Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA
Agama sebagai wahyu Tuhan adalah aturan normal hidup, tapi sebagai hasil interpretasi yang sebagiannya merupakan produk kepentingan para tiran berkedok khilafah adalah kontra agama itu sendiri. Agama buatan mereka inilah yang layak disebut candu.
Bila agama bisa menjadi candu karena memuat ajaran-ajaran irrasional yang membius dan mematikan radar logika, maka mazhab yang merupakan metodologi dan perspektif profan setiap individu tentang agama, tentu juga bisa menjadi candu bila dibugilkan dari logka.
Ketika para pemeluk agama lebih fanatik dengan mazhabnya masing-masing atau berlomba memamerkan klaim kebenaran sektarian tanpa menyertakan konteks dinamis dan logika yang valid, malah sibuk mengulang-ulang dan berbagi di kalangan sendiri, narasi-narasi yang tak relevan dan tak ramah zaman, maka pada nyatanya mazhab tak lagi dianut tapi dipakai sebagai alat menegaskan eksistensi diri, bukan eksistensi komunitas dan mazhabnya. Boleh jadi, mensyiarkan mazhab dengan cara yang tak disertai dengan citarasa kearifan kontekatual sama dengan menghalangi orang-orang di luar mazhab untuk mengenali mazhab itu dengan cara yang benar. Alih-alih mengajak mereka memasukinya, malah memperburuk citranya.
Dalam fakta ironik ini, kemandekan, bahkan penyusutan kuantitatif dan kualitatif menjadi akibat niscaya. Banyak individu yang semula tertarik dengan gagasan logisnya yang menjulang megah, malah melenggang menjauh karena fakta dominan yang hadir di hadapannya adalah fenomena kesemrawuran yang kontras. Inilah individu-individu yang kebetulan semazhab, bukan. entitas atomik yang justru solid karena kecil dan elemen-elemen partikularnya sedkikit.
Ketika hanya menjadi gugusan narasi yang abstrak dan tak aplikatif, mazhab tak cukup kuat menjadi dasar partisipasi aktif dalam bangsa yang majemuk dan tak dipandang sebagai sistem koordinasi di tengah kepungan dan konsolidasi arus intoleransi yang membadai. Sehebat apapun para agamawan dan naratornya, dan semegah apapun konsep-konsep doktrinnya, ia tak hanya makin dijauhi oleh yang berada di luar tapi disembunyikan oleh yang terlanjur merasa berada di dalamnya.
Dalam kegamangan kolektif inilah individu-individu yang sadar taklif tak larut dalam nelangsa atau ribut salng menyalahkan tapi mentransformasi mazhab yang abstrak dan multi interpretasi sebagai sebuah entitas formal yang konkret berbasis kontrak antar anggota dengan hak dan kewajibannya masing-masing lalu mengintegrasikannya dalam negara yang tak berasas agama dan mazhab sebagai organisasi unik, solid dan rendah hati, bukan semata agama dan mazhab, karena negara tak dihuni oleh agama dan mazhab tapi oleh warga negara apapun identitas keyakinan dan kesukuannya.
Dirgahayu ABI