Sayyidah Khadijah binti Khuwailid al-Kubra adalah istri pertama Nabi Muhammad Saw. Ia menikah dengan Nabi Saw sebelum Bi’tsah dan wanita pertama yang beriman kepadanya. Sayyidah Khadijah mengeluarkan semua kekayaannya untuk penyebaran Islam, dan Nabi Saw demi menghormatinya tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup. Dan setelah ia wafat, Nabi Saw senantiasa mengenangnya dengan kebaikan.
Sayyidah Khadijah meninggal di Makkah tiga tahun sebelum Hijrah pada 10 Ramadan di usia 65 tahun (sesuai penuturan Syaikh Mufid dalam Masaru al-Syi’ah, 7/2 yang mengatakan bahwa pada 10 Ramadhan tahun kesepuluh kenabian atau tiga tahun sebelum hijrah). Nabi Saw menguburkan tubuh Khadijah di pemakaman al-Ma’la.
Diriwayatkan bahwa saat penyakitnya sudah sangat parah, Sayyidah Khadijah berkata: “Wahai Rasulullah, dengarkanlah pesan-pesanku ini.”
Lalu beliau menuturkan pesannya yang pertama dan yang kedua. Setelah itu, dia berkata: “Wahai Rasulullah, pesanku yang ketiga akan kusampaikan pada putriku Fathimah, karena aku malu mengatakannya padamu.”
Baca: Berkah Makanan Sayyidah Khadijah a.s.
Rasulullah Saw keluar dari kamar tersebut dan Khadijah memanggil Fathimah. Lalu berkata: “Wahai kekasih dan buah hatiku, katakan pada ayahmu bahwa ibuku berkata, ‘Aku takut siksa kubur. Karena itu, aku berharap kain yang dikenakan ayahmu saat menerima wahyu digunakan untuk mengafaniku.’”
Kemudian Sayyidah Fathimah keluar dan mengatakan itu kepada ayahnya. Rasulullah Saw segera memberikan kain tersebut kepadanya. Setelah itu, Sayyidah Fathimah segera membawakannya kepada ibunya, dan Sayyidah Khadijah pun merasa sangat berbahagia.
Saat Sayyidah Khadijah wafat, Rasulullah Saw sendiri yang mengurusi seluruh keperluan jenazahnya; memandikan, mengafani, dan sebagainya. Ketika Rasulullah Saw hendak mengafaninya, tiba-tiba Jibril turun, lalu berkata pada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Swt mengucapkan salam padamu dan berfirman, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kafan Khadijah adalah dari kami, karena dia telah mengorbankan hartanya demi Kami.’”
Lalu Jibril memberi Rasulullah Saw sebuah kain kafan sambil berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kain kafan Khadijah berasal dari surga. Allah Swt telah memberikan hadiah untuknya.”
Rasulullah Saw segera mengafani Sayyidah Khadijah dengan dua kain kafan; yang pertama dengan selendangnya, yang kedua dengan kain kafan yang dibawa Jibril. Dengan demikian, kain kafan Khadijah terdiri dari dua lapis; yang satu dari Rasulullah, dan kedua dari Allah Swt. (Sajarah al-Thuba, hal. 223)
Riwayat dari ath-Thabarsi dan Allamah al-Majlisi menuturkan bahwa Asma’ bin ‘Umais berkata bahwa saat menjelang wafatnya, Khadijah menangis. Lalu Rasulullah saw berkata: “Wahai Khadijah, mengapa menangis? Bukankah engkau penghulu wanita seluruh alam semesta dan istri Nabi yang telah memperoleh berita gembira dari Allah dengan sebuah rumah di surga?”
Sayyidah Khadijah menjawab: “Bukan karena itu aku menangis. Aku menangisi Fathimah, karena pada malam pernikahannya, harus ada seorang wanita yang dapat menggembirakan hatinya dan mengurusi seluruh kebutuhannya, sementara usia putriku, Fathimah, masih sangat muda sekali.”
Rasulullah saw berkata: “Wahai kasihku, aku berjanji, jika masih dikaruniai usia oleh Allah Swt hingga hari itu, aku akan melakukan tugasmu.” (al-Bihar, 43/138)
Al-Khawarazmi menuturkan bahwa saat menjelang wafat Khadijah, Rasulullah Saw menemuinya. Lalu Khadijah mengadukan pada Rasulullah Saw tentang ajalnya yang sudah sangat dekat. Rasulullah Saw pun menangis dan mendoakannya. Setelah itu, beliau berkata: “Wahai Khadijah, engkau adalah sebaik-baik Ummul Mukminin dan penghulu kaum wanita seluruh alam semesta. Karena itu, beranikanlah dirimu.” (Maqtal alHusain, hal. 28)
Al-Majlisi menuturkan bahwa Abu Thalib meninggal pada akhir tahun ke sepuluh kenabian. Sementara Khadijah meninggal tiga hari setelahnya. Lalu Rasulullah saw menamai tahun tersebut dengan Tahun Kesedihan. Abdullah bin Mundah menuturkan bahwa Khadijah meninggal tiga hari setelah wafatnya Abu Thalib. Sementara al-Waqidi mengatakan bahwa kaum muslimin keluar dari Syi’ib (lembah) Abu Thalib tiga tahun sebelum hijrah.
Syamsuddin bin Mu’id al-Musawi menuturkan bahwa jarak antara meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah sekitar tiga hari. Abu Thalib meninggal sembilan tahun enam bulan dalam hitungan tahun kenabian. Sedangkan Khadijah meninggal dunia tiga hari sesudahnya. (al-Hujjah ‘ala al-Dzahib ila Takfiri Abi Thalib, hal. 261)
Baca: Perintah Allah Swt dalam Penciptaan Fathimah a.s.
Kaum Muslimin juga sangat disarankan untuk menziarahi makam Sayyidah Khadijah di Hajun. Sayyid Kalyakani mengatakan: “Bagi orang yang melakukan ibadah haji ketika tinggal di Mekah sangat disunahkan melakukan hal-hal berikut. Di antaranya adalah berziarah ke makam Khadijah al-Kubra di Hajun, atau yang terkenal dengan Safhi al-Jabal.” (Manasik al-Haj, hal. 167-168)
Sayyid Taqi al-Qumi mengatakan: “Tak masalah melakukan ziarah untuk mengharapkan sesuatu dari Allah, baik dilakukan dari dekat mau pun jauh, karena pintu pengharapan sangatlah luas. Dalam berziarah kepada Sayyidah Khadijah, kita dapat mengemukakan dalil bahwa dia adalah sosok manusia yang dekat dengan Allah, Rasulullah saw, Imam Ali bin Abi Thalib, Fathimah al-Zahra, dan para imam suci shalawatullah ‘alaihim. Namun untuk lebih berhati-hati, ziarah tersebut dilakukan tak lain hanya untuk pengharapan semata.” (Istifta’ Makhtuth bi Tarikh)
Adapun caranya, sebagaimana dijelasakan Sayyid al-Amin dalam Miftah al-Jannat, adalah berikut ini. Syaikh Ahmad Kasyifu al-Ghita’ qaddasallah sirrahu mengatakan: “Disunnahkan untuk berziarah ke makam Khadijah di Hajun, Mekah.” (Qalaid fi Manasik man Hajja wa Wa’tamara, hal. 143)
Sayyid Abdu al-Ala al-Sibzawari qaddasallah sirrahu mengatakan: “Disunahkan berziarah ke makam Khadijah al-Kubra di Ma’la. Karena beliau adalah Ummul Mukminin. Dan salah satu tanda kepatuhan seorang anak pada ibunya adalah setelah sang ibu meninggal dunia, dia menziarahi makamnya. Di samping itu, beliau adalah sosok manusia yang telah mengorbankan seluruh tenaga, pikiran, dan hartanya demi Islam dan Rasulullah saw. Barang siapa ragu terhadapnya, dianggap sebagai orang yang mendurhakai ibunya.” (Muhadzab al-Ahkam, 14/401)
*Disarikan dari buku Siti Khadijah, Isteri Rasulullah Saw – Ghalib Abdu Al-Ridha