d. Melakukan perbuatan haram dengan dalih supaya citranya jatuh di mata khalayak agar pelakunya selamat dari resiko riya’ dan gila kedudukan. Al-Qummi dalam Safinat al-Bihar[1] mengutip keterangan Ibnu Jauzi dalam kitabnya yang mengritisi sufisme, Talbis Iblis, bahwa kelompok sufi Malamatiyyah melakukan perbuatan-perbuatan haram dengan dalih demikian. (Baca Sebelumnya: Melacak Sufi dan Arif Sejati -1)
Mereka antara lain adalah seorang pria yang berzina dengan perempuan hingga hamil. Pria itu lantas ditanya, “Mengapa kamu tidak uzlah?” Dia menjawab, “Kabar telah sampai kepadaku bahwa uzlah makruh.” Dia ditanya lagi, “Bukankah juga telah sampai kepadamu bahwa zina itu haram?”
Disebutkan bahwa Ibnu Jauzi juga mengritisi sebagian apa yang tertera dalam kitab Ihya’ Ulumuddin[2] karya al-Ghazali karena al-Ghazali memuat kisah-kisah yang tidak etis dan bertentangan dengan syariat. Kisah itu antara lain tentang seorang syeikh yang semula malas mendirikan shalat malam tapi kemudian membiasakan berdiri dengan posisi kepala di bawah di kaki di atas sepanjang malam agar dia sudi mendirikan shalat malam. Demikian pula kisah orang yang merekomendasikan upaya mengatasi kecintaan kepada dunia dengan cara melelang semua harta bendanya dan membuangnya ke laut. Juga kisah orang yang mengasah keberanian dengan cara melaut di tengah badai dan gelombang besar.
Ibnu Jauzi mengaku heran mengapa Abu Hamid al-Ghazali memuat kisah-kisah demikian tanpa mengritisinya, dan malah mengajarkannya. (Baca: Yang Salafi Jangan Cela yang Sufi)
“Saya heran mengapa Abu Hamid memerintahkan hal-hal demikian yang jelas bertentangan dengan syariat? Mengapa dia membolehkan orang berdiri dengan posisi kepala di bawah sepanjang malam sehingga darahnya berbalik ke wajah dan dapat menyebabkan sakit keras? Mengapa dia membolehkan pembuangan harta ke laut sedangkan Rasulullah saw melarang penyia-nyiaan harta?…. Mengapa dia membolehkan orang melaut di saat laut bergelombang, padahal kewajiban haji saja gugur dalam kondisi demikian?” ungkap Ibnu Jauzi.
Dalam Talbis Iblis juga disebutkan bahwa al-Ghazali membawakan kisah seorang salik yang sengaja mencuri pakaian mahal di sebuah pemandian lalu mengenakannya kemudian keluar dari pemandian sambil berjalan perlahan sehingga dikejar dan ditangkap orang. Sejak itu dia dikenal dan dijuluki sebagai pencuri di pemandian, dan diapun lega mendapat julukan itu.
Al-Ghazali berkomentar, “Demikianlah mereka melatih diri sehingga Allah meloloskan mereka dari pandangan kepada (sanjungan) makhluk, lalu pandangan kepada diri dan para pemuka keadaan (arbab al-ahwal). Mereka bisa jadi menyembuhkan jiwa mereka dengan apa yang tidak difatwakan oleh seorang fakih meskipun mereka memandang hati mereka baik, lalu mereka melakukan hal yang ekstrim untuk mengesankan kekurangan mereka, sebagaimana yang dilakukan di pemandaian itu.” (Baca: Berharap kepada Allah SWT -1)
Pernyataan al-Ghazali ini juga dikritik keras dari Ibnu Jauzi dan dinilainya menyimpang dari jalur fikih.
2. Klaim yang menyalahi hati nurani yang notabene anugerah Allah SWT kepada manusia dengan kemampuan mencerna sesuatu secara benar, padahal asumsinya ialah bahwa irfan atau tasawwuf harus mempertajam hati nurani dan menjaganya dari cemar. Klaim yang dimaksud adalah klaim yang muluk dan berbau khurafat. Misalnya klaim bahwa seorang salik bisa mencapai kedudukan atau maqam sedemikian tinggi sehingga tak ada siapapun yang dapat mengetahuinya kecuali Allah, sebagaimana tak ada siapapun mengetahui Zat Allah kecuali Allah sendiri.[3]
Klaim demikian tidak lepas dari dua faktor;
Pertama, keyakinan wahdat al-wujud dalam arti keyakinan yang hanya mengakui wujud Allah dan mengingkari segala wujud lain, termasuk wujud yang bergantung (ta’alluqi) kepada Allah yang merupakan ciri makhluk, sebagaimana dijelaskan secara detail dalam ilmu filsafat dan berbeda dengan klaim yang menegasikan secara mutlak wujud makhluk. Yang jelas, klaim demikian menyalahi bisikan hati nurani. (Baca: Tasybih tanpa Takwil)
Kedua, keyakinan bahwa dia adalah wujud selain Allah tapi karena ketajaman tabiyah, olah spiritual, irfan, dan suluk maka dia berfana dalam Allah, menerobos tirai-tirai penghalang (hijab) hingga mencapai Allah sehingga tak ada apapun kecuali Allah dan pada giliran hanya Allah-lah yang mengetahui diri sang salik. [4]
Klaim demikian juga menyalahi hati nurani yang memastikan bahwa makhluk sebagai wujud mumkin secara esensial dan eksistensial memiliki serba keterbatasan sehingga tidak mengkin bisa mencapai maqam Allah, betapapun tingginya jenjang tajarrud dan transenden yang dicapai oleh seorang salik.
(Bersambung)
[1] Safinat al-Bihar, jilid 5, hal. 209.
[2] Ihya’ Ulumuddin secara umum dinilai sangat bernas dan berharga, namun ada beberapa bagian yang dikritisi oleh banyak ulama.
[3] Lihat al-Lubab, hal. 162.
[4] Ruh Mujarrad, hal. 75.
Baca Selanjutnya: Melacak Sufi dan Arif Sejati (3)