Para penulis sejarah agama biasanya memandang para nabi a.s. yang mendapatkan syariat sebagai pembawa agama adalah membawa agamanya sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Seperti misalnya ketika mereka berbicara tentang agama Nabi Ibrahim, agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Namun Alquran suci mempunyai terminologi dan gayanya sendiri.
Dari sudut pandang Alquran, dari awal hingga akhir, hanya ada satu agama Tuhan. Semua nabi, terlepas dari fakta apakah mereka memiliki syariat sendiri atau tidak, memiliki misi yang sama dan mendakwahkan risalah yang sama. Prinsip-prinsip dasar mereka yang disebut agama adalah sama. Ajaran-ajaran mereka hanya berbeda dalam soal hukum dan masalah-masalah subsider yang nilai pentingnya sekunder. Hukum dan masalah subsider ini beragam sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan lingkungan, dan sifat khas masyarakat yang didakwahi para nabi a.s. ini. Sekalipun bentuk ajaran-ajaran mereka berbeda, namun semua nabi memvisualisasikan satu tujuan yang sama.
Baca: Akal dan Kedudukannya terhadap Pengenalan Agama
Di samping berbeda bentuk, juga berbeda tataran. Nabi-nabi yang diutus belakangan, ajaran-ajaran mereka lebih tinggi tingkat keselarasannya dengan tahap perkembangan manusia. Misalnya, ada perbedaan yang besar pada tataran ajaran Islam dan nabi-nabi sebelumnya dalam hal asal-usul manusia, akhirat dan konsepsi tentang dunia. Dengan kata lain, manusia dalam kaitannya dengan ajaran para nabi a.s. adalah laksana siswa yang secara bertahap naik dari kelas satu ke kelas yang lebih tinggi. Proses ini menunjukkan perkembangan agama, bukan perbedaan agama. Alquran suci tidak menggunakan kata agama” dalam bentuk jamak. Dari sudut pandang Alquran suci, yang ada adalah satu agama, bukan banyak agama.
Ada perbedaan yang besar antara nabi dan filsuf besar dan pemimpin masyarakat terkemuka. Filsuf besar memiliki mazhabnya sendiri. Itulah sebabnya di dunia ini selalu ada sedemikian banyak mazhab filsafat. Sedangkan para nabi a.s., mereka justru selalu saling membenarkan atau memperkuat dan tak pernah saling bertentangan satu sama lain. Seandainya seorang nabi hidup di zaman dan di lingkungan nabi yang lain, tentu dia akan mendakwahkan juga norma hukum dan perilaku yang didakwahkan oleh nabi yang lain itu.
Alquran suci dengan tegas menyatakan bahwa nabi-nabi itu merupakan satu rangkaian tunggal. Nabi-nabi sebelumnya meramalkan nabi-nabi belakangan, dan nabi-nabi belakangan mengakui dan menerima nabi-nabi sebelumnya. Alquran suci juga mengatakan bahwa Allah telah membuat perjanjian dengan para nabi a.s. yang isinya kira-kira menyebutkan bahwa para nabi akan saling memercayai dan saling membantu (satu sama lainnya).
Alquran suci mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu, saksikanlah (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.” (QS. Ali Imran: 81)
Alquran menyebut agama Tuhan itu Islam, dan menggambarkannya sebagai suatu proses berkelanjutan sejak dari Adam .a.s hingga Nabi terakhir, Muhammad Saw. Ini tidak berarti bahwa agama Allah itu selalu dikenal dengan nama Islam.
Baca: Imam Jakfar Shadiq a.s. Sang Pendiri Universitas Islam
Maksudnya adalah bahwa Islam merupakan kata yang paling baik untuk menggambarkan karakter agama ini. Itulah sebabnya Alquran suci mengatakan, “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Alquran suci juga mengatakan: “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Kristen, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri [kepada Allah / muslim] dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
*Disarikan dari buku Tafsir Holostik – Syahid Murtadha Muthahhari