Peristiwa Harrah merupakan kejahatan mengerikan lainnya pasca Tragedi Karbala yang dilakukan oleh Bani Umayah. Peristiwa ini terjadi dalam pemberontakan di Madinah pada tahun 62 atau 64 H, yang berujung pada pertumpahan darah oleh pasukan Damaskus.
Para ahli sejarah memberikan tiga versi untuk menjelaskan motivasi di balik pemberontakan tersebut. Pertama, menurut Baladzuri, Abdullah membunuh saudara laki-lakinya, Amr, dan menyeru penduduk untuk berhenti taat kepada Yazid serta berperang melawannya. Madinah pun mendukungnya dengan setia. Versi ini menunjukkan bahwa sumpah setia kepada Ibnu Zubair menyebabkan Madinah menentang Yazid.
Kedua, menurut Ya’qubi, perselisihan antara penduduk dan gubernur Madinah, Usman bin Muhammad, terjadi ketika beberapa orang menghalangi pengambilan barang dari baitul mal. Perselisihan ini memicu pemberontakan dan pengunduran diri Bani Umayah dari kota.
Ketiga, versi Thabari menyebutkan bahwa ketika Usman bin Muhammad mengutus utusan ke Madinah untuk menerima keramahtamahan dari Yazid, utusan tersebut justru menghina Yazid. Akibatnya, penduduk Madinah menolak taat kepada Yazid dan mendukung pemberontakan.
Baca: Konsep Agama yang Salah dan Dampaknya pada Peristiwa Karbala
Hijaz, termasuk Madinah, memiliki orientasi yang terpusat pada Zubair, sementara Damaskus cenderung mendukung Bani Umayah. Kebencian penduduk Hijaz terhadap Bani Umayah dipengaruhi oleh peristiwa pembunuhan Usman dan tindakan zalim Muawiyah terhadap harta kekayaan baitul mal.
Kehadiran Ibnu Zubair di Hijaz memberikan dasar bagi pemberontakan di Madinah. Upaya Yazid untuk meredakan pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pasukan Damaskus di bawah komando Muslim bin Uqbah mengepung Madinah dan melakukan pembantaian serta pemerkosaan terhadap ribuan wanita Madinah. Peristiwa ini berakhir dengan pasukan Damaskus menguasai kota dan mengambil seluruh harta benda serta memenggal kepala sejumlah tawanan, termasuk beberapa sahabat Nabi.
Diriwayatkan oleh beberapa sumber sejarah, peristiwa Harrah mengakibatkan kematian yang sangat besar. Ibnu Qutaibah mencatat angka kematian mencapai 1.700 kaum Anshar, Muhajirin, dan anak-anak mereka, ditambah 10.000 penduduk biasa. 80 orang dari kalangan sahabat juga diketahui tewas dalam peristiwa ini. Haitsam bin ‘Adi mencatat 6.500 kematian dalam peristiwa pembantaian tersebut.
Versi dari Mas’udi menyebutkan bahwa lebih dari 90 orang dari Quraisy tewas, sementara jumlah Anshar mencapai 4.000. Ibnu A’tsam melaporkan bahwa korban anak-anak dari kaum Muhajirin sejumlah 1.300, dan dari Anshar sebanyak 1.700 jiwa. Selain itu, banyak korban lain yang tidak teridentifikasi. Data ini menggambarkan betapa besar dampak peristiwa ini terhadap jumlah korban dan jumlah rumah yang dijarah.
‘Awan bin Hakam menyebutkan bahwa ketika serangan dilancarkan dari pihak Bani Haritsah, satu-satunya rumah yang selamat adalah milik Usamah bin Zaid, dan satu-satunya perempuan yang selamat adalah dari Himyar. Para penyerang menyebut penduduk Madinah sebagai Yahudi dan mereka memerangi mereka dengan kejam.
Peristiwa Harrah tidak hanya menimpa kaum Anshar yang menjadi sasaran kebencian Bani Umayah, tetapi juga banyak keluarga dari kaum Muhajirin yang menjadi korban. Bani Umayah menyatakan peristiwa Harrah sebagai bentuk pembalasan atas pembunuhan Usman, dan ini terbukti dengan peran Muslim bin Uqbah, seorang komandan pasukan Damaskus yang pernah ditangkap pada masa Nabi di Ghathfan dan kemudian dibebaskan oleh seorang perempuan dari Anshar.
Berita tentang peristiwa Harrah menyebar, dan Yazid mengutip puisi yang ditulis oleh Ibnu Zib’arah dalam perang Uhud sebagai ungkapan dendam terhadap kaum Anshar karena pembantaian kaum Quraisy di Badar. Pasukan Damaskus juga menyerukan balas dendam atas darah Usman selama penyerangan mereka terhadap Madinah.
Setelah peristiwa Harrah, Muslim bin Uqbah menyatakan kegembiraannya untuk membunuh para pembunuh Usman. Abdul Malik pun mengungkapkan bahwa ketegangan antara Madinah dan Bani Umayah disebabkan oleh peristiwa Harrah dan pembunuhan Usman.
Motif lain dari penyerangan ini adalah keyakinan kuat dalam “ketaatan kepada khalifah” dan “menjaga jamaah” di Damaskus memotivasi pasukan Muslim bin Uqbah untuk menyerang Madinah. Setelah pembantaian, Muslim merasa puas dengan perbuatannya karena merasa telah menjalankan prinsip-prinsip itu dengan setia.
Setelah menyelesaikan operasi di Madinah, pasukan Damaskus menuju Mekkah untuk melakukan kejahatan serupa terhadap Ibnu Zubair dan pengikutnya. Mereka melemparkan bebatuan dan bola api ke Kabah dari puncak-puncak gunung dengan menggunakan manjanik. Setelah kematian Yazid, pasukan itu akhirnya menyatakan gencatan senjata.
Baca: Karbala: Kontestasi Kesehatan Jiwa Manusia
Husain bin Numayr menggantikan Muslim bin Uqbah setelah ia meninggal, dan dia berusaha mendirikan khilafah di Damaskus. Namun, Ibnu Zubair menolak untuk mendukungnya dan lebih memilih beraktivitas di Hijaz. Rencana dominasi Ibnu Zubair di Hijaz tidak menghadapi banyak hambatan, tetapi kesulitan muncul di Irak, di mana Muslim Syiah telah melepaskan diri dari dominasi Bani Umayah dan memiliki pengaruh besar di kota Kufah di bawa Mukhtar Tsaqafi.
*Disarikan dari buku Sejarah Para Pemimpin – Rasul Jakfarian