Apa maksud Tuhan menciptakan manusia? Soal ini hanya Islam dan mungkin agama samawi lainnya yang bisa menjawabnya. Ialah penghambaan (ubudiyah) manusia kepada-Nya. Manusia adalah hamba mutlak-Nya. Jika demikian keseluruhan dirinya dalam wujud dan amalnya, ia akan mencapai derajat yang tinggi ini di sisi-Nya, dan menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Posisi inilah yang diserukan nabi Muhammad saw dan seluruh nabi di tengah umat manusia.
Almarhum Allamah Tehrani mengungkapkan: “Jika kita amalkan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw serta Ahlulbaitnya as dengan benar tanpa kurang dan lebih (ifrath-tafrith) dari kita, dan bergerak di jalan penghambaan kepada Allah, niscaya kita akan sampai di tingkat itu.”
Beliau menjelaskan: Sebab posisi tersebut tidak dicapai oleh orang-orang walau sudah berumur 60 sampai 80 tahun, adalah mereka tidak mengamalkan itu. Mereka berilmu, mengerti Alquran dan Sunnah, tetapi ilmu mereka digunakan untuk memperoleh atau karena cinta urusan-urusan duniawi; harta, jabatan dan kekuasaan. Ilmu-ilmu yang diperoleh dari Alquran dan hadis serta hikmah digunakan untuk meraih kekayaan dunia, dan kekayaan dunia pun tampil dalam rupa demikian di mata manusia. Adalah faedah yang amat kecil dengan modal yang amat besar baginya.
Di dalam QS: an-Najm 29-30, Allah berfirman:
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنا وَلَمْ يُرِدْ إِلاَّ الْحَياةَ الدُّنْيا ذٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ …
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari mengingat Kami dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka…
Kehidupan Dunia dan Kehidupan Ulyâ
Orang-orang seperti itu (dalam ayat tersebut) tidak membawa manfaat, karena kehidupan dunia yang mereka harapkan. Disebut dunia artinya hina. Sedangkan kehidupan ulyâ (yang tinggi) adalah kehidupan ilmu, ketakwaan, penghambaan, solidaritas, kasih sayang, menempuh jalan Allah dan sebagainya. Kehidupan dalam melawan dan menjatuhkan kemauan-kemauan nafsu ammarah adalah kehidupan ulyâ.
Allamah Tehrani menjelaskan: Bukanlah sesuatu sekiranya kita mengamalkan apa yang tiada di dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah serta Ahlulbaitnya.. Orang yang melangkah jauh dari kehidupan ulyâ tersebut, adalah kesalahan.
Syiah Imamiyah meyakini bahwa pendidik teragung umat manusia adalah Rasulullah saw lalu Para imam Ahlulbaitnya as. Allamah mengatakan: Apa yang sampai kepada kita dari Alquran dan pesan-pesan mereka, menjadikannya sebagai jalan dan Sunnah bagi kita sangatlah baik. Tetapi jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang paling tinggi, penuh cahaya dan teraman serta yang lurus menuju tujuan itu. (Ingatlah atau ketahuilah bahwa) Jalan yang lurus cuma satu. Antara dua titik takkan dapat ditarik lebih dari satu garis yang lurus.
Dengan kesadaran akan hal itu, Allamah mengisyaratkan bahwa: Awal langkah yang harus dilakukan di jalan ini ialah tengok diri kita.. Dalam menjalani kehidupan ini; dari waktu pagi, bangun tidur lalu beraktifitas hingga datang waktu malam dan kembali ke tempat tidur. Demikian berulang-ulang, mengisi hari demi hari, melewati waktu demi waktu. Beliau bertanya, Untuk apakah semua itu? Apa tujuan dari semua itu? Berapa lama waktu yang telah dilewati dan apa yang telah didapat dari waktu yang sudah lalu?”
Dengan Bekal Menuju Tujuan
Waktu sehari (24 jam) yang dimiliki seseorang tak lepas dari perputaran matahari dan bulan, aktifitas gunung dan lainnya. Segenap maujud di alam ini, pohon, binatang dan lainnya saling berhubungan. Secara keseluruhan membentuk satu eksistensi, dan membawa efek dalam kehidupan waktu satu hari bagi manusia. Artinya, sekiranya satu hari kehidupan dalam rangkaian sebab-akibat itu terangkat, maka segala yang ada niscaya hancur dan musnah.
Ternyata keberadaan semua itu adalah karena satu hari, yang akan dilalui manusia, untuk mengangkat hijab-hijab kelalaian dari pandangannya, dan untuk mengenal Sang Pencipta, mengetahui jalan dan tujuan, mabda dan maad dirinya. Jika demikian, pencapaian ini membawa ketenangan, kebahagiaan hati, kecerahan dan semangat yang optimal. Bagai orang yang lulus di waktu ujian dan menerima penghargaan atas prestasi yang dicapai. Namun tidak akan demikian jika dia menjadi lalai.
Di jalan Tuhan, penghambaan dan kehidupan ulya ini, pertama yang harus disadari ialah bahwa kita di dunia ini sebagai musafir dan mempunyai tujuan. Kemusafiran ini adalah diri kita, dan tujuannya adalah Allah swt. Jalan yang dilewatinya bukanlah jalan raya ataupun puncak gunung. Sedangkan hal melewati adalah sifat diri kita. Sifatnya itu harus diubah, dari negatif menjadi positif, yang buruk berganti yang baik.
Hari demi hari adalah untuk meraih cahaya dan pencapaian, yang mengantarkan diri kita dari keterikatan dan keterbatasan serta ketergantungan alam materi, menuju alam cahaya immaterial. Inilah gerakan dalam jiwa.
Seorang musafir harus berbekal dan berkendara. Bekalnya adalah tawakal dan kendaraannya adalah memohon pertolongan kepada Allah dan mengamalkan Alquran dan Sunnah. Semua ini merupakan bekal yang harus ada di tangan dan berangkat menuju tujuan.
Referensi:
Ayine Ratsgari/Allamah Muhammad Husein Tehrani