“Wahai Ahmad! Pusatkan perhatianmu kepada satu perkara, jadikan lisanmu menjadi satu lisan dan jadikan badanmu hidup dan tidak pernah lalai. Barang siapa yang lalai (kepada-Ku), maka Aku tidak peduli berada di mana ia akan celaka. Wahai Ahmad! Gunakanlah akalmu sebelum hilang. Maka barang siapa yang menggunakan akalnya, ia tidak akan salah dan tidak akan tersesat. Wahai Ahmad! Apakah engkau tahu mengapa Aku melebihkan engkau dari nabi yang lain? Beliau menjawab, ‘Ya Allah aku tidak tahu.’
Allah Swt berfirman, ‘Karena keyakinan, kebaikan akhlak, kedermawanan diri dan rahmat bagi makhluk. Dan begitu juga pasak-pasak (konotasi dari orang-orang yang besar) di dunia, mereka tidak menjadi kokoh kecuali karena sifat-sifat tersebut.’
Wahai Ahmad! Jika perut manusia selalu lapar dan lisannya terkendali, Aku akan mengajarkan hikmah kepadanya. Dan jika ia kafir, maka hikmah baginya adalah hujah dan dalil, namun jika ia mukmin, hikmah baginya adalah cahaya, argumen, obat dan rahmat. Maka ia akan mengetahui apa-apa yang sebelumnya tidak diketahui dan akan melihat apa-apa yang sebelumnya tidak terlihat. Hal pertama yang Aku perlihatkan kepadanya adalah aib-aib dirinya, sehingga ia disibukkan olehnya dari aib-aib orang lain, Dan Aku akan perlihatkan detail ilmu sehingga setan tidak bisa masuk kepadanya dan diam yang menjaganya dari ucapan yang sia-sia.
Baca: Mikraj Rasulullah Saw, Ruhnya Saja atau Bersama Raganya?
Wahai Ahmad! Tidak ada yang paling Aku cintai selain diam dan puasa, maka barang siapa yang berpuasa namun tidak menjaga lisannya, ia seperti orang yang berdiri untuk salat namun tidak membaca bacaan salat, maka Aku akan memberikan pahala berdirinya dan tidak akan memberikan pahala hamba-hamba.
Wahai Ahmad! Apakah engkau tahu kapan seorang hamba disebut hamba? Beliau menjawab, ‘Tidak wahai Tuhanku.’ Allah Swt berfirman, ‘Yaitu bila berkumpul dalam dirinya tujuh sifat; warak yang menjaganya dari berbuat maksiat, rasa takut yang membuat setiap hari tangisannya kian bertambah, rasa malu yang membuatnya malu kepada-Ku dalam kesendiriannya, dia makan sekadar kebutuhan, dia membenci dunia karena kebencian-Ku terhadapnya (dunia), dan mencintai orang-orang baik karena kecintaan-Ku kepada mereka.’”
Terjadi dialog antara Allah Swt dengan Nabi Muhammad Saw dalam hadis mikraj. Di dalamnya terdapat berbagai metode, dan ini tentu saja model dari kefasihan bicara. Sebab, jika dari awal sampai akhir hanya dipergunakan satu metode kalam (berbicara), maka ini akan menimbulkan kejenuhan. Akan halnya bila dalam dialog dipergunakan metode yang beraneka ragam, maka akan terjaga kesan manis dan semangat dalam ucapan. Dalam dua kutipan terakhir dari firman Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad Saw dijelaskan bahwa sejumlah sifat dapat mengakibatkan kehidupan manusia menjadi bahagia dan kokoh, di mana sifat-sifat tersebut merupakan kekhususan bagi manusia yang sudah mencapai maqam rida. Selain maqam tersebut, kita juga telah mengkaji maqam para pencinta, kaum wali, dan orang-orang yang dekat dengan-Nya.
Dalam bagian ini, metode ucapan tampak berbeda, dan Allah memberikan pesan kepada Nabi Saw, Dia berfirman, “Wahai Ahmad! Pusatkan perhatianmu kepada satu perkara, jadikan lisanmu menjadi satu lisan dan jadikan badanmu hidup dan tidak pernah lalai. Barang siapa yang lalai (kepada-Ku), maka Aku tidak peduli berada di mana ia akan celaka.”
Maksud dari firman Allah dari memusatkan perhatian hanya kepada satu perkara tidak berarti bahwa manusia di dunia ini hanya memiliki satu tujuan dan meninggalkan yang lain. Akan tetapi, ketika terjadi benturan di antara sejumlah tujuan, jangan sampai ia menempatkan sesekali yang ini sebagai tujuan lalu di lain kali yang itu sebagai tujuan: terkadang Allah Ta’ala sebagai tujuan dan perhatiannya, dan terkadang manusia. Namun, hendaklah ia hanya memusatkan kepada satu tujuan, yaitu Allah Swt. Walau mencari dan mengharap kepada Allah Azza wa Jalla dan keridaan-Nya dilihat dari beberapa segi, terkadang dari segi individual dan terkadang dari segi sosial. Terkadang berhubungan dengan masalah-masalah materi, terkadang dalam masalah maknawi. Tentunya, dalam semua aktivitas, hendaklah manusia hanya memiliki satu motivasi, dan itu adalah keridaan Allah.
Jadi, kalimat “Pusatkan perhatianmu kepada satu perkara,” berarti bahwa ia tidak plin-plan, terkadang dunia dan terkadang akhirat, terkadang Allah dan terkadang makhluk. Akan tetapi hendaklah akhir dari segala usaha dan perhatiannya hanya kepada Allah Swt. Kemusyrikan yang mengakibatkan manusia bergerak ke selain Allah, lantaran ia percaya pada selain-Nya. Hal itu juga akan tercermin dalam perbuatan dan ucapan manusia. Sebab, ia selalu mencari apa yang dikehendaki oleh hatinya, dan perbuatannya mengikuti kondisi dan keuntungan bagi dirinya. Ia akan berbicara hingga bisa menarik lawan bicara, atau ia akan menipunya. Orang seperti ini akan memiliki dua lidah. Tetapi ketika orang yang memiliki hanya pada Allah Swt dan keridaan-Nya, maka lisannya pun hanya satu, ucapannya hanyalah satu. Oleh karenanya, Allah Swt berfirman, “Jadikan lisanmu menjadi satu lisan.”
Nasihat lain yang disampaikan oleh Allah kepada nabi-Nya ialah jika Allah tidak ada dalam hatimu, maka badanmu akan (seolah-olah) mati; kehidupan insanimu adalah dengan mengingat-Nya. Jika dalam hatimu tidak ada Allah, maka engkau tidak memiliki kehidupan insani, dan badanmu adalah mati. Walaupun engkau masih memiliki kehidupan hewani. Badan seseorang manusia dinyatakan hidup tatkala ia tidak lalai kepada Allah. Lebih dari itu, Allah menyebut kelalaian demikian itu sebagai kehancuran hakiki. Ketika seseorang lalai, “Aku tidak peduli berada di mana ia akan celaka.” Aku tak peduli di mana pun ia berada dan bagaimana ia akan celaka. Artinya, kelalaian merupakan faktor asli dari kehancuran.
Jika seseorang melupakan Allah dan memalingkan muka dari-Nya, mungkin saja akan menanggung berbagai jenis kebinasaan. Hukum Tuhan di alam ini adalah manusia memiliki ikhtiar (bebas memilih). Dan ucapan Allah ini adalah ancaman terhadap manusia yang tahu bahwa ia lalai dari-Nya, maka ia akan terkena berbagai jenis kecelakaan, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt: “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Alquran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [QS. al-Zukhruf: 36]
Baca: Jawaban atas Keraguan pada Peristiwa Isra Mikraj
Artinya, setan ikut andil dalam kelalaian manusia dari-Nya. Namun, jika ia selalu mengingat-Nya, maka setan tidak akan bisa menguasainya. “Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk” [QS. al-Zukhruf: 37]
Dia berpikir bahwa dirinya sedang berkhidmat kepada diri dan makhluk yang lain, padahal ia dalam keadaan tersesat dan sedang menuju kehancuran dan kecelakaan. “Wahai Ahmad! Gunakanlah akalmu sebelum hilang. Maka barang siapa yang menggunakan akalnya, ia tidak akan salah dan tidak akan tersesat”. Artinya, selama manusia menggunakan akalnya, ia akan mengetahui batasan dan akan memerhatikannya. Dengan demikian, ia tidak akan salah dalam menentukan sesuatu dan, dalam beramal, ia tidak akan sesat. Akan tetapi, jika akalnya tidak digunakan, maka syahwat dan kelalaian akan menguasainya, serta ia akan melampaui batas.
*Dikutip dari buku karya Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi – Menuju Insan Ilahi: Tafsir Hadis-Hadis Mikraj