Pasca kesyahidan Imam Husein as 61 hijriah, putra beliau Ali bin Husein bersama para wanita syuhada Karbala digiring tentara-tentara Ibnu Ziyad ke Kufah. Sesampai di hadapannya, beliau ditanya: “Siapa kau?”
Imam menjawab, “Aku Ali bin Husein”
“Bukankah terbunuh?”, tanyanya heran.
“Itu saudaraku (yang juga bernama) Ali (memang) telah dibunuh orang-orang!”, kata beliau menegaskan.
“Allah yang telah membunuhnya!”, sanggah Ibnu Ziyad.
Dibalasnya dengan sebuah ayat: “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya..” (1)
Ibnu Ziyad geram, karena menurutnya berani sekali ia membantah. Maka dia keluarkan perintah untuk memenggalnya!(2)
Tiba-tiba Zainab binti Ali bin Abi Thalib mendekap keponakannya ini, seraya berkata kepada Ibnu Ziyad: “Tidak, demi Allah aku tidak akan melepaskan dia. Jika kau bunuh dia, bunuhlah aku juga bersamanya!” (Baca: Kepemimpinan Imam Ali Zainul Abidin – 1)
Imam Tak Takut Mati
Imam Ali Sajjad berkata, “Diamlah duhai bibiku sampai aku bicara dengannya!”, lalu menoleh ke arah Ibnu Ziyad, “Hai Ibnu Ziyad, apakah kau mengancam aku dengan membunuhku? Tidakkah kau tahu bahwa hal terbunuh bagi kami sudah biasa, dan kesyahidan merupakan kemuliaan bagi kami dari Allah!?”
Sebuah poin yang dapat dipetik dari kisah pasca Asyura ini, ialah sebagaimana ucapan beliau itu bahwa mati terbunuh bukan sesuatu yang menakutkan dirinya, sehingga beliau tak merasa terancam oleh kematian. Terlebih mati di jalan Allah adalah hal yang sangat diinginkan oleh seorang seperti beliau. Sebagaimana demikian di mata para pendahulunya, bahwa kematian bagi mereka lebih manis dari madu, atau sangat dirindukan lebih dari kerinduan bayi pada ASI-nya. (Baca: Harga Diri, Harga Mati)
Satu bait syair terkait hal ini dari Sang Pemuka syuhada Abu Abdillah as, yang artinya kira-kira demikian: “Jika badan diciptakan untuk mati kemudian, maka terbunuh dengan pedang di jalan Allah paling utama.”
Tak Sekedar tak Takut Mati
Namun demikian, yang tak takut mati bukan cuma orang beragama saja. Orang ateis pun bisa saja tak takut mati saat demi orang yang dicintainya atau tanah airnya. Fakta lain, di sana ada yang melakukan bunuh diri, baik dikarenakan rasa putus asa atau atas keyakinan sebagaimana seorang jihadis bahwa ia akan kawin dengan bidadari.
Banyak hal yang mungkin dapat disampaikan di sini, di antaranya terkadang hidup seseorang lebih utama, atau lebih bermaslahat dan atau membawa manfaat yang besar daripada matinya. Seperti dikatakan, bahwa tinta ulama lebih bernilai dari darah syuhada. Hal lainnya ialah bahwa orang yang tak takut mati, apakah juga berani hidup? Dalam arti ia hadapi dan lewati segala cobaan hidup dan penderitaan di dunia dengan penuh kesabaran. (Baca: Syiah adalah Pembunuh Al-Husain a.s. – Desas-desus Sejarah)
Seperti halnya Imam Ali Zainul Abidin as yang menyaksikan Abu Abdillah as seorang diri setelah semua pembelanya gugur di Karbala, dan menjadi terasing di tengah umat kakeknya, apakah beliau tidak ingin mati bersama ayahnya dan syuhada? Tetapi hidup beliau pasca kesyahidan Imam Husein as untuk menggantikan kepemimpinan ayahnya di tengah umat Islam, lebih utama daripada matinya saat itu.
Sumpah Demi Allah, Kamilah Ahlulbait!
Setelah dihadapkan kepada Ibnu Ziyad di Kufah, Imam Sajjad as dan para wanita keluarga syuhada yang menjadi tawanan digiring menuju kota Syam, pusat pemerintahan Yazid bin Muawiyah, untuk dihadapkan kepadanya. Penduduk Syam tidak pernah melihat Rasulullah saw, dan tidak pula mendengar hadis beliau secara langsung. Mereka pun hanya mengetahui segelintir sahabat Nabi yang berpindah ke Syam dan menetap di sana. Yang mereka lihat, apa yang dilakukan Muawiyah bin Abu Sufyan dan para sahabatnya, merupakan sunnah bagi mereka.
Maka tidak aneh dalam sejarah dikatakan, ketika seorang syekh datang mendekati Imam Sajjad as di antara para tawanan Karbala, ia mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah membinasakan kalian dan menjadikan amir (Yazid) menguasai diri kalian..” (Baca: Metode Dakwah Keluarga Imam Husain A.S.)
Imam berkata, “Hai syekh, apakah Anda membaca Alquran?
“Ya”, jawabnya.
Apakah Anda membaca ayat: “Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.”?(3) “Kamilah al-Qurba itu!”
Pernahkah Anda membaca ayat: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap harta rampasan perang yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima harta itu untuk Allah, rasul, kerabat rasul..”? (4) “Kamilah kerabat rasul itu!”
Hai syekh, apakah Anda membaca ayat: Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”?(5) “Kamilah Ahlulbait yang telah Allah khususkan bagi kami dengan ayat tathir itu!”
“Sumpah demi Allah bahwa kalian adalah mereka (sebagaimana yang dikatakan oleh ayat-ayat tersebut)?”, tanya syekh dengan sumpah. (Baca: SafinahQuote: Alquran dan Imam Zaman)
Imam Sajjad menjawab, “Demi Allah, kami lah mereka itu tanpa keraguan sedikitpun, dan demi kebenaran datuk kami Rasulullah saw sesungguhnya kami lah mereka itu”.
Mendengar demikian, syekh membuang surbannya, lalu mengangkat kepala ke langit seraya berucap: Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari musuh keluarga Muhammad.”(6)
Referensi:
1- اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا (QS: az-Zumar 42)
2- Al-Irsyad 244; Waq’atu ath-Thuf 262-263.
3- قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى (QS: asy-Syura 23)
4- وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى (QS: al-Anfal 41)
5-إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً (QS: al-Ahzab 33)
6-Maqtal al-Khawarezmi 2/61; al-Luhul ‘ala Qatla ath-Thufuf, hal 100; Maqtal al-Muqarram, 449
[*]
Baca: “Kepemimpinan Imam Ali Zainul Abidin (3)“