Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari seluruh penjuru dunia menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam suci Rasulullah SAW dan Ahlulbait. Para peziarah ini adalah orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Al-Qur’an Al-Karim:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Menunaikan haji bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan semata-mata untuk mengharap rida Allah. Karena kewajiban ini berasal dari Allah dan merupakan milik Allah, pelaksanaannya harus dilakukan dengan ikhlas dan tulus hanya untuk Allah.
Melaksanakan ibadah haji bukan hanya tentang perjalanan fisik ke Mekah. Jika tujuan perjalanan tersebut hanya untuk berwisata, berdagang, atau tujuan duniawi lainnya, maka perjalanan tersebut kehilangan esensinya. Haji adalah perjalanan spiritual menuju Allah. Firman Allah dalam QS. Ali Imran: 97 menegaskan hal ini: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”
Para Imam Maksum meriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa ada tanda-tanda yang menunjukkan diterimanya amal ibadah haji seseorang. Rasulullah Saw bersabda bahwa jika seseorang setelah menunaikan haji menjadi orang yang lebih saleh, meninggalkan maksiat, dan menjauhkan diri dari dosa, maka itu adalah tanda bahwa hajinya diterima oleh Allah SWT. Sebaliknya, jika seseorang tetap melakukan dosa setelah kembali dari Baitullah, itu menunjukkan bahwa hajinya ditolak.
Rahasia dari ibadah haji dan amal ibadah lainnya akan terungkap di hari akhirat. Pada hari itu, setiap manusia akan melihat apakah amal perbuatannya diterima atau ditolak. Firman Allah dalam QS. Al-Thariq: 9 menyatakan: “Pada hari dinampakkan segala rahasia.”
Di hari kiamat, bentuk penerimaan dan penolakan amal perbuatan akan terlihat jelas, begitu pula rahasia penerimaan dan penolakan tersebut. Mereka yang mencapai tingkatan iman tinggi di dunia mungkin dapat memahami penerimaan atau penolakan amal mereka seperti di hari akhirat.
Hadis Rasulullah Saw mengajarkan bahwa jika seseorang ingin mengetahui apakah hajinya diterima, dia harus melihat perubahan dalam dirinya setelah kembali dari Baitullah. Jika dia berhenti dari perbuatan maksiat, itu adalah tanda penerimaan. Jika tidak, maka hajinya ditolak. Pengertian ini juga dapat diterapkan dalam ibadah-ibadah lainnya. Misalnya, dalam salat, Allah berfirman:
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Salat dan haji memiliki hakikat yang menghalangi pelakunya dari perbuatan menyimpang. Salat, bagi pelaksananya, menyeimbangkan dorongan, keinginan, kecenderungan, semangat, dan tekad, sehingga menjadikan seseorang berkeinginan melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kejahatan. Hakikat salat adalah sesuatu yang menciptakan kecenderungan pada kemuliaan dan kecintaan akan sifat-sifat utama. Pengertian ini juga berlaku untuk ibadah haji. Ruh haji mendorong pelakunya untuk melakukan kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar.
Kisah Abu Bashir dan Imam Muhammad al-Baqir as
Abu Bashir, seorang yang buta, berkisah tentang perjalanannya haji ke Mekah di mana Imam Muhammad al-Baqir juga hadir. Melalui tanda-tanda tertentu, Abu Bashir merasakan banyaknya peziarah. Namun, Imam Muhammad al-Baqir menyatakan bahwa kenyataannya tidak seperti yang dilihat. Beliau mengusap mata Abu Bashir, dan tiba-tiba Abu Bashir melihat padang pasir luas dengan binatang-binatang di atasnya. Imam Muhammad al-Baqir kemudian berkata, “Betapa sedikit orang yang berhaji dan betapa banyak suara teriakan.”
Melaksanakan ibadah haji lebih dari sekadar ritual; ia adalah perjalanan spiritual menuju Allah. Hakikat haji dan ibadah lainnya adalah mencegah kemungkaran dan mendorong kebaikan, dengan tanda-tanda penerimaan yang dapat dilihat dalam perubahan perilaku setelah pelaksanaannya. Kisah-kisah seperti yang dialami Abu Bashir mengingatkan kita untuk selalu mencari hakikat di balik setiap ibadah dan merenungkan makna sejatinya.
*Disarikan dari buku Hikmah dan Makna Haji – Ayatullah Jawadi Amuli