“Tampaknya aku dipanggil dan aku akan memenuhinya. Sesungguhnya aku tinggalkan kalian dua pusaka; salah satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitabullah; dan ‘Itrahku. Perhatikanlah sikap kalian sepeninggalku pada keduanya. Sebab keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya bertemu dengaku di telaga.”
Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Junjunganku, dan aku junjungan setiap Mukmin.” Lalu beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda, “Sesiapa menjadikanku junjungannya, inilah Ali junjungannya pula. Ya Allah tolonglah orang yang menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
An-Nasai, Sunan al-Kubra, hadis 8410. Bandingkan pula dengan Sahih Muslim, hadis 2408.
Mutawatirnya Hadis al-Ghadir
Mas’ud as-Sijistani (w. 477 H) menyebutkan 120 sahabat periwayat hadis al-Ghadir.
Hadis al-Ghadir bersifat mutawatir dalam buku-buku lintas mazhab Islam. Yang mengingkari mutawatirnya hadis ini hanyalah seorang penyangkal dan pembangkang.
Apakah hadis mutawatir itu?
Suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok periwayat yang mustahil bersepakat dalam kedustaan.
Pernyataan Ulama Ahlussunnah tentang Mutawatirnya Hadis al-Ghadir
Ibnu Hajar al-‘Asqalani as-Syafi’i (773/1372 – 852/1449)
“Dirilis oleh at-Turmudzi dan an-Nasai dengan sejumlah jalur yang sangat banyak.”
Ad-Dzahabi (673/1274 – 748/1348)
“Hadis ini dirilis secara mutawatir yang saya yakini Rasulullah menyatakannya. Adapun frase, “Ya Allah tolonglah yang menolongnya” merupakan tambahan.
Ibnu Hajar al-Haitami (973/1504-909/1566)
“Jalur hadis ini banyak sekali dan tiada seorang pun yang menolak kesahihannya.”
Indikator Hadis al-Ghadir pada Imamah
1. Turunnya ayat Tabligh (Q.S. al-Maidah [5]: 67) menurut para mufasir mazhab Sunnah dan Syiah terjadi usai haji wada’ yang mendorong peristiwa Ghadir. Dari tafsir ayat tablig ini mengindikasikan peristiwa Ghadir sebagai penyampaian risalah ini.
Allamah Amini menyebutkan 16 hadis dalam 16 tulisan ulama Ahlussunnah bahwa turunnya ayat Ikmal (Q.S. al-Maidah [5]: 5) terkait dengan Imam Ali. Ayat ini turun setelah ayat Tabligh dan peristiwa Ghadir sebagai indikator yang menguatkan ayat Tabligh di atas.
2. Nabi Saw menyetarakan ketaatan kepada Ali dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya melalui sabdanya, “Sesungguhnya Allah Junjunganku, dan aku junjungan setiap Mukmin.”
3. Ungkapan “Sesungguhnya Allah Junjunganku, dan aku junjungan setiap Mukmin,” mengindikasikan bahwa kata mawla (junjungan) bukan sekadar bermakna kecintaan atau pembelaan tetapi kepemimpinan.
4. Ekspresi Nabi Saw saat mendeklarasikan dirinya dan hendak berpesan kepada kaum Muslimin, tidaklah sesuai dengan makna kecintaan atau sekadar pembelaan terhadap Imam Ali.
5. Imam Ali a.s. berargumen tentang hak khalifahnya dengan hadis al-Ghadir pada sejumlah riwayat, seperti hari Munasyadah.
Baca: Kisah Perjalanan ke Ghadir