Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

YANG KECIL MESTI TENANG DAN LENTUR

Oleh: Ustadz Muhsin Labib, Ketua Komisi Bimbingan Dewan Syura ABI

Sebagai komunitas yang selalu diabaikan oleh elit politik usai kompetisi, sebaiknya mengambil pelajaran dari pengalaman untuk tak ikut dalam polemik seputar isu-isu yang abu-abu.

Mengapa? Karena energi dan sumber daya mereka bisa terkuras untuk isu yang sebenarnya tidak secara langsung membantu perjuangan mereka meraih hak-hak dasar. Alih-alih fokus pada masalah utama seperti ketidakadilan ekonomi atau diskriminasi, mereka justru terseret dalam perdebatan yang tidak berujung.

Lebih jauh lagi, isu-isu abu-abu semacam ini sering kali dimanfaatkan oleh kelompok yang lebih berkuasa. Mereka menggunakan polemik ini sebagai alat untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah yang lebih substansial, yang mungkin justru merugikan posisi mereka. Sementara perhatian masyarakat terfokus pada isu yang tidak jelas, masalah-masalah mendasar yang dihadapi kelompok minoritas menjadi terlupakan.

Risiko lain yang dihadapi kelompok minoritas ketika terlibat dalam isu-isu ambigu adalah potensi stigmatisasi. Mereka bisa dengan mudah dicap sebagai pihak yang provokatif atau suka membuat masalah jika ikut serta dalam perdebatan yang tidak jelas arahnya. Label negatif ini tentu saja dapat merusak citra dan perjuangan mereka secara keseluruhan.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa polemik seperti kasus ijazah palsu sering kali hanyalah taktik politik untuk menjatuhkan lawan. Isu ini jarang menyentuh akar permasalahan yang lebih dalam, seperti sistem pendidikan yang tidak adil atau praktik korupsi yang meluas. Kelompok minoritas yang ikut dalam perdebatan semacam ini justru terjebak dalam narasi yang tidak menguntungkan, sementara kelompok elit yang lebih kuat tetap memegang kendali.

Lalu, bagaimana seharusnya kelompok minoritas bertindak? Strategi yang lebih efektif adalah dengan memusatkan perhatian pada isu-isu yang benar-benar penting bagi kehidupan mereka, seperti keadilan ekonomi, akses pendidikan yang setara, perlindungan hukum, dan representasi politik yang adil. Daripada ikut dalam perdebatan soal ijazah palsu, misalnya, mereka bisa lebih fokus menyoroti kebijakan pendidikan yang diskriminatif.

Membangun aliansi dengan kelompok lain yang memiliki visi yang sama, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, atau kelompok progresif, juga sangat penting. Namun, kehati-hatian diperlukan agar tidak bersekutu dengan kelompok yang mungkin memiliki agenda tersembunyi untuk memanfaatkan isu demi kepentingan mereka sendiri.

Pendekatan advokasi yang didasarkan pada bukti konkret juga lebih efektif. Kelompok minoritas perlu mengumpulkan data dan fakta tentang ketidakadilan sistemik yang mereka alami, lalu mengajukan solusi kebijakan yang terukur. Misalnya, melaporkan kasus ijazah palsu bukan hanya sebagai perseteruan individu, tetapi sebagai indikasi adanya korupsi yang lebih luas dalam sistem.

Penting juga untuk menghindari jebakan “perang budaya” (culture war). Isu-isu abu-abu seperti ijazah palsu sering kali digunakan untuk memicu polarisasi dan mengaburkan akar masalah yang sebenarnya. Oleh karena itu, kelompok minoritas sebaiknya bersikap netral dalam retorika, tetapi tetap kritis terhadap substansi permasalahan.

Meningkatkan pemahaman politik di dalam komunitas minoritas juga krusial. Anggota komunitas perlu diedukasi tentang taktik “pecah belah dan kuasai” yang sering digunakan oleh elit politik, serta cara mengidentifikasi isu-isu yang relevan dan mana yang hanya merupakan pengalihan perhatian. Selain itu, memanfaatkan jalur-jalur institusional seperti mekanisme hukum dan politik formal dapat menjadi cara yang efektif untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Mengapa menghindari polemik yang tidak jelas itu penting?  Pertama, karena elit politik cenderung tidak akan terlalu terpengaruh oleh skandal semacam itu. Mereka memiliki sumber daya dan jaringan yang kuat untuk bertahan, sementara kelompok minoritas justru bisa kehilangan momentum perjuangan. Kedua, masyarakat umum sering kali lebih mudah terpancing oleh isu-isu sensasional, tetapi cepat melupakan akar masalah yang lebih dalam. Ketiga, polemik yang tidak jelas berpotensi memecah belah solidaritas di dalam kelompok minoritas itu sendiri.

Belajar dari gerakan sosial yang sukses, seperti Black Lives Matter di Amerika Serikat yang fokus pada isu kekerasan polisi dan rasisme sistemik, menunjukkan bahwa fokus pada isu substansial dan menghindari terjebak dalam polemik politik partisan atau media bisa lebih efektif.

Kesimpulannya, kelompok minoritas perlu belajar dari pengalaman bahwa berdebat di arena yang sudah ditentukan oleh lawan sering kali merugikan. Elit politik sering kali sengaja menciptakan isu-isu abu-abu untuk mengalihkan perhatian dari ketidakadilan struktural.

Dengan memfokuskan diri pada agenda perubahan yang nyata, membangun kekuatan kolektif, dan menggunakan mekanisme advokasi yang tepat, kelompok minoritas dapat memperjuangkan perubahan tanpa terjebak dalam permainan politik yang tidak menguntungkan. Intinya adalah, kelompok minoritas perlu cerdas dalam memilih medan pertempuran dan fokus pada isu-isu yang benar-benar membawa perubahan positif bagi kehidupan mereka.

Di atas semua pertimbangan logis di atas, sebagai kelompok yang meletakkan otoritas dan  kompetensi sebagai asas keyakinan, setiap individu mestinya mempertimbangkan dan merujuk kepada pandangan dan sikap individu-individu tertentu  yang dipandang memikul tanggung jawab moral dan intelektual lebih besar mengayomi komunitas dan merujuk kepada organisasi kemasyarakatan yang didirikan sebagai lembaga formal demi memberdayakan komunitas anggotanya dan melindungi hak konstitusionalnya sebagai bagian integral bangsa besar yang sedang menjadi target konspirasi jahat di luar sana.

“Jadilah anak sapi di tengah kecamuk konflik yang  punggungnya terlalu lemah untuk ditunggangi dan payudaranya terlalu  kecil untuk diperah’.” Imam Ali as

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT