TANYA:
Bagaimana hukumnya golput dalam pemilu?
JAWAB:
Pertama-tama, mari kita lihat jawaban Ayatullah Al-Uzhma Ali Khamenei saat menjawab pertanyaan fatwa (istifta) terkait dengan masalah ini.
Pertanyaan Fatwa: Bagaimana hukumnya berpartisipasi atau bersikap golput dalam berbagai pemilu bagi orang-orang (Syiah) yang menjadi warga negara di negara-negara lain; baik itu negara Muslim ataupun non-Muslim?
Jawab: Jika sebuah pemilu dilaksanakan demi tegaknya sebuah pemerintahan yang memang diperlukan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan di tengah-tengah masyarakat negara tersebut, maka berpartisipasi dalam pemilu hukumnya wajib. Demikian juga, jika sikap golput malah akan melemahkan Islam dan kaum Muslimin, maka wajib hukumnya untuk memilih.
Penjelasan Fatwa
Dari fatwa tersebut, bisa disimpulkan:
1. Berpartisipasi dalam kegiatan pemilu adalah hal yang sangat ditekankan, karena secara teoretis, event pemilu dipandang sebagai salah satu upaya untuk memperkuat sistem kenegaraan, dan diharapkan akan mencegah terjadinya kerusakan. Sistem demokrasi yang adil dan transparan tentu saja lebih baik daripada sistem diktatorisme dan tiranisme. Prinsipnya adalah: Dalam mazhab Ahlul Bait, mencegah kerusakan (munculnya diktatorisme dan tiranisme) hukumnya wajib.
2. Akan tetapi, karena sistem demokrasi dan penyelenggaraan pemilu seringkali berbeda-beda di masing-masing negara, maka haram atau tidaknya sikap golput dalam pemilu akan bergantung kepada sistem demokrasi yang berlangsung. Jika sistemnya sudah relatif jujur, adil, dan transparan, maka sistem tersebut harus didukung. Dengan demikian, haram hukumnya bersikap golput. Hanya saja, kalau sistem demokrasi itu hanya menjadi kamuflase dalam rangka menutupi sistem yang bobrok, sikap golput menjadi hal yang boleh, bahkan bisa jadi wajib (bergantung kepada sejauh mana tingkat kebobrokannya).
3. Untuk kasus pemilu di Indonesia, hukum boleh atau tidaknya golput pada akhirnya akan dikembalikan kepada masing-masing individu; bergantung kepada apa yang ia fahami dari sistem demokrasi yang sedang digelar. Jika dalam pandangan orang tersebut, sistem yang ada sudah relatif jujur, adil, dan transparan; bukan merupakan kamuflase, maka bersikap golput hukumnya haram. Jika yang ia yakini adalah hal yang sebaliknya, hukum bersikap golput adalah boleh, bahkan bisa jadi wajib.
4. Dalam madzhab Ahlul Bait, berlaku prinsip yang sangat penting, yaitu bahwa “penentuan subjek hukum berada di tangan masing-masing individu”. Dengan prinsip ini, mungkin saja terjadi di mana para pengikut Ahlul Bait di Indonesia akan memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait dengan sistem demokrasi yang sedang berlangsung di negara kita. Akibatnya, ada dua sikap yang muncul: ada yang mengharamkan golput, dan ada yang membolehkannya (bahkan bisa jadi mengharuskannya). Masing-masing pendapat itu dibenarkan, sepanjang masing2 pendapat tersebut betul-betul didasarkan kepada kejujuran dan objektivitas yang bersangkutan dalam melihat fakta yang ada.
5. Hal yang sama juga berlaku kepada perbedaan pendapat dalam memilih partai atau memilih capres/cawapres. Masing-masing orang punya hak memilih partai atau capres/cawapres manapun; pilihan yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Yang salah adalah sikap saling mengecam dan menyerang atas pilihan yang berbeda.[*]
Baca: “Agama dan Pemerintahan“