendidikan, kita sering menemukan salawat. Setiap bagian doa Imam Sajjad selalu diawali, diselipkan, dan diakhiri dengan salawat. Karena Allah Swt akan mengabulkan bagian-bagian doa yang mengandung salawat, maka bagian-bagian lainnya juga akan dikabulkan-Nya.

Allah, malaikat-malaikat, dan orang-orang mukmin bersalawat kepada Nabi. Ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan seorang mukmin. Allah Swt berfirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 56: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk mengucapkan: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad.”

Allah juga berfirman dalam ayat 43 dari Surah Al-Ahzab: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang).” Allah Swt dan para malaikat bersalawat untuk membimbing kita dari kegelapan kebodohan menuju cahaya petunjuk.

Seorang mukmin yang mencapai maqam di mana Allah dan malaikat-Nya bersalawat baginya akan dibawa ke alam cahaya dan hidayah. Keistimewaan salawat adalah memberikan cahaya kepada manusia, dan salawat yang diucapkan oleh Allah adalah manifestasi dari sifat-Nya yang memberi cahaya kepada manusia. Orang yang mendapatkan taufik dan cahaya hidayah dari Allah SWT adalah mereka yang sungguh-sungguh bersalawat dengan tulus.

Jika seseorang tidak merasa kegelapan dalam hatinya, itu menunjukkan bahwa para malaikat telah bersalawat untuknya. Namun, jika ia tergoda melakukan perbuatan yang salah, maka salawat para malaikat tidak akan sampai padanya. Namun, jika ia merasakan cahaya Ilahi, maka itu menandakan bahwa salawat para malaikat telah menyertainya.

Allah Swt menyatakan firman-Nya yang khusus untuk Nabi: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk nabi.” Para malaikat berkumpul untuk menghormati dan mengagungkan Nabi. Ketika Allah Swt bershalawat untuk Nabi-Nya, para malaikat juga bersalawat bersamanya.

Sementara itu, dalam ayat yang sama, salawat juga ditujukan kepada orang-orang mukmin: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu).” Allah memberikan salawat kepada orang-orang mukmin, sambil menegaskan bahwa para malaikat juga bersalawat kepada mereka. Meskipun penghormatan Allah Swt terhadap Nabi-Nya melalui salawat tidak dapat dibandingkan dengan yang diberikan kepada orang-orang mukmin, namun salawat tersebut tetap merupakan penuntun dari kegelapan menuju cahaya hidayah.

Salawat kepada Nabi tidak dimaksudkan untuk memberi cahaya, karena Nabi sendiri telah diberikan cahaya oleh Allah Swt, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-An’am ayat 122: “Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.” Salawat kepada orang-orang mukmin, sebaliknya, bertujuan untuk membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya keselamatan.

Kita harus memeriksa diri kita dengan menggunakan standar ini. Apakah kita termasuk dalam cakupan salawat yang disampaikan Allah Swt, dan apakah kita merasakan manfaat dari salawat tersebut sehingga hati kita menjadi terang?

Jika kita menjumpai diri kita berada di bawah bayang-bayang dosa dan syahwat, maka ketahuilah bahwa salawat kita tidak bermakna. Setiap kali kita merasakan bahwa kita telah mendapatkan taufik lantaran ketaatan atau pemenuhan kewajiban syariat—baik berupa hukum maupun adab—maka ketahuilah bahwa pada saat itu kita telah menemukan jalan menuju rahasia ibadah dan telah dianugerahi salawat Allah dan para malaikat-Nya.

Apabila seorang mukmin telah mencapai kedudukan tinggi semacam ini, tempat di mana Allah dan para malaikat-Nya bersalawat kepadanya, maka dirinya akan ditaburi cahaya. Dan ketika cahaya tersebut telah diperolehnya, ia akan mampu melihat jalan kebenaran dan menjelaskannya kepada orang lain. Sebaliknya, jika belum, ia tak akan sanggup mengetahui jalan kebenaran dan tak dapat menunjukkannya pada orang lain.

Imam Ali mengatakan bahwa kilat cahaya yang cepat tidak dapat dilihat oleh orang yang tenggelam dalam kegelapan. Orang yang tenggelam dalam kegelapan, tak akan bisa melihat jalan yang akan dilaluinya. Ia tak akan bisa mencapai tujuannya hanya dengan bantuan cahaya kilat di langit yang hanya bersifat sesaat. Seseorang yang tidak mengenal jalan yang akan dilalui, kemudian melakukan perjalanan di malam hari yang gelap gulita, tidak akan sampai ke tempat tujuan hanya dengan bantuan cahaya kilat yang hanya menerangi secara sesaat. Cahaya tersebut mungkin hanya sempat menerangi satu langkah kakinya saja. Namun segera setelah itu, keadaan malam kembali menjadi gelap gulita.

Keadaan manusia yang mencintai dunia dan disibukkan olehnya, layaknya seorang musafir yang berjalan dalam kegelapan dan kemudian tersesat. Sesungguhnya ia hanya menikmati kehidupan dunia ini barang sebentar saja. Namun ia menyangka dirinya telah memperoleh kebahagiaan dan kesempurnaan. Seperti musafir yang tersesat tadi, ia tak akan bisa sampai pada tujuannya. Orang yang terbenam dalam kegelapan tak akan mampu melihat jalan hidayah, apalagi memberikannya kepada orang lain.

Imam Hasan, di akhir hayat beliau, berkata kepada Ibnu Hanafiah: “Aku akan katakan kepadamu sebuah ucapan yang bisa menghidupkan orang mati, dan tidak pantas engkau tidak mendengarkan ucapan ini?” Kemudian beliau berkata “Jadilah kalian orang yang sadar akan pentingnya ilmu dan sebagai cahaya yang menerangi. Berusahalah agar ruh kalian menyadari pentingnya amal perbuatan. Jadikanlah ilmu ini mampu menembus hati kalian.”

*Disarikan dari buku Rahasia ibadah – Ayatullah Jawadi Amuli

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT