Bulan Ramadan selalu dikaitkan dengan makanan. Kita selalu disibukkan untuk memilih menu berbuka dan sahur sehari-hari, di saat orang lain tak punya makanan untuk berbuka atau sahur karena kehilangan pekerjaannya akibat terdampak wabah Covid-19.
Padahal esensi puasa itu menahan diri dari keinginan dan memupuk kecenderungan peduli terhadap yang tak berpunya. Terlebih pada masa wabah dan krisis ekonomi ini, puasa sepatutnya melatih diri kita lebih peka terhadap orang lain.
Al-Quran memberikan tuntunan kepada kaum Mukminin dalam surah al-Mukminun agar melatih amal saleh itu dimulai dengan makanan yang baik. Allah Swt berfirman,
يٰۤـاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوۡا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعۡمَلُوْا صَالِحًـا ؕ اِنِّىۡ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ عَلِيۡمٌ
Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mukminūn [23]: 51)
Ayat ini menyingkap perbedaan antara para rasul -sebagai teladan bagi manusia- dan manusia biasa sebagai sosok yang memerlukan makanan, minuman, tidur dan beristirahat.
Baca: Fikih Quest 102: Makanan Impor dari Negara Asing (Non-Islam)
Di saat manusia biasa menyibukkan diri mereka untuk memuaskan hasrat tanpa mengenal baik dan buruk bahkan menjadikan makan dan minum sebagai puncak tujuan mereka, para rasul dituntut untuk menyucikan jiwa mereka dengan memilih makanan yang baik dan amal-amal bajik.
Dua ungkapan “makanlah yang baik dan beramallah yang bajik” merupakan relasi yang jelas: aneka jenis makanan dapat memengaruhi jiwa, akal dan perilaku manusia.
Sejumlah riwayat juga menyinggung terkait makanan yang haram menjadi penghalang terkabulnya doa.
Baca: Berkah Makanan Sayyidah Khadijah a.s.
Rasulullah Saw diminta petunjuk agar doa seseorang dikabulkan. Rasulullah Saw bersabda kepadanya, “Sucikanlah makananmu dan jangan sampai ada sesuatu yang haram masuk ke dalam perutmu.”(1)
Sementara ayat di atas ditutup dengan sangat sempurna,
اِنِّىۡ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ عَلِيۡمٌ
Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ini merupakan petunjuk bagi manusia yang meneladani rasul bahwa seorang insan saat menyadari kehadiran-Nya dan senantiasa mengawasi gerak-geriknya, ia akan terdorong untuk memakan yang baik dan berbuat bajik.
Seorang insan yang memiliki kesadaran bahwa tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan Allah atas hamba-hamba-Nya, akan memacunya untuk berbuat hal-hal yang terbaik karena hal itu kelak akan diperhitungkan di hadapan Allah.
Baca: Antara Ulama dan Raja, Penguasa dan Hamba Saleh
Lebih dari itu, ayat ini akan membangkitkan kesadaran dalam jiwa seorang insan pentingnya mensyukuri pelbagai kenikmatan dari Allah berupa amal yang bajik.
Ayat ini juga senada dengan ayat lain,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (Q.S. al-Baqarah [2]: 172)
Dengan demikian, ayat ini membawa pengaruh sebagai berikut:
1. Makanan yang baik (dan halal tentunya) mewariskan kejernihan hati.
2. Syukur kepada Allah atas karunia dan rahmat yang dianugerahkan kepada insan.
3. Kesadaran atas pengawasan Allah Swt terhadap seluruh amal.
Salah satu keutamaan yang diraih manusia atas makhluk lainnya ialah bahwa Allah Swt memberi karunia berupa:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S. al-Isrā’ [17]: 70)
Sebagai penutup, sabda Rasulullah Saw, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidaklah menerima kecuali yang baik.”
(1) Wasāil as-Syī’ah, j. 4, h. 67
Rujukan:
1. Tafsīr al-Qurthubiy, j. 6, h. 4519
2. Al-Amtsal fī Tafsīr Kitābillāh al-Munzal, j. 10, h. 462