Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Pandangan Islam

Keluarga adalah taman pertama tempat tumbuhnya kepribadian manusia. Di sinilah benih moral, spiritual, dan sosial seorang anak ditanamkan. Dalam pandangan Islam, rumah tangga bukan sekadar tempat berlindung, tetapi madrasah pertama yang membentuk manusia paripurna. Karena itu, tanggung jawab ayah dan ibu terhadap anak dimulai bahkan sebelum kelahirannya. Seperti halnya seorang tukang kebun yang menyiapkan tanah sebelum menanam benih, demikian pula orang tua harus mempersiapkan diri, makanan, niat, dan hubungan mereka agar melahirkan generasi yang sehat, saleh, dan berakhlak.


Pondasi Rumah Tangga yang Baik

Islam menekankan pentingnya membentuk keluarga yang kokoh dan penuh kasih. Rasulullah saw bersabda:

“Tidak ada bangunan dalam Islam yang lebih dicintai Allah daripada pernikahan.”
(Bihar al-Anwar, jil. 103, hlm. 222)

Dalam keluarga, cinta dan tanggung jawab harus berjalan beriringan. Tujuan membangun rumah tangga bukan hanya untuk memperoleh keturunan, melainkan menciptakan lingkungan spiritual di mana nilai-nilai ilahi dapat tumbuh. Anak adalah amanah Allah; keberadaannya bukan sekadar pelengkap, melainkan penerus nilai dan perjuangan orang tua.

Rasulullah saw juga bersabda:

“Seorang Mukmin hendaknya tidak menahan diri dari menikah, karena mungkin Allah akan memberinya keturunan yang akan memenuhi bumi dengan kalimat la ilaha illallah.”
(Wasā’il al-Syi‘ah, jil. 14, hlm. 3)

Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya pernikahan dalam membangun peradaban tauhid. Melalui keluarga, nilai ilahi diwariskan, dan melalui pendidikan anak, masyarakat yang saleh terbentuk.

Namun, Islam tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Keselamatan dan kesehatan anak adalah hal utama. Karena pada masa lalu bayi perempuan sering dipandang rendah, Islam menekankan pentingnya kasih sayang kepada mereka. Dalam pandangan Al-Qur’an, anak perempuan adalah rahmat, bukan beban. (Lihat Surah al-Nahl: 58–59)


Makna Memiliki Keturunan

Banyak riwayat menegaskan bahwa memiliki keturunan merupakan anugerah dan sumber kebahagiaan. Rasulullah saw bersabda:

“Mohonlah keturunan, karena keturunan adalah penyejuk mata dan kebahagiaan hati.”
(Mustadrak al-Wasā’il, jil. 15, hlm. 127)

 Dalam riwayat lain beliau bersabda:

“Wangi seorang anak adalah bagian dari wewangian surga.”
(Bihar al-Anwar, jil. 104, hlm. 97)

Ungkapan-ungkapan ini menggambarkan betapa fitrah anak membawa ketenangan dan kedamaian bagi jiwa orang tua. Namun, bersama kebahagiaan itu hadir pula tanggung jawab besar: membimbing, mendidik, dan menanamkan nilai-nilai ilahi agar anak tumbuh sebagai manusia yang sadar dan beriman.


Keseimbangan antara Kuantitas dan Kualitas

Islam mendorong umatnya untuk memiliki keturunan yang banyak, tetapi bukan tanpa arah. Tujuan utamanya adalah membentuk generasi yang kuat, sehat, dan saleh. Rasulullah saw menegaskan bahwa banyaknya anak hanya bermakna jika mereka tumbuh sebagai ahsan al-nas—manusia terbaik dalam akhlak dan amal. (Al-Kafi, jil. 5, hlm. 331)

Karena itu, para ulama menafsirkan hadis tentang anjuran memiliki banyak anak sebagai program pendidikan, bukan semata-mata peningkatan jumlah. Jika kondisi sosial, ekonomi, dan budaya tidak mendukung tumbuhnya generasi yang saleh, maka menambah jumlah anak tanpa kesiapan adalah tindakan yang tidak dianjurkan. Di sinilah pentingnya keseimbangan: pertumbuhan populasi harus diiringi kesiapan moral dan spiritual masyarakat.


Peran Genetik dalam Pembentukan Kepribadian Anak

Islam sejak awal telah menyinggung pentingnya faktor genetik dalam pembentukan karakter manusia. Anak tidak hanya mewarisi bentuk fisik dari orang tuanya, tetapi juga sifat-sifat moral dan kejiwaan. Keberanian, kedermawanan, dan kejujuran dapat mengalir dari darah orang tua kepada anak.

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa pengaruh genetik ibu lebih besar dibanding ayah. Karena itu, Islam menekankan pentingnya memilih pasangan yang saleh dan berakhlak baik. Imam Ali as menasihatkan:

“Perhatikanlah dari siapa kalian akan mewariskan anak-anak kalian, karena watak dapat berpindah.”
(Nahj al-Balāghah, hikmah 238)

Seorang ibu yang bertakwa ibarat tanah subur bagi benih-benih kebaikan. Ia menjadi cermin pertama bagi fitrah anak yang sedang bertumbuh.


Pengaruh Makanan Orang Tua

Aspek lain yang sering diabaikan namun sangat penting dalam pendidikan anak adalah makanan. Islam menegaskan bahwa makanan haram dapat menimbulkan penyimpangan moral dan spiritual pada keturunan. Dari makanan yang tidak halal akan tumbuh darah dan daging yang tercemar nilai-nilai kebatilan. Rasulullah saw bersabda:

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih layak baginya.”
(Sunan al-Tirmidzi, hadis no. 614)

Para Imam Ahlulbait as menasihatkan agar orang tua menghindari makanan haram atau syubhat (meragukan). Khusus bagi ibu hamil, hal ini sangat ditekankan, karena setiap nutrisi yang dikonsumsi akan menjadi bagian dari janin yang sedang tumbuh. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan anjuran untuk mengonsumsi buah-buahan dan makanan tertentu pada masa kehamilan, karena dapat memengaruhi kecerdasan, ketenangan, dan keberkahan anak. (Tibb al-A’immah, hlm. 45–47)


Tatacara Hubungan Suami Istri dan Pengaruhnya pada Anak

Salah satu hal yang dibahas secara halus namun mendalam oleh Islam adalah hubungan suami istri. Dalam pandangan Islam, hubungan yang dilakukan dengan niat suci dan tata cara yang benar bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi bagian dari ibadah yang mempengaruhi masa depan anak.

Rasulullah saw bersabda:

“Karunia pertama Allah kepada manusia adalah anak yang halal dan suci.”
(Al-Kafi, jil. 5, hlm. 501)

Banyak kerusakan sosial, kata beliau, berakar dari hubungan yang tidak halal. Anak yang lahir dari hubungan tanpa kesadaran ilahi sering kali tumbuh tanpa arah spiritual yang kuat. Namun demikian, Islam tidak menutup jalan bagi siapa pun—setiap manusia memiliki kesempatan untuk memilih jalan kebenaran, apa pun asal-usulnya.

Para Imam juga mewasiatkan agar dalam setiap hubungan, pasangan tidak melupakan Allah. Imam Ja‘far al-Shadiq as berkata:

“Jika seorang suami hendak berhubungan, hendaklah ia mengingat Allah, karena apabila Allah diingat, maka setan tidak akan turut serta.”
(Wasā’il al-Syi‘ah, jil. 14, hlm. 87)

Kondisi spiritual saat hubungan, waktu, dan tempatnya memiliki pengaruh terhadap ruh dan kecenderungan anak di masa depan. Itulah sebabnya Islam mengajarkan adab-adab khusus sebelum dan sesudah berhubungan, agar kehidupan keluarga senantiasa berporos pada kesucian.


Kebahagiaan dalam Memiliki Anak

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa anak adalah sumber kebahagiaan, namun sekaligus ujian bagi orang tua. Rasulullah saw bersabda:

“Anak adalah buah hati, penyebab kekhawatiran, kecemasan, dan kesedihan.”
(Bihar al-Anwar, jil. 104, hlm. 92)

Ungkapan ini menunjukkan bahwa cinta kepada anak tidak pernah lepas dari tanggung jawab besar. Kebahagiaan sejati bagi orang tua bukan sekadar melihat anak tumbuh dewasa, tetapi menyaksikan mereka menjadi penerus nilai-nilai tauhid. Imam Musa al-Kadzim as berkata:

“Seseorang akan bahagia jika sebelum meninggal, ia menyaksikan pengganti dirinya.”
(Bihar al-Anwar, jil. 71, hlm. 86)

Sementara Imam Ridha as bersabda:

“Jika Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, Dia tidak akan mematikannya sebelum ia menyaksikan penerus setelahnya.”
(Uyun Akhbar al-Ridha, jil. 2, hlm. 45)

Anak yang saleh adalah doa yang hidup, sedekah yang tak pernah putus, dan warisan spiritual yang abadi.


Mendidik dengan Kesadaran Ilahi

Mendidik anak bukan sekadar tugas duniawi; ia adalah ibadah panjang yang bermula dari niat suci dan berakhir pada kesempurnaan ruh. Setiap detik dalam kehidupan keluarga adalah bagian dari pendidikan—cara orang tua berbicara, makan, beribadah, bahkan cara mereka saling mencintai.

Islam ingin setiap rumah menjadi taman tempat nilai-nilai ilahi bersemi. Rumah yang dibangun atas dasar kasih sayang, makanan yang halal, hubungan yang suci, dan doa yang tulus akan melahirkan generasi pembawa cahaya. Anak-anak semacam itu bukan hanya kebanggaan bagi keluarga, tetapi juga penopang masyarakat dan peradaban.

Sebagaimana pesan Imam Ali Zainal Abidin as:

“Kebahagiaan bagi seorang ayah adalah ketika ia memiliki anak yang dapat membantunya dalam kebaikan.”
(Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 281)

Dengan demikian, dasar-dasar pendidikan anak dalam Islam bukanlah sekadar teori pedagogis, melainkan jalan spiritual menuju pembentukan manusia sempurna—manusia yang mengenal Tuhannya dan menebar kebaikan di muka bumi.


Disarikan dari buku Anak di Mata Nabi – Ayatullah Muhammad Reisyahri

Share Post
No comments

Sorry, the comment form is closed at this time.