Oleh Dr. Muhsin Labib, MA
Pernah dengar orang-orang yang kerap disesatkan (karena menganut mazhab keislaman Syiah) bersalawat? Yang cukup “piknik” tentu bakal menganggukkan kepala sebagai tanda mengamini fakta ini.
Bila Muslim Syiah berkerumun, lalu salah seorang di antaranya berteriak “salawat!”, sontak akan terdengar sahutan lantang salawat yang bergemuruh. Tak hanya itu, bila menyebut nama Muhammad (saw) di mimbar, penceramah harus memberi jeda setengah menit untuk mendengar koor salawat seluruh hadirin. Malah ada yang diulang sampai tiga kali, terutama usai shalat berjamaah.
Mengapa ujaran salawat begitu dramatis di tengah komunitas Syiah? Apa magnet besar di balik kata salawat bagi mereka? Adakah paradigma besar yang melatari gairah dan gelora ini?
Baca: DIRGAHAYU MUHAMMAD
Secara spiritual, bersalawat ditopang tiga aksioma; kausalitas, afinitas atau kesenyawaan, dan gradualitas.
1. Kausalitas
Hukum kausalitas menetapkan bahwa eksistensi akibat yang merupakan entitas kopulatif adalah kebergantungan eksistensial itu sendiri. Dengan kata lain, ia tidak eksis secara hakiki. Eksistensinya tak lain hanya ke-akibat-annya (effectness) belaka. Karena itulah, selain sebab mandiri yang tunggal, apapun hanyalah akibat kopulatif yang tak mandiri secara eksistensial, tanpa kecuali.
2. Afinitas
Hukum kesenyawaan menetapkan bahwa hubungan antara dua entitas hanya niscaya jika memiliki kesamaan yang menjadi penghubung.
Karena Sebab Tunggal adalah Wujud Sejati dan selainnya hanyalah akibat kopulatif, maka keduanya tak punya kesamaan dalam kualitas wujud. Tuhan dan apapun selainnya mustahil terhubung secara langsung.
Baca: Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Akhlak Nabi Di Masa Kecil (Bag. 1)
Dengan kata lain, berdasarkan hukum kesenyawaan, adanya kesamaan wujud antara Tuhan merupakan keniscayaan.
Namun faktanya, kita dan semua ciptaanNya terhubung denganNya. Alam diciptakan, dan Dia menganjurkan kita menghubungiNya dengan doa dan selainnya.
3. Gradualitas
Hukum gradualitas atau gradasi menetapkan keniscayaan jarak dan relasi antar sebab dan akibat. Bila tak berjarak, maka keduanya tak terbedakan dan tak berlainan. Bila sebab dan akibatnya tak berlainan, maka keduanya adalah satu. Bila satu, Dia bukanlah sebab dan bukanlah akibat. Karenanya, setiap entitas, kendati satu wujud, mestilah berbeda secara kualitatif. Itulah yang meniscayakan jarak atau jenjang dengan intensitas yang berbeda-beda. Karena jarak-jarak itulah, akibat-akibat pun berlainan secara kualitas. Akibat terdekat dengan akibat memiliki kualitas wujud (menurut Sadra) dan cahaya (menurut Suhrawardi) yang lebih besar, bahkan akibat terdekat itulah yang menjadi sebab kedua baginya atau pemancar cahaya baginya, dan begitulah seterusnya dalam rangkaian hirarkis hingga yang paling rendah.
Akibat terdekat yang merupakan sebab kedua itulah yang berposisi sebagai mediator dan konektor.
Karena berposisi sebagai konektor, akibat terdekat atau sebab kedua harus memuat dua sisi yang memungkinkannya berhubungan secara bersamaan dengan sebab, juga dengan akibat, di bawahnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Konektor haruslah sesuatu yang berbeda dengan dua entitas yang dihubungkannya. Andai sama, ia bukan konektor. Karena bukan konektor, ia juga memerlukan konektor.
2. Konektor pastilah bukan Tuhan. Andai dia Tuhan, maka dialah Tuhan. Andai dia Tuhan, maka dia, berdasarkan hukum afinitas, tak berkoneksi dengan selain dirinya. Karenanya, ia adalah makhluk dan akibat.
3. Konektor haruslah entitas yang memiliki karakteristik berbeda dengan yang mutlak dan yang nisbi. Dengan kata lain, ia makhluk dengan kualitas eksistensi tertinggi karena dia menjadi akibat pertama dan sebab kedua bagi entitas setelahnya.
4. Konektor itu adalah manusia. Ini mengingat manusia merupakan akibat paling sempurna dan menghimpun semua elemen makhluk. Ia adalah prototipe manusia. Andai bukan manusia, ia tidak dapat menjadi konektor. Sebab, konektor haruslah lebih sempurna secara eksistensial dari yang memerlukannya, yaitu manusia.
5. Konektor itu haruslah manusia sempurna. Bila bukan manusia sempurna, ia tidak dapat menjadi konektor bagi manusia yang sederajat dengannya, yang juga tak sempurna. Karena insan sempurna, ia punya sesuatu yang tak dimiliki insan-insan tak sempurna. Andai memiliki sesuatu yang juga dimiliki insan-insan tak sempurna, ia tak sempurna.
Karena menjadi insan paling sempurna, maka ia makhluk paling sempurna. Karena makhluk paling sempurna, ia satu-satunya konektor Yang Mahapurna. Karena ia konektor, Yang Mahapurna mengkoneksikan wujudNya dengannya. Karena berkoneksi dengan Yang Mahasempurna, ia senyawa secara eksiatensial denganNya.
Baca: Benarkah Peringatan Maulid Nabi saw itu Bid’ah dan Tidak ada Dalilnya?
Karena Yang Mahasuci dan makhluk abstrak berkoneksi (يصلون) dengan konektor, manusia-manusia tak sempurna lainnya berkoneksi denganNya melalui dia.
6. Manusia umum masing-masing berbeda level eksistensi. Makin tinggi level eksistensimya, makin besar pula arus koneksinya dalam rute gerak transenden.
Insan-insan sempurna yang dekat dengannya adalah konektor bagi yang di bawahnya, begitu seterusnya. Iman adalah eksistensi gradual yang terus melambung.
Karena suci, konektor hanya berkoneksi dengan yang suci di bawahnya, begitu seterusnya secara gradual.
7. Hanya manusia beriman yang diizinkan berkoneksi dengannya.
Iman adalah citra kesempurnaan eksistensial yang bertingkat-tingkat. Setiap insan berpeluang mengalami perfeksi gradual dan relatif.
8. Setelah terkoneksi, para akibat berserah pada konektor yang menjadi akibat pendahulu, lalu disusul jejiwa suci dibawahnya dalam gradasi wujud.
9. Shalawat terhadap insan sempurna dan insan-insan sempurna di bawahnya bukan sekadar bunyi-bunyian yang menguap begitu saja, melainkan sebuah deklarasi atas konektivitas eksistensial.
10. Insan sempurna adalah manifestasi dan ekspresi dari sifat dan asmaNya, seperti aziz, ra’uf, rahim, dan lainnya. Ia bersanding denganNya, selalu dan selamanya, “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah : 128).