Assalamu’alaikum Adik-adik yang dirahmati Allah swt.
“Ingin jadi presiden!”, jawab salah satu adik ketika aku tanya tentang cita- cita mereka.
Hebat, semoga cita-cita adik tercapai, kami penduduk Indonesia merindukan sosok pemimpin mulia yang benar-benar berkhidmat dan melayani dengan tulus, yang membantu memakmurkan negara bukan menghabisi aset negara.
Berbicara masalah pemimpin, mengingatkan kakak pada sosok pemimpin teladan dan idaman semua umat. Adik- adik ada yang tahu kira-kira siapa sosok pemimpin yang kakak maksud? Beberapa hari yang lalu, kita baru saja memperingati dan merayakan pengangkatannya.
Imam Ali bin Abi Thalib as, teriak spontan mereka.
Adik-adik tentunya ingin mengenal Imam Ali as lebih banyak lagi kan? Kakak akan menceritakan sedikit tentang pengabdian beliau kepada masyarakat. (Baca: Demi Pengabdian kepada Islam)
Dalam riwayat Suwaid bin Gaflah disebutkan: “Suatu hari aku pergi menemui Amirul Mukminin as dan mendapatkan beliau duduk di atas sobekan karung usang. Aku berkata: “Kenapa Anda duduk di atas karung usang ini? Bukankah Anda juga harus menerima tamu asing, apakah Anda tidak mempunyai tempat tinggal yang lebih baik lagi?
Beliau menjawab: “Wahai Suwaid, orang bijak tidak terikat dengan sebuah rumah yang pada akhirnya akan ditinggalkan, di depan kita ada rumah abadi, ke arahnya lah kita harus menuju.”
Itulah Imam Ali bin Abi Thalib as.
Kakak akan menceritakan kisah mengagumkan lainnya, simak ya adik-adik…
Suatu hari seorang perempuan tua dengan fisik yang lemah sedang mengangkat tempat air besar di pundaknya. Dengan terseok-seok dan napas terengah-engah ia melangkah menuju rumahnya. (Baca: Perempuan Itupun Mengadu kepada Ali)
Tiba-tiba ada seorang lelaki tak dikenal mendekatinya dan menawarkan untuk membawakan tempat air yang berat itu. Perempuan tua itu menggerakkan bibirnya dan berterima kasih kepada Allah Swt. Ia kemudian berkata pada pria yang tak dikenal itu, “Allah mengirim engkau untuk menolongku. Insya Allah, engkau akan mendapatkan pahala atas perbuatanmu ini dari Allah swt.”
Rumah perempuan tua itu tidak terlalu jauh. Ketika sampai, perempuan tua itu membukakan pintu. Anak-anaknya yang masih kecil begitu gembira setelah tahu ibu mereka telah kembali. Tapi rasa ingin tahu membuat mereka bertanya-tanya siapa orang asing ini.
Pria tak dikenal itu kemudian meletakkan tempat air di tanah dan bertanya kepada perempuan itu, “Apakah tidak ada pria di rumah ini, sehingga engkau sendiri yang mengangkat air? Apa yang terjadi sehingga engkau tinggal sendiri?” (Baca: Kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah saw)
Perempuan itu menarik napas panjang dan berkata, “Suamiku dulunya adalah seorang pejuang. Ia berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam sebuah perang dan di sana ia syahid. Ia meninggalkan saya dengan beberapa orang anak.”
Mendengar ucapan perempuan tua, pria tak dikenal itu tidak dapat berkata apa-apa. Tapi dari wajahnya terlihat ia begitu sedih. Ia hanya bisa menundukkan kepala, kemudian meminta diri dan pergi dari sana. Tapi tidak berapa lama berselang ia kembali sambil membawa sejumlah makanan.
Perempuan tua itu mengambil makanan dari pria tak dikenal itu dan berkata, “Semoga Allah meridhaimu!”
Pria asing itu berkata, “Saya ingin membantu pekerjaanmu. Perkenankan saya membuat adonan roti, membakarnya atau menjaga anak-anak ini.” (Baca: Kisah-kisah Imam Ali Zainal Abidin a.s.: Roti Kering dan Mutiara)
Perempuan itu berkata, “Baiklah! saya akan membuat adonan roti dan membakarnya. Engkau mengawasi anak-anak, sampai aku selesai membakar roti.”
Pria asing itu menerima dan pergi menemui anak-anak itu. Tapi sebelum itu ia mengambil bungkusan yang dibawanya dan mengambil daging lalu membakarnya. Setelah matang, dengan sabar ia menyuapi anak-anak itu lalu berkata, “Anak-anakku! Relakanlah Ali bin Abi Thalib, bila ada kekurangan yang dilakukan terkait kalian… Anak-anakku! Relakan Ali bin Abi Thalib…”
Adonan roti telah siap. Perempuan tua itu berkata, “Wahai hamba Allah! Nyalakan api untuk membakar roti ini…”
Pria itu beranjak dari tempatnya dan pergi untuk menyalakan api. Tungku telah menyala. Air mata telah menggenang di pelupuk mata pria asing itu. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke api sambil berkata, “Rasakan panasnya api! Inilah balasan orang yang tidak mengurusi anak-anak yatim dengan baik dan tidak tahu kondisi para wanita janda…” (Baca: Aku Sudah Menceraikanmu, Jauhi Aku!)
Pada waktu itu, ada tetangga perempuan yang rumahnya bersebelahan dengan perempuan tua itu datang ke rumahnya. Ketika ia melihat pria tak dikenal itu, dengan segera ia mendekati perempuan tua itu dan berkata, “Celakalah engkau! Tahukah siapa pria yang engkau perbantukan ini?”
Perempuan tua itu terkejut dan berkata, “Tidak. Saya tidak mengenalnya. Ketika hendak kembali ke rumah saya bertemu dengannya dan langsung menawarkan diri untuk membantu saya.”
Tetangganya berkata, “Pria itu adalah Ali bin Abi Thalib, Amirul Mukminin!”
Begitu mengetahui pria asing yang membantunya adalah Ali bin Abi Thalib, perempuan tua itu langsung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia mendekati pria itu dan berkata, “Wahai pria penolong! Maafkan saya yang tidak mengenalmu dan memintamu untuk membantuku.” (Baca: Kata “Maaf”, Kunci Kemuliaan)
Imam Ali berkata, “Tidak! Saya yang harus meminta maaf kepadamu. Karena saya tidak melaksanakan kewajibanku dengan baik kepadamu dan anak-anak yatim ini.”
Setelah itu, Imam Ali secara berkala mendatangi rumah perempuan tua itu dan menanyakan keadaan mereka, sambil membantu meringankan beban hidup mereka.
Nah adik-adik beginilah pemimpin yang sesungguhnya…
Sejatinya seorang pemimpin wajib berempati kepada nasib rakyatnya. Bahkan seorang pemimpin yang baik, harus memastikan semua rakyatnya kenyang terlebih dahulu sebelum dia makan sesuatu…
Semoga kisah ini memotifasi adik-adik (yang bercita-cita sebagai pemimpin atau presiden) untuk menjadi pemimpin sejati yang benar-benar mengabdi.
Sampai jumpa di Kids Corner berikutnya.
Wassalamualaikum. [*]
Baca: Cinta Allah, Cinta Sesama