Akidah adalah tali penghubung antara ilmu dan iman. Oleh karena itu, ilmu tanpa imam bagaikan tanaman yang tak berbuah. Ilmu mengajak kepada iman dan iman menganjurkan para pengikutnya untuk mencari ilmu. Memisahkan keduanya akan membuahkan akibat-akibat yang buruk.
Syahid Murtadha Muthahhari menulis: “Pengalaman-pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa memisahkan ilmu dari iman telah melahirkan bahaya-bahaya yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, iman harus berada di bawah lentera ilmu sehingga iman itu akan terselamatkan dari kepercayaan-kepercayaan takhayul. Dengan memisahkan ilmu dari iman, iman itu akan kering, tercemari oleh fanatisme buta, keguncangan jiwa, dan menahan laju pemiliknya (menuju tingkatan-tingkatan spiritual).
Muslimin yang tidak berilmu akan diperalat oleh munafikin, sebagaimana realitas pahit ini dapat kita saksikan pada kaum Khawarij di masa permulaan Islam dan masa-masa setelah itu dengan bentuk yang beraneka ragam (meskipun esensinya sama). Dan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri yang digunakan untuk mencuri barang berharga di tengah malam. Atas dasar ini, seorang alim yang tidak beriman tidak berbeda sedikit pun dengan orang bodoh, baik ditinjau dari sisi perangai atau esensinya.” [Al-Insan wal Iman, 1/5]
Baca: Pro dan Kontra Akal dalam Berakidah
Oleh karena itu, ilmu memerlukan iman sebagaimana badan membutuhkan ruh. Karena ilmu dengan sendirinya tidak akan mampu untuk membina manusia sempurna. Ilmu hanya mampu mendidik sebagian sisi dari sekian banyak sisi yang dimiliki oleh manusia. Mungkin ilmu tersebut mampu untuk menjadikannya berprestasi dalam segala bidang keilmuan, akan tetapi ia tidak akan mampu untuk membinanya menjadi manusia ideal. Ilmu hanya mampu membina manusia dari satu sisi, yaitu sisi materi. Sementara iman dapat membentuk kepribadian manusia dengan berbagai dimensinya.
Bangsa Eropa berbangga diri dengan ilmu pengetahuan sehingga mereka menuhankan ilmu pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka tidak menciptakan ritus-ritus keagamaan khusus untuk ilmu pengetahuan itu. Oleh karena itu, ketika mereka melihat agama terfokuskan pada hal-hal yang gaib, mereka menganggapnya suatu realitas yang tidak ilmiah.
Atas dasar ini, muncullah satu keinginan kuat di kalangan mereka untuk memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Dan ini adalah satu realitas yang tidak dapat diterima oleh agama Islam. Dalil nyata atas adanya korelasi yang kuat antara agama dan ilmu pengetahuan (dalam agama Islam) adalah ajakan agama ini untuk menggali ilmu di setiap kesempatan dalam umur kita dan penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan dan ulama. Dan jika dalam perjalanan sejarah pernah terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, sebagaimana yang pernah dialami oleh agama Kristen, hal itu tidak ada hubungannya dengan agama. Jika pun pernah terjadi, agama itu bukanlah agama yang otentik. [Dauruddin fi Hayatil Insan, hal. 69]
Yang sangat disayangkan, ada suara-suara sumbang (di antara para pemeluk agama sendiri) yang mengumandangkan pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dengan alasan, bangsa Eropa ketika memisahkan diri dari agama, mereka mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Sementara kita, karena kita berpegang teguh dengan tali agama, akibatnya kita ketinggalan zaman. Hal itu mungkin timbul dari ketidakmampuan akal mereka untuk memahami tugas ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
Ilmu pengetahuan adalah satu sarana untuk menyingkap realitas-realitas tematis (al-haqaiq al-maudlu’iyyah) dan menjelaskan kenyataan secara netral dan jeli, tidak lebih dari itu. Atau hal itu timbul dari kebodohan mereka tentang agama Islam yang senantiasa mengajak kita untuk selalu menggali ilmu pengetahuan. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki pendapat semacam itu pada umumnya adalah antek-antek bayaran yang selalu siap mempropagandakan statement musuh-musuh Islam di mata dunia. Dan mereka lupa akan akibat jelek yang akan terlahirkan dari pemisahan agama dari ilmu pengetahuan ini.
Baca: Konsep Takdir dalam Akidah Syiah
Contoh yang paling jelas dari (akibat pemisahan agama dari ilmu pengetahuan) itu adalah zaman kita sekarang ini. Satu zaman yang telah mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan materi, sementara budaya saling membunuh secara liar dan percekcokan telah memasyarakat. Sebagai akibat, putuslah korelasi antar manusia dan ketakutan melanda di mana-mana. Di samping itu, masyarakat insani telah berubah dalam memandang tujuan hidup. Tujuan hidup yang utama menurut mereka adalah harta dan kesenangan hidup dengan segala coraknya. Hal inilah yang mengakibatkan merajalelanya dekadensi moral dan permainan seks bebas yang binatang-binatang di sekitar kita pun muak melihat kenyataan ini. [Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyah, hal. 115]
Melihat kenyataan ini, akidah Islam memiliki peranan yang sangat besar dalam mendidik dan membina manusia. Karena akidah memandang perlunya keselarasan antara peranan agama dan ilmu pengetahuan dalam membina kepribadian manusia, dan dengan memisahkan kedua unsur penting itu, manusia laksana jarum kompas yang bergerak menunjuk arah Utara dan Selatan tergantung di mana kompas itu diletakkan. Atas dasar ini, ia sangat memerlukan satu kekuatan yang mampu mewujudkan revolusi dalam dirinya dan membekalinya dengan teori-teori etika murni yang dapat merealisasikan kemanusiaannya. Dan ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama tidak akan mampu mewujudkan hal itu.
*Disadur dari buku Peran Akidah – Markaz ar-Risalah