Husein Alkaff
Media internasional dan regional Timur Tengah sejak hampir satu dekade, tepatnya sejak tahun 2011, hingga saat ini terus menerus menghidangkan berita tentang perang di kawasan Timur Tengah.
Perang itu dimulai dari demonstrasi di beberapa negara Arab, seperti Tunisia dan Mesir. Demontrasi di dua negara ini berhasil menjatuhkan dua rezim yang dikenal lalim dan diktator; Zainal Abidin bin Ali dan Husni Mubarak. Kejadian itu kemudian hari dikenal dengan sebutan Rabi’ ‘Arabi atau The Arab Spring.
Semangat untuk menjatuhkan pemerintahan yang diyakini lalim dan diktator dan juga karena keinginan untuk merubah kondisi ekonomi itu merambat ke Suria, Yaman dan Libiya. Namun, demonstrasi di tiga negara ini berbeda jauh dengan demonstrasi yang terjadi di Tunisia dan Mesir. Demontrasi di tiga negara ini menyebabkan perang yang berkepanjangan, merenggut ribuan nyawa, memakan ratusan ribu korban luka-luka dan mengakitbatkan terjadinya gelombang pengungsian dalam jumlah yang banyak sekali serta merusak puluhan infrastruktur. Keinginan berubah seringkali berjalan tidak mulus dan tidak berhasil.
Yang menarik bahwa keinginan dan upaya rakyat untuk merubah pemerintahan dan kondisi ekonomi di Suria dan Yaman tidak hanya melibatkan elemen masyarakat dalam negeri saja, tetapi melibatkan negara-negara luar juga. Hal itu, karena perubahan yang akan terjadi di dua negara itu akan berpengaruh bagi negara-negara yang bersangkutan.
Misalnya Suria, terlepas dari penilaian apakah Presiden Basyar Asad seorang penguasa yang lalim atau tidak ?, kejatuhan Basyar Asad akan mempengaruhi peta politik regional dan dunia Islam dalam hubungannya dengan Israel dan Lebanon.
Basyar Asad, bagaimanapun juga, bisa dikatakan sebagai satu-satunya pemimpin Arab yang masih konsisten membela hak-hak rakyat Palestina dan menolak melakukan normalisasi dengan Israel, dan itu bukan sekedar karena dataran tinggi Golan masih dijajah oleh Israel saja, serta dukungannga terhadap Hezbollah di Lebanon.
Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh Dunia Internasional yang dipimpin Amerika untuk merayu bahkan menekan Basyar Asad agar berdamai dengan Israel dan agar tidak mendukung Hezbullah. Upaya-upaya itu mengalami kegagalan.
Baca: Lima Pertanyaan Penting Seputar Palestina
Bertepatan dengan itu, gelombang demonstrasi di Tunisia dan Mesir berdampak kepada kelompok oposisi di Suria, lalu mereka melakukan demonstrasi di beberapa kota di Suria. Terlepas apakah demonstrasi di Suria sejak semula sebuah konspirasi global ataukah murni kehendak mereka, demonstrasi ini telah dimanfaatkan oleh Amerika dan para sekutunya di kawasan Timur Tengah melalui dukungan mereka kepada kelompok oposisi. Pada perkembangan berikutnya, demonstrasi di Suria berubah menjadi perlawanan bersenjata dan melibatkan banyak pihak sehingga terjadi pertempuran antara pemerintah dengan para oposisi beserta para pendukung mereka.
Konflik berdarah-berdarah di Suria ini tidak hanya antara pemerintah dengan kelompok-kelompok oposisi saja, baik yang bersenjatan seperti, FSA (Free Syrian Army) maupun yang tidak bersenjata, namun banyak negara dan lembaga non pemerintahan yang terlibat dalam konflik di Suria. Secara garis besar ada dua kekuatan luar yang terlibat secara fisik di Suria.
Pertama, kekuatan yang mendukung Basyar Asad karena pertimbagan posisinya yang strategis dalam melawan Israel dan Amerika. Kekuatan ini diwakili oleh Iran dan Hizbullah Lebanon, dan sampai batas tertentu Rusia membantu Basyar Asad karena pertimbangan eksistensinya yang ingin hadir sebagai pesaing Amerika Serikat.
Kedua, kekuatan yang mendukung kelompok oposisi dengan pertimbangan Basyar Asad adalah pemimpin yang mengganjal peta perjalanan menuju Timur Tengah Baru (The New Middle East).
Kekuatan kedua ini mendapatkan dukungan politik, logistik dan persenjataan dalam skala besar dari Amerika, Israel, Turki, Qatar dan Arab Saudi. Lebih dari itu, negara-negara ini menarik kelompok-kelompok jihadis yang mempunyai jaringan global ke dalam konflik di Suria dengan membawa isu sektarian dan agenda khilafah Islamiyah, seperti ISIS, Front Nushrah, HTI dan lainnya.
Baca: Perdamaian dengan Zionis Bertentangan dengan Agama dan Kemanusiaan
Konflik di Suria berubah menjadi perang antara dua kekuatan; Iran dan Hizbullah pada sisi, dan Amerika, Israel, Turki, Qatar, Arab Saudi dan kelompok-kelompok jihadis pada sisi yang lain. Perang yang berlangsung hampir delapan tahun dengan segala penderitaan kemanusian dan kerugian material yang diakibatkannya telah berakhir, dan Basyar Asad tetap bertahan.
Fakta ini merupakan kemenangan kekuatan yang mendukungnya.
Kebalikan dari situasi di Suria adalah konflik di Yaman. Jika di Suria presiden yang mendapatkan dukungan dari Iran dan Hizbullah tetap bertahan, dan kekuatan lawannya tidak berhasil menggulingkannya, maka di Yaman justru Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang mendapatkan dukungan dari sebagian negara-negara yang mendukung kelompok oposisi di Suria, lari terbirit-birit dari negerinya sendiri dan kini dia menetap di sebuah hotel di Riyadh.
Perang berdarah-darah di Yaman pada mulanya dimulai dengan demonstrasi yang dimotori partai Ansharullah yang bertujuan ingin merubah pemerintahan di Yaman yang dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Soleh dan demi memperbaiki kondisi ekonomi Yaman yang memprihatinkan.
Pada perkembangan berikutnya Arab Saudi mulai ikut campur tangan dalam urusan kepemimpinan di Yaman. Ali Abdullah Soleh diganti oleh Abd-Rabbu Mansour Hadi berdasarkan ketetapan Arab Saudi. Memang sejak Wilayah Utara dan Wilayah Selatan bersatu, Yaman secara geo-politik dan ekonomi berada di bawah pengaruh Arab Saudi.
Pergantian kepemimpinan tersebut tidak memuaskan para penuntut perubahan sehingga mereka melanjutkan aksi demo bahkan makin besar dan luas. Alih-alih tuntutan mereka dipenuhi, malah Presiden Manshur Hadi melarikan diri ke Arab Saudi dan sebelumnya lari ke Aden, Yaman Selatan. Kemudian demonstrasi tersebut disikapi oleh Arab Saudi dengan serangan militer besar-besaran hingga saat ini.
Sebagaimana sikapnya terhadap konflik di Suria, lagi-lagi Arab Saudi mengangkat isu sektarian dan mengaitkan perlawanan rakyat Yaman Utara dengan Iran dan Hezbullah. Lagu lama diputar kembali demi mendapatkan dukungan Dunia Internasional dan kaum Muslimin.
Serangan demi serangan yang tidak berprikemanusiaan dilancarkan oleh pasukan militer Arab Saudi tanpa henti sejak lebih dari lima tahun hingga saat ini. Rakyat Yaman menjadi korban. Infrastrukur vital hancur lebur. Berbagai penyakit mewabah. Yaman menderita dan menjerit tanpa ada yang memperhatikannya. Meski demikian, kelompok penuntut perubahan tetap bertahan dan pantang menyerah, dan itu sebuah kemenangan psiklogis bagi mereka dan sebuah kegagalan para agresor; Arab Saudi, Emirat Arab dan Amerika.
Baca: Perdamaian dengan Zionis Bertentangan dengan Agama dan Kemanusiaan
Lebih dari itu, para pejuang Yaman mampu memberikan perlawanan yang cukup mematikan dengan menyerang tempat-tempat vital seperti tempat penyulingan minyak ARAMCO dan beberapa bandara. Secara persenjataan kekuatan Yaman dengan kekuatan Arab Saudi dan para sekutunya tidak seimbang, namun tekad dan keberanian para pejuang Yaman jauh lebih unggul dari para tentara bayaran pasukan sekutu.
Dalam berbagai pernyataanya, Abdul Malik Houthi menyatakan bahwa perlawanannya terhadap agresor adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap Amerika dan Israel. Karena itu, perlawanan ini seringkali dikaitkan dengan Iran dan Hizbullah.
Hingga saat ini, Presiden Basyar Asad masih berkuasa dan Presiden Hadi Manshur masih dalam pengasingan dan belum berani kembali ke negerinya. Sementara kelompok-kelompok oposisi pemerintahan Suria masih berada di luar negeri dan bahkan mulai pecah, dan kelompok penentang di Yaman masih berdiri tegak di negeri mereka sendiri. Semua itu merupakan bukti lain dari kemenangan poros perlawanan dan kegagalan poros yang berseberangan dengannya.
Benar apa yang dikatakan pemimpin perlawanan di Lebanon, “Masa kekalahan sudah pergi. Kini adalah masa kemenangan demi kemenangan“.